Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Para ilmuwan Jepang mengeluarkan peringatan setelah kejadian gempa bumi Miyazaki yang berkekuatan magnitudo 7,1 pada 8 Agustus 2024. Kendati dipercaya tak akan berdampak hingga ke Indonesia, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menilai fenomena gempa Jepang tetap patut dicermati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono, mengatakan kekhawatiran para ilmuwan belakangan ini muncul karena gempa besar Miyazaki dipicu oleh salah satu segmen di Megathrust Nankai. Di zona megathrust itu terdapat palung bawah laut sepanjang 800 kilometer yang membentang dari Shizouka di sebelah barat Tokyo hingga ujung selatan Pulau Kyushu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Gempa bermagnitudo 7,1 kemarin dikhawatirkan menjadi pemicu atau pembuka gempa dahsyat berikutnya di sistem tunjaman Nankai,” kata Daryono melalui keterangan tertulis pada Ahad, 11 Agustus 2024.
Sumber gempa Megathrust Nankai terletak di sebelah timur lepas pantai Pulau Kyushu, Shikoku, dan Kinki di Jepang selatan. Megathrust Nankai, menurut Daryono, merupakan salah satu seismic gap atau zona sumber gempa potensial tetapi belum terjadi gempa besar dalam masa puluhan hingga ratusan tahun terakhir. “Diduga saat ini sedang mengalami proses akumulasi medan tegangan kerak bumi,” ujar dia.
Catatan sejarah gempa menunjukkan bahwa Megathrust Nankai telah membangkitkan beberapa kali gempa dahsyat dan merusak, seperti gempa Hakuho Nankai yang disertai tsunami pada 684; gempa Ninna Nankai (887); gempa Kwa Nankaido (1099); serta gempa Shhei Nankaido pada 3 Agustus 1361 yang bermagnitudo 8,4 dan disertai tsunami. Kemudian ada pula gempa Keich Nankaido bermagnitudo 7,9 yang juga mengakibatkan tsunami pada 3 Februari 1605; gempa Hoei bermagnitudo 8,7 dan tsunami pada 28 Oktober 1707; gempa Ansei Nankai bermagnitudo 8,4 dan tsunami pada 24 Desember1854; dan gempa Nankaido bermagnitudo 8,4 dan tsunami pada 21 Desember 1946.
Berdasarkan data sejarah gempa tersebut menurut Daryono, zona sumber gempa ini dapat memicu gempa dahsyat dengan magnitudo lebih dari 8,0 setiap satu atau dua abad. Adapun Palung Nankai memiliki beberapa segmen megathrust. “Namun jika seluruh tepian patahan tersebut tergelincir sekaligus, para ilmuwan Jepang yakin palung tersebut mampu menghasilkan gempa berkekuatan hingga bermagnitudo 9,1,” kata Daryono. Jika kekhawatiran gempa tersebut menjadi kenyataan, menurut Daryono, akan terjadi gempa dahsyat yang tidak saja merusak tetapi juga memicu tsunami.
Daryono mengatakan, lempeng-lempeng tektonik di Indonesia tidak akan terkena dampak karena jaraknya yang sangat jauh. “Biasanya dinamika tektonik yang terjadi hanya berskala lokal hingga regional pada sistem Tunjaman Nankai,” ujarnya. Kendati begitu, Daryono mengingatkan, Indonesia perlu mewaspadai potensi tsunami besar di Jepang yang dapat menjalar ke wilayah lainnya.
Menurut dia, kekhawatiran ilmuwan Jepang terhadap Megathrust Nankai saat ini sama persis dengan yang dirasakan ilmuwan Indonesia, terutama terhadap seismic gap Megathrust Selat Sunda yang bisa menimbulkan gempa maksimal dengan magnitudo 8,7. Ada pula zona Megathrust Mentawai-Siberut yang lindu maksimalnya bermagnitudo 8,9. “Rilis gempa di kedua segmen megathrust ini boleh dikata tinggal menunggu waktu karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar,” ujarnya.
Sebagai langkah antisipasi dan mitigasi, dia memastikan bahwa BMKG telah menyiapkan sistem pemantauan, pemrosesan, dan diseminasi informasi gempa bumi serta peringatan dini tsunami yang cepat dan akurat. BMKG, kata Daryono, selama ini memberikan edukasi, pelatihan mitigasi hingga evakuasi, yang berbasis pemodelan tsunami kepada pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya. Berbagai kegiatan diseminasi itu dikemas dalam kegiatan Sekolah Lapang Gempabumi dan Tsunami (SLG); BMKG Goes To School (BGTS); dan pembentukan Masyarakat Siaga Tsunami (Tsunami Ready Community).