Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Vaksin Pertama ’Made in Indonesia’

Ahli penyakit tropis Universitas Airlangga berhasil membuat vaksin dari virus lokal buatan sendiri. Ini vaksin buatan Indonesia pertama.

7 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Membuat vaksin seperti menyajikan berita. Yang diolah harus bahan terbaru. ”Penelitiannya berdasarkan perkembangan virus termutakhir,” kata ketua tim penanganan infeksi khusus Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Hadi Yusuf.

Perumpamaan dokter ahli penyakit tropis asal Universitas Padjadjaran itu tepat. Tak mengherankan jika hingga Rabu pekan lalu Kepala Laboratorium Avian Influenza Tropical Disease Center Universitas Airlangga, Surabaya, Chaerul Anwar Nidom, masih sibuk membersihkan bokong monyet ekor panjang yang baru buang hajat di kandangnya.

Setelah membersihkan, Nidom dan asistennya yang berpakaian khusus seperti astronaut sibuk mencatat tensi tubuh hewan mirip manusia itu. Setiap perkembangan si monyet dipantau dan dicatat teliti, meski tahapan penelitian resmi vaksin flu burung dan babi telah kelar. Memang binatang ini bukan makhluk sembarangan. ”Kera-kera ini untuk penelitian dan telah diberi virus flu burung,” katanya.

Tiga pekan lalu, Nidom atas nama Universitas Airlangga menyerahkan bahan virus vaksin flu burung dan babi kepada Wakil Presiden Boediono. ”Seed vaccine yang kami serahkan tinggal diuji coba tahap akhir. Setelah itu, sudah bisa jadi vaksin dan siap diproduksi massal,” ujarnya.

Boleh jadi itu merupakan bakal vaksin flu burung pertama di dunia. Bagi Indonesia, pencapaian ini merupakan kemajuan. Biasanya virus asal Indonesia dibawa ke luar negeri, lalu setelah menjadi vaksin dijual kembali ke Indonesia dengan harga yang tak terjangkau masyarakat kebanyakan.

Memang aneh, virus dalam negeri dijual ke luar Indonesia, sedangkan perusahaan farmasi di Indonesia mengimpor bakal virus (seed) dari luar negeri. Baru kali ini vaksin yang segera diproduksi massal itu bahan bakunya berasal dari negeri sendiri, hasil penelitian di Universitas Airlangga, Surabaya.

Bahan bakal vaksin flu burung, menurut Nidom, berupa lima sampel spesimen atau bakal virus dari orang yang terinfeksi flu burung asal Indonesia yang diterima dari Departemen Kesehatan, 13 Agustus silam. Setelah beberapa pekan dalam penelitian laboratorium penyakit tropis yang dipimpinnya, tim peneliti menemukan bakal vaksin.

Sedangkan bahan vaksin flu babi, menurut Presiden Direktur PT Biofarma Iskandar, berasal dari virus flu babi lokal yang dimurnikan oleh Lembaga Eijkman, Jakarta, dan bahan tersebut diberikan ke Universitas Airlangga untuk pembuatan benih. Sekarang bakal vaksin sudah siap pada tahap uji klinis oleh Biofarma. ”Tahap ini di antaranya menentukan boleh-tidaknya pengujian pada manusia,” ujarnya.

Cara mendapatkan bahan bakal vaksin, menurut Nidom, adalah dengan mengambil isolat atau penghantar virus dari serum darah orang sakit. Isolat itu dikembangbiakkan dengan cara ditanam (inokulasi) pada sel yang peka terhadap virus. Setelah dipanen berkali-kali dan sifatnya stabil, susunan genetisnya diidentifikasi dan virus dimurnikan. Kemudian virus dibiakkan menjadi benih virus yang selanjutnya menjadi bakal vaksin.

Indonesia, yang sangat kaya dengan mikroorganisme, seharusnya bisa memproduksi isolat virus untuk vaksin berbagai penyakit. Namun, karena punya kepentingan tersendiri, banyak pihak yang lebih suka ”menjual” virus ke pihak asing. Beruntunglah, dengan dana yang minim, Universitas Airlangga mengarah ke pembangunan riset dan teknologi bahan vaksin. Dalam mempersiapkan bakal vaksin flu babi dan burung, menurut Nidom, Biofarma mengucurkan dana Rp 1,7 miliar. Itulah sebabnya, bakal virus diserahkan ke Biofarma untuk diproduksi massal.

Sebenarnya penelitian tentang bakal virus flu burung telah dimulai pada 2003. Karena keterbatasan peralatan, menurut Nidom, penelitian secara serius baru dilakukan pada 2007, ketika Airlangga mendapat hibah laboratorium Bio Safety Level-3 (BSL-3) dari pemerintah Jepang. Namun, karena ketika itu ada ketegangan antara Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dan Badan Kesehatan Dunia, WHO, mengenai sampel virus flu burung, penelitian di laboratorium BSL-3 pun terhenti. ”Jepang tak melarang, tapi kami tahu diri, alat itu bantuan luar negeri,” katanya.

Untungnya, setahun kemudian, Airlangga mendapatkan bantuan dari pemerintah laboratorium BSL-3 yang lebih lengkap dibanding bantuan Jepang, dan terbesar se-Asia. Laboratorium itu dilengkapi kandang tempat hewan uji coba, yang terintegrasi jadi satu ruangan.

Berbekal laboratorium dan bantuan penelitian dari Biofarma, Nidom dan kawan-kawan menemukan bakal vaksin. Badan usaha milik negara bidang farmasi itu kini tinggal menindaklanjuti dengan mengujinya terhadap 1.000 sampai 2.000 telur ayam. ”Kalau ini berhasil, targetnya diuji lagi ke 2 juta telur, untuk selanjutnya bisa memenuhi target produksi 2 juta dosis vaksin,” kata Nidom.

Biofarma kini membuat peternakan ayam seluas delapan hektare di Cisarua, Lembang, Kabupaten Bandung, untuk memasok kebutuhan telur untuk pembibitan vaksin itu. Peternakan yang disiapkan itu, menurut Iskandar, bukan peternakan ayam sembarangan, karena yang dihasilkan adalah telur steril. Telur ini dihasilkan lewat peternakan ayam yang serba otomatis untuk menghindari sentuhan tangan manusia.

Untuk pembibitan contoh vaksin perdana, perusahaan itu mendatangkan telur steril khusus dari Jepang. Harganya Rp 120 ribu per butir. Menurut Iskandar, idealnya, untuk mendapatkan satu dosis vaksin flu babi, dibutuhkan sebutir telur. Di atas kertas, Biofarma membutuhkan 35 juta butir telur untuk menghasilkan 20 juta dosis vaksin flu babi.

Peternakan ayam bikinan Biofarma itu hanya sanggup memasok 20 persen kebutuhan telur untuk vaksin itu. Sisanya, perusahaan mengajak investor berbisnis telur tersebut. Dengan memproduksinya di dalam negeri, harga telur bisa ditekan menjadi US$ 1 per butir.

Menurut Iskandar, Biofarma ditugasi pemerintah membuat vaksin untuk mengantisipasi pandemi virus flu tersebut. Selain itu, WHO mensyaratkan negara dengan penduduk besar seperti Indonesia mampu memproduksi vaksin flu babi untuk antisipasi pandemi, minimal 10 persen dari jumlah penduduknya. Karena itulah Biofarma membangun pabrik itu dengan kapasitas produksi 20 juta setahun.

Pemerintah menghindari peristiwa yang terjadi di Ukraina. Karena pandemi mengganas, semua negara menutup pintu perbatasan. ”Kita harus mengantisipasi kondisi terburuk,” ujarnya.

Hadi Yusuf mendukung upaya tersebut. ”Kita harus tetap waspada,” ujarnya. Apalagi kasus flu burung Indonesia termasuk galur (clade) khusus di dunia bersama Hong Kong dan Vietnam. Sedangkan virus flu babi ada kemungkinan sama seperti di negara pandemi lainnya. Khusus virus seperti penyebab flu burung dan babi, perubahan genetisnya tergolong cepat. Dalam hitungan bulan, bisa terjadi mutasi. ”Virus flu itu yang paling cepat mutasinya dibanding polio, misalnya,” kata spesialis penyakit tropis-infeksi itu.

Maka kandungan vaksin pun harus diubah mengikuti perkembangan mutasi virus. Persoalan besarnya justru pada kuantitas vaksin yang bisa diproduksi ketika serangan flu mewabah. ”Sanggup atau tidak memenuhi kebutuhan,” ujarnya.

Ahmad Taufik, Fatkhurrohman Taufiq (Surabaya), Ahmad Fikri dan Anwar Siswadi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus