Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI tanggul setinggi sepuluh meter, Sunarto menunjuk sebuah titik di permukaan lautan lumpur. Ia cuma sesaat menunjuk ke arah itu. Tangannya kembali bergerak dan berhenti di genangan lumpur yang lebih kering. ”Di sana dulu rumah saya,” ujarnya. ”Tapi, kayaknya sebelah timurnya,” dia berkata lagi, ragu-ragu.
Frustrasi karena gagal mengetahui lokasi rumahnya, ayah dua anak itu mengambil batu. ”Ndak! Mungkin di sana,” katanya sambil melemparkan batu itu ke kolam lumpur.
Kamis siang dua pekan lalu, Sunarto dan sepuluh warga Renokenongo datang ke tanggul itu untuk menyiapkan lokasi napak tilas keesokan harinya: demi mengenang rumah masa lalu yang damai, sebelum lumpur mengusir mereka tepat tiga tahun lalu. Tapi, di bawah sengatan bau mirip gas septic tank yang datang dan pergi tersapu angin, mereka cuma bisa memastikan bahwa di bawah lumpur seluas 640 lapangan sepak bola itu, di kedalaman 9-11 meter, ada bekas desanya. Rumah Sunarto dan tanahnya seluas 2.000 meter persegi entah ada di sebelah mana.
Kini Sunarto dan sekitar 170 keluarga Renokenongo—yang ingin tinggal bersama—tinggal di Kedungsolo, lima kilometer dari pusat semburan lumpur. Mereka membeli 10 hektare tanah di desa itu memakai uang muka pembelian aset mereka oleh PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan yang mewakili Lapindo Brantas. Di Kedungsolo, Sunarto dan tetangganya masih tinggal di rumah darurat beratap terpal. ”Kami berharap uang sisa pengganti Lapindo buat membangun rumah,” katanya.
Aliansi Peduli Korban Lapindo mencatat, bencana lumpur itu telah mengusir sekitar 50 ribu jiwa dari 10 ribu rumah di 12 desa di Kecamatan Porong, Tanggulangin, dan Jabon—semuanya di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. ”Jumlah korban jauh lebih besar jika menghitung mereka yang wilayahnya jadi terisolasi lumpur Lapindo,” kata Mujtaba Hamdi, koordinator aliansi itu.
Menurut penelitian Universitas Airlangga, Surabaya, per tahun bencana itu mengakibatkan kerugian sekitar Rp 45 triliun—10 kali anggaran Jaminan Kesehatan Masyarakat untuk 76,4 juta jiwa penduduk miskin pada 2009. Angka itu berdasarkan akumulasi hilangnya aset warga, potensi pendapatan, kerugian akibat rusaknya infrastruktur, dan lumpuhnya transportasi.
Lumpur itu bahkan memperlambat denyut perekonomian Provinsi Jawa Timur. ”Sebab, 40 persen pergerakan ekonomi di provinsi ini ternyata melalui Porong,” kata Tjuk Kasturi Sukiadi, dosen ekonomi Universitas Airlangga, yang melakukan penelitian tersebut (lihat pula ”Kukut Karena Lumpur”).
Lapindo bukan tak berupaya meringankan beban korban, meskipun penyebab bencana itu belum dipastikan: apakah alam, yakni gempa bumi yang melantak Yogyakarta dua hari sebelumnya, ataukah kesalahan di sumurnya. Vice President Relations Lapindo Brantas, Yuniwati Teryana, mengatakan hingga April perusahaannya telah mengeluarkan Rp 5,7 triliun di Porong (selengkapnya lihat ”Lapindo juga Terkena Musibah”).
Kini, ujar Yuniwati, pihaknya tengah fokus pada penyelesaian pembayaran sebesar 80 persen aset rumah dan tanah. Sejauh ini Lapindo sudah membayar untuk 10.662 berkas dan tinggal tersisa dua ribuan berkas lagi. ”Sudah 75 persen selesai,” kata dia via telepon pekan lalu. Ia berharap, jual-beli tanah dan bangunan korban lumpur sudah rampung pada 2010.
Lapindo juga membangun rumah baru bagi korban yang bersedia menerima skema pembayaran berbentuk relokasi. Sayangnya, bagi Easter Yohannita, salah satu korban yang bersedia mengikuti skema relokasi Lapindo, program itu terasa lambat. Ia mengatakan Lapindo menjanjikan rumah baru di Kahuripan Nirwana Village pada Desember 2008. ”Tapi sampai sekarang blok tempat rumah saya belum dibangun,” kata Easter.
Kehilangan aset dan tertundanya proses pembayaran itu, menurut Hendro Riyanto, dokter di Rumah Sakit Jiwa Menur, Surabaya, membuat sebagian korban lumpur mengalami depresi (lihat ”Depresi Makin Menghantui”). Anak-anak ikut jadi korban. ”Meski terlihat ceria, sebenarnya mereka mengalami gangguan psikologis. Tandanya perilaku mereka berubah,” katanya. Mereka tertekan akibat, antara lain, perubahan pola hidup, termasuk tak punya kegiatan utama, yaitu sekolah.
Lumpur memang mengubur banyak sekolah. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengungkapkan, bencana itu menenggelamkan 28 taman kanak-kanak, 33 sekolah dasar dan menengah, dan 2 pondok pesantren. ”Sebagian siswa di sana kini tidak bisa bersekolah lagi karena orang tuanya tidak punya pekerjaan,” kata Mujtaba Hamdi.
Rabu pekan lalu, belasan anak-anak itu menemui Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta. ”Tolong, dibangun sekolah lagi,” kata salah satu anak, membacakan surat rekan mereka. Kalla menjawab permintaan itu dengan mengatakan bahwa yang pertama harus dilakukan adalah menghentikan semburan. ”Selama semburan tidak ditutup, akan terus terjadi masalah di sana,” katanya. Sampai kapan?
Sejumlah pakar geologi menyatakan semburan lumpur itu baru akan berhenti setelah 30 tahun atau pada 2036. Ini jelas bencana. Dengan volume semburan 100 ribu meter kubik per hari, pada tahun ke-10, volume air dan lumpurnya sudah cukup untuk menggenangi Sidoarjo setinggi setengah meter. Saat semburan lumpur terhenti, volumenya cukup untuk merendam kabupaten seluas 592 kilometer persegi itu sedalam 1,5 meter. Ketika itu, Porong dan sekitarnya mungkin sudah lama lenyap.
Ini gara-gara jebolnya tanggul cincin yang menjadi tanggung jawab Lapindo pada 22 Maret lalu. ”Selama tiga tahun tanggul itulah yang menggiring lumpur sehingga mengalir hanya ke saluran pembuangan di sebelah selatan semburan,” ujar Kepala Badan Pengelola Lumpur Sidoarjo, Sunarso.
Lenyapnya tanggul yang mengepung ”lumpur” ini membuat lumpur encer kini mengalir liar ke segala penjuru mata angin. Lumpur langsung menggedor-gedor tanggul terluar, yang berada di bawah tanggung jawab Badan Pengelola.
Presiden PT Minarak, Bambang Mahargianto, mengatakan bahwa pihaknya memang tak mungkin mempertahankan dan memperbaiki tanggul cincin itu. ”Merawat tanggul itu sudah tidak efektif karena penurunan tanah terus terjadi. Kami mengganti fungsi tanggul cincin dengan pompa,” katanya.
Yuniwati mengatakan penanganan teknis yang dilakukan Lapindo saat ini yang terpenting adalah upaya mengelola lumpur itu. ”Soalnya ini kan alam, siklusnya tidak bisa ditentang,” ujarnya.
Lapindo sudah berupaya menghentikan semburan itu dengan berbagai cara. ”Tapi, kalau yang namanya mud volcano (gunung lumpur), menurut para ahli di dunia mana pun, belum ada yang bisa menghentikan, kecuali berhenti sendiri,” ujar Yuniwati. Jadi, dia meneruskan, sekarang ini satu-satunya cara untuk menanggulangi lumpur adalah mengalirkannya ke tempat-tempat yang dianggap aman.
Untuk itu Minarak sudah mendatangkan tujuh pompa lumpur. Menurut Bambang, kapasitas tujuh pompa itu setara dengan volume semburan lumpur sebesar 100 ribu meter kubik per hari. Toh, Badan Pengelola mengaku masih kewalahan mengatur ketinggian lumpur, meski sudah dibantu pompa itu. ”Lumpur semakin tinggi,” kata Sunarso.
Sejak tanggul cincin jebol, ketinggian lumpur terendah di tanggul utara, yang berbatasan langsung dengan permukiman Desa Kalitengah, sudah 8,14 meter. Di tanggul bagian barat titik terendahnya 8,81-9,52 meter. Di sisi selatan ketinggiannya bahkan sudah mencapai 10,47 meter.
Karena ketinggian tanggul 9-11 meter, ini berarti di beberapa titik lumpur sudah menyentuh bibir tanggul. ”Padahal, tanggul itu tak bisa ditinggikan lagi karena hanya berupa tumpukan pasir batu,” ujar Sunarso.
Tapi Sunarso optimistis, masih ada upaya agar lumpur tak meluap melewati tanggul. Caranya, lumpur dialirkan ke kolam baru. ”Saat ini ada cadangan 300 hektare buat dijadikan kolam,” ujarnya.
Masalahnya, tanggul itu juga makin rapuh dari hari ke hari (lihat infografik ”Mengancam Sampai Jauh”). Ini akibat amblesnya tanah di sekitar kolam lumpur. Di beberapa titik, amblesan itu membikin tanggul koyak dan miring ke dalam. Sunarso mengakui ini. ”Tapi itu sudah kami perbaiki dan saat ini aman,” ujarnya. Seaman apa? Sunarso mengakui amblesan itu membuat struktur tanggul berubah sehingga kekuatan tanggul tak bisa dikembalikan seutuhnya.
Itulah pula yang dikhawatirkan Amin Widodo, pakar geologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Tanah yang ambles bisa membikin benteng terakhir itu runtuh kapan saja. Jika ini terjadi, ujarnya, dampaknya bisa lebih hebat daripada tragedi Situ Gintung di Tangerang, Banten, akhir Maret lalu. ”Karena yang tumpah bukan cuma air, tapi 30 persennya lumpur, yang berat jenisnya lebih berat,” ujarnya.
Amin meminta Badan Pengelola mulai menyiapkan warga di sekitar tanggul untuk menghadapi keadaan terburuk: jika benteng lumpur itu tiba-tiba roboh pada saat tak terduga. ”Agar kejadian di Situ Gintung tak terulang, di mana yang selamat cuma yang ada di tepi tanggul,” ujarnya.
Adek Media, Rohman Taufiq (Sidoarjo),Yophiandi, Rini Kustiani
1001 Hari di Porong
8 Maret 2006, 13.30 WIB
27 Mei 2006
29 Mei 2006
Juni 2006
September 2006
Oktober 2006
Maret 2007
Medco menjual Medco Brantas ke Grup Prakarsa.
April 2007
Mei 2007
Juni 2007
September 2007
Oktober 2007
Februari 2009
29 Mei 2009
Mengancam Sampai Jauh
BENCANA lumpur itu jauh melewati tanggul penahan lumpurnya. Amien Widodo, ahli pada Pusat Studi Kebumian dan Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, mengatakan hasil riset lembaganya tahun lalu menunjukkan wilayah pada radius satu kilometer dari tanggul merupakan zona berbahaya. Ancaman itu bisa datang dari tanggul yang sewaktu-waktu bisa jebol, tanah yang mendadak ambles, hingga gas yang bisa tiba-tiba muncul di dalam rumah.
Di Mana-mana Gas
PADA Mei lalu, gas dan lumpur menyembur dari 112 titik di kolam lumpur dan desa-desa di sekitarnya. Jumlah dan lokasi semburan itu berubah-ubah dari waktu ke waktu.
1. DESA SIRING BARAT
2. DESA JATIREJO BARAT
3. DESA MINDI
4. DESA PAMOTAN
5. DESA GEDANG
6. DESA KETAPANG
7. DESA GLAGAHARUM
8. DESA PLUMBON
9. DESA GEMPOLSARI
Bencana Loncat Tanggul
JEBOLNYA tanggul cincin yang mengepung pusat semburan lumpur pada 22 Maret lalu membuat lumpur langsung menghantam tanggul terluar. Bila benteng lumpur terakhir itu tak mampu bertahan, air lumpur setinggi 8-11 meter akan menghembalang permukiman di sekitarnya. Bila benteng itu bertahan, ancaman datang dari bawah tanah yang ambles karena diberati lumpur.
Pompa
Debit lumpur (meter kubik/hari)
Awal Juni 2006
Awal Juli 2006
Agustus 2006-sekarang
Tanggul Luar
Kolam lumpur
Tanggul Cincin
Gelembung Gas
infografis: hadi winata
Lapindo Brantas mulai mengebor sumur Banjar Panji 1 di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, untuk mencari minyak/gas. Mulai kedalaman 1.091 meter, Lapindo membiarkan dinding sumur tanpa pelindung (casing) dengan alasan dinding itu cukup kukuh.
Lindu 5,9 Richter (9 modified mercalli intensity) mengguncang Yogyakarta, 257 kilometer di selatan Sidoarjo. Lapindo mengklaim gempa ini menyebabkan bencana lumpur di dekat sumurnya. Konfirmasi Tempo ke kantor Badan Meteorologi dan Geofisika Tretes, 15 kilometer di selatan Porong, menyatakan lindu itu di sana terukur 1-2 modified mercalli intensity dari skala tertinggi 12.
Lumpur panas muncrat sekitar 200 meter di barat daya sumur eksplorasi minyak/gas Banjar Panji 1, disusul semburan kedua pada 2 Juni dan semburan ketiga keesokan harinya. Semburan kedua dan ketiga cuma berumur beberapa hari.
Lapindo mengoperasikan snubbing unit untuk mencari sumber lumpur, tapi gagal karena mata bor terhalang rongsokan (fish) pengeboran sebelumnya.
Presiden membentuk Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo, dengan masa kerja enam bulan. Semburan lumpur dicoba dihentikan dengan relief well, tapi gagal. Debit lumpur telah mencapai 100 ribu meter kubik per hari.
Medco Brantas, salah satu pemegang saham Lapindo, menggugat di arbitrase internasional karena menilai Lapindo Brantas tak bekerja dengan baik sehingga tragedi lumpur panas terjadi.
Masa tugas Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo diperpanjang sebulan.
Presiden membentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.
Prakarsa yang membeli Medco Brantas mencabut gugatan arbitrase atas Lapindo.
Porong setahun kemudian.
DPR menyetujui pembentukan Tim Pengawas Penyelesaian Kasus Lumpur Lapindo.
Dua tahun lumpur menyembur.
Rapat Paripurna DPR menyebutkan lumpur yang muncrat merupakan fenomena alam.
Tiga tahun lumpur menyembur.
Jumlah kepala keluarga: 306
Rumah rusak: 215 dari 255
Semburan gas: 45
Tanah ambles: 60-100 cm
Emisi gas hidrokarbon (ambang aman < 5.000 ppm): 115.000—441.200 ppm
Pencemaran air: > baku mutu (zat padat, besi, mangan, klor, kadmium, KMnO4)
Jumlah kepala keluarga 223
Rumah rusak: 123 dari 202
Semburan gas: 2
Tanah ambles: 30-60 cm
Emisi gas hidrokarbon:-
Pencemaran air: > baku mutu (zat padat, besi, mangan, klor, kadmium)
Jumlah kepala keluarga:1208
Rumah rusak: 160 dari 1039
Semburan gas: 30
Tanah ambles: 10-40 cm
Emisi gas hidrokarbon (ambang aman < 5.000 ppm): 21.000—184.300 ppm
Pencemaran air: > baku mutu (zat padat, besi, mangan, klor, kromium, kadmium)
Jumlah kepala keluarga: 528
Tanah ambles: 30-40 cm
Semburan gas: 20
Pencemaran air: > baku mutu (zat padat, besi, mangan, klor)
Jumlah kepala keluarga: 421
Tanah ambles: 20-30 cm
Pencemaran air: > baku mutu (zat padat, besi, mangan, klor, kromium, kadmium, timah hitam, KMnO4)
Jumlah kepala keluarga: 1205
Tanah ambles: 5-10 cm
Pencemaran air: > baku mutu (mangan, KMnO4)
Jumlah kepala keluarga: 803
Tanah ambles: 5-10 cm
Pencemaran air: > baku mutu (besi, mangan, KMnO4)
Jumlah kepala keluarga: 323
Tanah ambles: -
Pencemaran air: > baku mutu (mangan, KMnO4)
Jumlah kepala keluarga: 307
Tanah ambles: 5-10 cm
Pencemaran air: > baku mutu (zat padat, nitrogen)
Untuk menghindari penumpukan lumpur, badang pengelola mengoperasikan pompa-pompa lumpur dengan kapasitas total 90-100 ribu meter kubik per hari.
5.000
50 ribu
100 ribu
Tinggi: 9-11 meter
Lebar: 4-11 meter
Luas: 640 hektare
Kedalaman: 8-11 meter
Kini tenggelam, berfungsi mengarahkan aliran lumpur
Gas keluar dari rekahan akibat penurunan tanah
Naskah: Iwank, Rochman Taufiq, PDAT
Sumber: ITS, BPLS, wawancara, dongeng geologi (rovicky.wordpress.com), ikonos/cirsp, google earth.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo