Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bandung Terancam Kering

Menurut hasil penelitian PDAM bersama Direktorat Geologi, keadaan air tanah di Bandung terus menurun hal ini disebabkan oleh penggundulan hutan di Dago penyedotan air sumur bor secara liar. (ling)

10 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JERIKEN plastik berjajar di tepi jalan Kelurahan Cicadas. Sebagian pemiliknya berlindung di balik pohon, menghindari sengatan Sinar matahari. Mobil tanki Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), yang mendrop airnya, disambut hangat. Itu suatu contoh kehidupan di Bandung, sementara debit air Sungai Cikapundung terus menyusut. Tahun I958, debit air sungai yang membelah Kota Bandung ini masih 20.000 liter/detik Tahun 1965, ia susut menjadi 4.000 Iiter/detik, dan kini maksimum 500 liter/detik saja. Dir-Ut PDAM, Eddy Kurniadi, menuding penggundulan bukit Dago di utara kota sebagai penyebabnya. Pembangunan ternyata telah menggusurnya. Perumahan dosen ITB direncakan pula di sana. Sepuluh tahun lalu, waktu Dago masih lebat pepohonan, Bandung mcmang belum mengalami kesulitan air. Air leding untuk Kodya Bandung, dipompa dari Cisangkuy, 32 km arah selatan. Debit airnya tetap 1.000 liter/detik. Tapi hanya 25% dari 1,4 juta penduduk Bandung kini yang kebagian air leding. Sedang sebagian pipa PDAM sudah tua, sering bocor, hingga airnya yang masuk ke Bandung cuma 800 liter/detik. Maka semakin - banyak sumur bor (artetis) yang dipasang. Yang mendapat izin resmi, kata jurubicara Pemda JaBar Dod Soewondo, ada 20 di Bandung. Tapi "banyak yang nakal." Mereka bahkan membuat beberapa saluran di bawah tanah, untuk memperoleh air lebih banyak. Sumur penduduk di sekitarnya jadi tersedot. Di Kelurahan Padasuka, misalnya, sumur penduduk jadi kering karena tersedot oleh sumur bor pabrik tekstil Naintex. Walaupun belum sempat menadah air hujan (lihat box), mereka protes, tapi tak digubris. Kalau tak segera ada proyek Dewi Sartika yang mengucurkan air, pabrik itu mungkin diganyang. Melihat problem yang timbul, sejak 1980 iin membuat sumur bor ditutup. Bahkan permohonan PT Nurtanio ditolak. Ini nampaknya pengaruh hasil penelitian PDAM bersama Direktorat Geologi yang memakai konsultan Denmark, kemudian Jerman Barat. Diketahui bahwa keadaan air tanah terus menurun. Tahun 1973, air tanah total di Bandung ditaksir sekitar 1.100 liter/detik. Sisanya diduga tinggal 700 liter/detik, setelah disedot untuk industri dan keperluan lain. Air tanah ini mengalami penurunan dari 2 meter menjadi 25 meter. Di beberapa tempat persediaan air tanah bahkan menghilang. Penelitian itu menyimpulkan bahwa penggundulan hutan, penyedotan air secara liar dan pola land use yang kurang baik, yang mengakibatkan turunnya air tanah. Soewondo mengakui kurangnya kontrol terhadap sumur bor, yang kedalamannya di atas 15 meter. Pengairan DPU, yang berwenang mengawasi, tak punya alat water meter untuk mengetahui volume air yang tersedot sebuah sumur bor. Alat ini dimiliki PDAM yang tak berhak mengawasi. Formasi Cikapundung R.P. Koesoemadinata dari Departemen Geologi ITB sependapat, penyedotan air tanah sudah sangat berlebihan. Tapi ia menyangsikan berita penyusutan air tanah di Kodya Bandung itu akibat penggundulan bukit Dago. Daerah penyerapan air tanah untuk Bandung, katanya, bukan Dago melainkan sebelah barat Sungai Cipaganti (utara Ciumbuleuit sampai Cisarua). Ia menunjuk hasil survei Direktorat Teknik Penyehatan bekerjasama dengan konsultan dari German Water Engineering (GWE) tahun 1979. Penelitian itu menyimpulkan, lapisan batuan sebelah timur Cipaganti--biasa disebut formasi Cikapundung--ternyata lebih tua, ketimbang yang di belahan barat. Alr tanah di formasi Ini umumnya dalam, sampai 200 meteran, dan "belum banyak diketahui". Sedang sumur-sumur bor yang ada sekarang terutama menyadap air tanah dari formasi yang lebih muda, kata Koesoemadinata. Purbo Hadiwidjoyo, ahli geologi lain, tak begitu merisaukan sumur pompa yang menyedot air tanah. Yang banyak menyusut, menurut dia, justru air permukaan. Sebabnya tak lain perkembangan penduduk. Dulu air minum berasal dari sumur dangkal. Sumbernya, resapan air yang menggenang di sawah dan kolam. Kini sawah kian menciut, penduduk menutup halaman rumah dengan semen. Permukaan tanah jadi makin tertutup. Akibatnya air tak meresap ke bawah tapi langsung menggelinding jadi banjir. Misalnya, di perempatan Jalan Dalam Kaum - Jalan Tamblong. Bila hujan deras sedikit saja, kawasan ini jadi ajang banjir. Air cepat menghilang begitu hujan reda. Tapi sebab pokok menyusutnya air di Bandung, menurut Hadiwidjoyo, karena semua pihak belum sinkron menangani. Belum ada yang tahu persis, katanya lagi, "air itu dari mana, bagaimana cara mengambilnya yang aman dan usaha melestarikannya. Maka sekarang terjadi ibarat celengan yang terus diambil tapi tak pernah diisi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus