Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Musim hujan tahun ini menjadi berkah luar biasa besar bagi warga Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Ketika curah hujan mulai tinggi, sejak bulan lalu, warga bisa menghirup udara segar, menatap langit yang bersih, dan membuka lebar-lebar jendela rumah. ”Tak ada lagi asap, sekarang saya bisa bernapas lega,” kata Rai Gunawan, warga Pahandut, tenggara Palangkaraya, Kamis pekan lalu.
Sepanjang musim kemarau sejak pertengahan tahun ini, Palangkaraya dibekap asap akibat pembakaran lahan. Sering asap begitu tebal, menyebabkan jarak pandang hanya sepuluh meter, membuat kota yang berdiri di atas lahan gambut itu lumpuh. Semua orang mengenakan masker, di dalam rumah sekalipun. Bandara Cilik Riwut berulang kali ditutup karena pilot tak bisa melihat landasan.
Pada musim kemarau, asap mengepul dari sekeliling kota, dari lahan-lahan yang dibakar untuk mendirikan perumahan atau membuka kebun sawit. Tahun ini, di Kalimantan Tengah saja terdapat lebih dari 1.500 titik pembakaran. Api memang menjadi alat paling murah untuk membersihkan lahan. Khusus untuk lahan gambut, pembakaran sekaligus mengurangi zat asam pada tanah sehingga lebih mudah ditanami.
Membuka dan membakar lahan gambut tidak semata menimbulkan asap, melainkan juga melepaskan simpanan karbon yang selama ribuan tahun terpendam di bawah tanah. Inilah penyumbang emisi karbon terbesar di Tanah Air. Dari 2,8 juta gigaton karbon yang meracuni langit Nusantara pada 2005, 1.500 gigaton berasal dari pembukaan lahan dan hutan di kawasan gambut.
Lahan gambut merupakan tanah yang terbentuk karena zat organik terdekomposisi secara lambat, menjadi cikal bakal batu bara. Bentuknya seperti busa yang menyerap air dalam jumlah besar. Dalam kondisi normal, gambut tak mudah terbakar karena berair. Tanah gambut menjadi ancaman manakala diubah menjadi pertanian atau perkebunan. Lahannya dikotak-kotakkan dengan kanal, airnya dialirkan ke sungai.
Pembukaan satu hektare lahan dengan kedalaman gambut sepuluh meter akan melepas 5.000 ton karbon ke udara. Hasil studi Kelompok Gas Rumah Kaca dan Gambut, proyek bersama Indonesia dan Australia, menyebutkan bahwa karbon dari lahan gambut menyumbang hingga lima persen total emisi dunia, yang menimbulkan efek rumah kaca. Jumlah ini lebih besar dibanding emisi industri penerbangan sedunia.
Ismid Hadad, Ketua Kelompok Kerja Pendanaan pada Dewan Nasional Perubahan Iklim, mengatakan emisi yang dikeluarkan Indonesia jauh lebih besar dari gabungan empat negara industri maju di Eropa: Inggris, Italia, Jerman, dan Prancis, yang ”hanya” melepas 2,7 gigaton karbon. ”Ini tantangan bagi Indonesia untuk mengurangi emisi, terutama dari pembukaan hutan dan lahan gambut,” kata Ismid.
Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, luas lahan gambut di negeri ini mencapai 22,5 juta hektare, atau setara dengan 12 persen luas daratan Indonesia. Luas tersebut mencakup 60 persen gambut dunia. Dari areal gambut di Nusantara itu, hanya sepertiganya yang berada dalam kondisi baik dan tidak melepaskan karbon. Sisanya rusak ringan hingga berat, dan terus mengeluarkan karbon.
Dengan lahan gambut seluas itu, Indonesia memiliki cadangan karbon 34 gigaton, terpusat di Kalimantan, Riau, dan Papua. Sayangnya, lahan gambut, terutama yang memiliki kedalaman lebih dari sepuluh meter, justru tidak dirawat, tapi malah dibuka dan dijadikan perkebunan. ”Banyak lahan perkebunan berada di lahan gambut dalam,” kata Daniel Murdyarso, pakar klimatologi Institut Pertanian Bogor.
Bekas proyek lahan gambut sejuta hektare di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, merupakan contoh lahan gambut yang rusak parah dan terus menyemburkan karbon hingga kini. Lahan yang awalnya dibuka untuk disulap menjadi sawah—kemudian gagal—itu dibiarkan terbengkalai dan kanal-kanal yang dibuat tidak dibendung dengan baik, sehingga terus mengalirkan air dan mengeringkan permukaan tanah.
Proyek raksasa tersebut merupakan ambisi Presiden Soeharto pada awal 1996, yang ingin menjadikan Kalimantan sebagai lumbung padi Nusantara. Dalam enam bulan, satu juta hutan gambut dibabat. Ketika transmigran menempati lahan itu, hanya segelintir yang berhasil menanam padi. Selebihnya gagal. ”Semua mengandalkan jatah hidup dari pemerintah,” kata Ali Zum Mashar, pegawai pendamping transmigran.
Kini pembukaan hutan untuk perkebunan, terutama sawit dan hutan tanaman industri, menjadi penyebab rusaknya gambut. Di Kalimantan Tengah, Gubernur Teras Narang bahkan mengancam akan mencabut izin perkebunan yang membakar lahan. ”Tidak ada toleransi,” kata Teras. Lahan gambut di provinsi ini mencapai tiga juta meter persegi—seperlima luas wilayahnya, kedua terluas setelah Kalimantan Timur.
Toh, ancaman gubernur tak mengurangi pembakaran lahan. Asap dan debu partikel yang terbakar tak henti-henti menyelubungi Palangkaraya, sepanjang kemarau lalu. Pembakaran hutan masih berlangsung, karena ada kelonggaran bagi masyarakat yang ingin berkebun. Padahal, ibarat membakar sekam, bara yang tersimpan di dalam gambut bisa bertahan berbulan-bulan, dan menjadi penyebab kebakaran besar.
Di Riau, ancaman terhadap lahan gambut membuat sejumlah aktivis Greenpeace menggelar demonstrasi, mendesak perusahaan bubur kertas PT Riau Andalan menghentikan kegiatannya di Semenanjung Kampar. Meski perusahaan ini memegang izin Menteri Kehutanan, menurut Daniel Murdyarso, sebagian kawasan hutan tanaman industrinya berada di lahan gambut dengan kedalaman lebih dari sepuluh meter.
Di Papua, kelestarian lahan gambut terusik oleh pembukaan perkebunan. Menurut laporan Environmental Investigation Agency—organisasi pemerhati lingkungan berbasis di London—yang bekerja sama dengan Yayasan Telapak, lima juta hektare hutan Papua menjadi incaran pemodal karena meningkatnya permintaan bahan bakar dari sawit. Telapak melaporkan 85 perusahaan telah mendapat izin membuka lahan.
Papua menjadi sasaran karena lahan yang tersedia di Sumatera dan Kalimantan semakin terbatas. ”Papua merupakan benteng terakhir hutan di Indonesia,” kata juru bicara Telapak, Hapsoro. Papua memiliki 45 juta hektare hutan, dengan 8 juta hektare gambut. Ia mengingatkan, pembukaan lahan gambut akan melepas jutaan ton karbon. ”Ini bertentangan dengan tekad Presiden mengurangi emisi hingga 26 persen,” katanya.
Target itu dikemukakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika berbicara dalam forum pertemuan negara G-20 di Pittsburg, Amerika Serikat, September lalu. Meski target itu dianggap sangat ambisius, para aktivis lingkungan hidup memberikan dukungan atas tekad tersebut. ”Asal dijalankan sungguh-sungguh, antara lain dengan kebijakan moratorium pembukaan lahan hutan dan gambut,” kata Bustar.
Jika pembukaan lahan terus dibiarkan demi alasan ekonomi, ibarat bara dalam gambut yang sewaktu-waktu dapat menyulut kebakaran, lahan gambut akan menjadi problem terbesar dan sulit diatasi. Hutan Indonesia, yang seharusnya menjadi pengisap karbon dan menjadi sumber pemasukan keuangan negara, selamanya akan menjadi penyumbang emisi terbesar sekaligus penghasil asap ketika kemarau.
Adek Media, Karana W.W. (Palangkaraya)
Pelepasan emisi merupakan penyebab naiknya suhu bumi, yang disebut efek rumah kaca. Konsentrasi karbon di udara dan gas-gas lain di atmosfer mengakibatkan energi matahari yang seharusnya dipantulkan kembali ke langit tertahan oleh gas-gas tersebut. Ibarat rumah kaca, atau mobil tanpa pendingin udara di siang hari, udara menjadi panas karena tak ada jalan keluar bagi energi yang dipantulkan.
Dampak Perubahan Iklim bagi Indonesia
Kenaikan suhu bumi paling tinggi akan terjadi di daerah kutub, dua-tiga kali peningkatan suhu secara global. Sepanjang satu abad terakhir, suhu bumi naik 0,8 derajat Celsius. Dampaknya bagi negara yang berada di khatulistiwa seperti Indonesia:
- Pencairan es membuat permukaan laut naik. Pada 2010 diperkirakan muka air laut di Indonesia naik 40 sentimeter. Akibatnya, daratan yang hilang mencakup 7.408 kilometer persegi. Diperkirakan pada 2100 Indonesia bakal kehilangan 115 pulau kecil.
- Cuaca yang lebih hangat akan mengubah habitat dan siklus hidup berbagai hama penyebab penyakit, termasuk nyamuk malaria.
- Meningkatnya temperatur memiliki serangkaian pengaruh yang rumit pada pola cuaca sehingga perkiraan cuaca menjadi kurang akurat, serta meningkatkan intensitas siklon tropis.
- Perubahan pola tanam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo