CENGKIH tumbuh subur di Pulau Simeulue, Aceh Barat. Setahun
pulau ini menghasilkan 3.000 ton. Toh 30.000 penduduknya
sengsara. Bayangkan, harga beras bisa mencapai Rp 600/kg dan
minyak tanah Rp 500/liter di Sinabang, kota utama pulau
terpencil itu. Dan yang tak kurang mahalnya adalah air.
"Sampai beberapa kilometer dari pantai, air (sumur) tetap asin,"
tutur Kassah, Kepala Perwakilan Bupati Aceh Barat. Ada memang
sumur berair tawar, tapi berbau busuk. Bila mendatangkan air
dari pedalaman, harganya di Sinabang bisa selangit.
Air hujan lalu menjadi tumpuan satu-satunya. Warga Kota Sinabang
sampai tak bergairah membuat rumah bagus. Di Sini, kata Oesman
Tambago l'kekayaan diukur dari berapa banyak air di rumahnya."
Mereka begitu nenghemat air hingga memperlakukannya seperti
barang berharga. Dan mereka berlomba membikin bak air yang lebih
besar.
Tapi air hujan kurang menguntungkan dari segi kesehatan. Ia tak
mengandung zat kapur (Ca Co3). Karena kekurangan zat ini,
tulang gigi bisa goyah. Memang terbukti banyak orang Sinabang
yang ompong. Di antara mereka yang berusia 40 tahun, jarang yang
giginya masih bertahan. Abdurrahman, misalnya, sudah beberapa
tahun memakai 100% gigi palsu. Usianya baru 48 tahun.
Kepala Kesehatan Lingkungan dari Dinas Kesehatan Aceh,
Abdulrahman S.K.M, menghimbau penduduk memakan sayuran supaya
keutuhan gigi lebih terpelihara. Namun sayuran sulit didapat.
Jarang penduduk Simeulue mau bertanam sayur mayur. Selain
hasilnya kurang baik, mereka lebih senang menanam cengkih.
Sayur mayur pun mesti didatangkan dari Sibolga atau Tapaktuan
(daratan Sumatera). Setibanya di Simeulue, harganya berlipat
ganda. Apalagi di musim barat, ketika kapal tak berani mendekat.
Penduduk pulau itu dengan sendirinya jarang menyantap hidangan
yang mengandung zat kapur.
Anuran memakai pasta gigi dan menelan tablet kalk, kata Miswar
Sulaiman, "sudah semacam reklame" bagi siapa saja yang akan
pergi ke Simeulue. Anggota DPRD Aceh itu sekembali di Banda Aceh
dari sana melaporkan betapa perlu soal kelangkaan air diatasi
secara terpadu. "Saya sendiri," kata Miswar lagi, "harus minum
air hujan selama di Simeulue. Suatu siksaan . . . "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini