Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Siksaan Di Pulau Simeulue

Kelangkaan air di pulau Simeulue, Aceh Barat sehingga air hujan menjadi tumpuan satu-satunya. Sampai beberapa kilometer dari pantai, air tetap asin.

10 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CENGKIH tumbuh subur di Pulau Simeulue, Aceh Barat. Setahun pulau ini menghasilkan 3.000 ton. Toh 30.000 penduduknya sengsara. Bayangkan, harga beras bisa mencapai Rp 600/kg dan minyak tanah Rp 500/liter di Sinabang, kota utama pulau terpencil itu. Dan yang tak kurang mahalnya adalah air. "Sampai beberapa kilometer dari pantai, air (sumur) tetap asin," tutur Kassah, Kepala Perwakilan Bupati Aceh Barat. Ada memang sumur berair tawar, tapi berbau busuk. Bila mendatangkan air dari pedalaman, harganya di Sinabang bisa selangit. Air hujan lalu menjadi tumpuan satu-satunya. Warga Kota Sinabang sampai tak bergairah membuat rumah bagus. Di Sini, kata Oesman Tambago l'kekayaan diukur dari berapa banyak air di rumahnya." Mereka begitu nenghemat air hingga memperlakukannya seperti barang berharga. Dan mereka berlomba membikin bak air yang lebih besar. Tapi air hujan kurang menguntungkan dari segi kesehatan. Ia tak mengandung zat kapur (Ca Co3). Karena kekurangan zat ini, tulang gigi bisa goyah. Memang terbukti banyak orang Sinabang yang ompong. Di antara mereka yang berusia 40 tahun, jarang yang giginya masih bertahan. Abdurrahman, misalnya, sudah beberapa tahun memakai 100% gigi palsu. Usianya baru 48 tahun. Kepala Kesehatan Lingkungan dari Dinas Kesehatan Aceh, Abdulrahman S.K.M, menghimbau penduduk memakan sayuran supaya keutuhan gigi lebih terpelihara. Namun sayuran sulit didapat. Jarang penduduk Simeulue mau bertanam sayur mayur. Selain hasilnya kurang baik, mereka lebih senang menanam cengkih. Sayur mayur pun mesti didatangkan dari Sibolga atau Tapaktuan (daratan Sumatera). Setibanya di Simeulue, harganya berlipat ganda. Apalagi di musim barat, ketika kapal tak berani mendekat. Penduduk pulau itu dengan sendirinya jarang menyantap hidangan yang mengandung zat kapur. Anuran memakai pasta gigi dan menelan tablet kalk, kata Miswar Sulaiman, "sudah semacam reklame" bagi siapa saja yang akan pergi ke Simeulue. Anggota DPRD Aceh itu sekembali di Banda Aceh dari sana melaporkan betapa perlu soal kelangkaan air diatasi secara terpadu. "Saya sendiri," kata Miswar lagi, "harus minum air hujan selama di Simeulue. Suatu siksaan . . . "

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus