SEBUAH pesawat Transhal C-160 meraung-raung di atas hutan yang terbakar. Ia terbang rendah -- pada ketinggian 30 meter mencari sumber api sebagai sasaran. Berputar-putar. Kemudian, memasuki pusaran yang keempat... wyuuusss... sebuah bom "pembunuh api" dimuntahkannya. Tapi tak semuanya mengenai sasaran. Dan awan gelap tetap menyelimuti Provinsi Kalimantan Timur. Sebagian penduduk setempat yang melihat tontonan ini malah menertawakannya. Kejadian ini terlihat di perkampungan Bone Baru, di Bukit Soeharto. 40 km dari Balikpapan, Kamis pekan lalu. Pesawat yang dulu dipakai untuk mengangkut para transmigran ini, selama 8 kali penerbangan, dengan beban 108 ton air, memang belum membuahkan hasil. Bahkan kadang-kadang airnya tumpah di tempat lain. Pada penerbangan yang ketiga, misalnya, ketika mengangkut 12 ton air, rupanya tutup tangki belum terkunci. Begitu ia lepas landas, air langsung tumpah -- di pelabuhan udara Sepinggan, Balikpapan. Tapi bagi Hardjono, orang dari Departemen Kehutanan yang jadi pengawas pengeboman, kejadian itu tidak apa-apa. "Kami memang masih uji coba," katanya. "Jadi, ya, belum sempurna." Yang penting, agaknya, adanya terobosan baru dalam upaya memadamkan kebakaran hutan. Operasi udara ini terpaksa ditempuh terutama untuk memadamkan kebakaran hutan lindung di Bukit Soeharto, di jalan Samarinda-Balikpapan kilometer 38-70. Sebab, hutan itu kini tengah dikembangkan menjadi taman hutan raya. Dihuni hampir 800 kepala keluarga (lebih dari 3.000 jiwa), lokasi itu memang menjadi tempat awal mula bara api. Penduduknya memang terbiasa membakar hutan. Bukan apa-apa. Sekadar menanam merica, hasil bumi yang menyebabkan pendapatan penduduk per kapita di sana, menurut seorang pejabat tinggi, Rp 900.000 atau lebih dari US$ 500, di atas pendapatan orang Indonesia umumnya. Pada tahun 1982 lalu, misalnya, ketika harga merica melambung, serentak warga Kampung Bone Baru membakar hutan itu. Apa yang kemudian terjadi adalah kebakaran hutan besar, dan hingga kini belum padam. "Waktu itu memang tak ada orang yang ingin menyelamatkannya. Ya, seperti kebakaran yang sekarang inilah," kata Sulaimanah, seorang ketua RT Bone Baru kepada Muin Akhmad dari TEMPO. Maka, saran Sulaimanah, seharusnya untuk memadamkan kebakaran itu bukan dengan menyemprot apinya, "melainkan dengan menyemprot tradisi membakar yang sudah mendarah daging ini." Sebab itu, upaya penyiraman ini sia-sia. Tidak hanya api terus berkobar, tapi masyarakat tetap saja membakar hutan, untuk membuat ladang merica mereka. Demi merica ataupun bukan, di berbagai lokasi yang lain api pun menjilat hutan-hutan yang kerontang. Misalnya di hutan koleksi Universitas Mulawarman, di Lempake, 10 km dari Samarinda. Di situ ada 5 hektar hutan -- sebagai tempat laboratorium -- yang terbakar pertengahan bulan ini. Kemudian 10 hektar hutan di kawasan cagar alam Kersik Luwai, Kabupaten Kutai, juga terpanggang api. Padahal, itu termasuk hutan yang eksklusif, tempat tumbuhnya ribuan jenis tanaman anggrek. Pokoknya, "Ngeri, ngeri sekali saya melihatnya dari atas pesawat," kata Rubini, Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA), kepada Rizal Effendi dari TEMPO. Praktis, selama September yang baru lewat Kalimantan Timur jadi lautan api. Di Kecamatan Long Kali, Kabupaten Pasir, 150 km dari Balikpapan, ada 450 hektar kebun plasma dan inti serta 100 hektar perkebunan karet milik PTP XXIV dan PTP VI mati terbakar. Ada 156 rumah di Desa Loa Bakung, Samarinda, ludes dimakan api. Bahkan 274 rumah dan 184 petak pasar di Desa Lok Tuan, Bontang, juga hangus. Kenyataan ini kian memedihkan, setelah diketahui bahwa sumber api datang dari petani ladang. Tapi siapa yang mesti disalahkan? "Pola petani ladang di musim kemarau memang membakar hutan," kata Zainal Muttaqin, Dekan Fakultas Kehutanan Unmul. Sebab itu, Dirjen Rubini bisa memahami. Petani memang bermaksud meningkatkan produksi pertanian. "Sayang, tidak terkendali. Setelah begini, yang susah 'kan kita semuanya," kata Rubini, yang mengatakan dapat tugas dari Presiden untuk mengendalikan kebakaran itu. Mengendalikan api tak akan mudah, sebab si jago merah bukan baru muncul kemarin. Menurut Adung Malik, Kakanwil Kehutanan Kal-Tim, sumber api berasal dari sisa-sisa kebakaran hutan tahun 1982. Ia mengatakan, baru saja menemukan tak kurang dari 23 lokasi kebakaran di Sangkulirang dan kawasan hutan Samarinda-Balikpapan. "Semuanya ternyata sisa api lima tahun silam," katanya. Dengan demikian, hutan di Kal-Tim, yang semula 17,5 juta hektar, kini diperkirakan tinggal 11 juta hektar. Meliputi hutan lindung, suaka, produksi, konversi, dan hutan sekunder. Sementara itu, kebakaran hutan di tahun 1982 masih berkepanjangan hingga sekarang. Kerugiannya tak hanya dirasakan pihak pemerintah. Penduduk Kalimantan Timur sendiri kepanasan. Hutan yang terbakar itu menyebarkan partikel-partikel arang bekas pembakaran, menyesakkan pernapasan. Sementara sinar mentari terhalang, lalu lintas penerbangan pun terganggu. Makanya, para pilot pesawat komersial diperintahkan tetap waspada, dan diharuskan melaporkan bila, dari udara, mereka menemukan titik api yang baru. Tapi apa gunanya semua itu bila yang di darat tetap saja harus hidup dengan membakar hutan. Agus Basri (Jakarta), Rizal Effendi dan Muin Akhmad (Samarinda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini