Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Detak mesin jahit Butterfly bersaing dengan deru kendaraan yang melintas di depan UD Enam Lima, Jalan Kludan, Tanggulangin, Sidoarjo. Surono, si empunya usaha dagang, tengah menyelesaikan beberapa pasang bantalan kulit untuk sofa di dalam bengkel berukuran setengah lapangan voli itu.
Sesekali pria 47 tahun ini berhenti untuk menyedot rokok kreteknya dalam-dalam dan berbicara kepada dua pembantunya. Di sekelilingnya, puluhan mesin jahit tak bertukang rapi berjejer. Debu tebal mengubah warna hitam alat-alat itu menjadi cokelat kekuningan. Dulu, ia punya 30 pekerja. Setelah lumpur datang dari lapangan gas Lapindo, pembeli menjauh. Surono pun harus mengurangi buruhnya.
Surono satu dari sedikit perajin kulit Tanggulangin yang masih mampu menghindar dari kebangkrutan. Ketika pesaingnya berguguran, dapur Surono tetap mengebul. Tapi omzetnya babak-belur. Dulu ia mampu menghasilkan puluhan juta rupiah per bulan, kini penghasilannya hanya cukup untuk bertahan hidup.
Hingga tiga tahun lalu, Tanggulangin merupakan salah satu pusat kerajinan kulit terbesar di Indonesia. Di sana, tinggal lebih dari 6.000 perajin dengan ratusan gerai. Dengan omzet lebih dari Rp 300 miliar per tahun, industri wilayah ini menjadi tumpuan Pemerintah Kabupaten Sidoarjo.
Tapi, setelah lumpur menyembur pada 29 Mei 2006, nasib Tanggulangin seketika berubah. Menurut data Asosiasi Pengusaha Tanggulangin, omzet bisnis kerajinan kulit di sana tinggal sekitar Rp 60-an miliar per tahun—turun 80 persen dari 2006. Hingga akhir tahun lalu, sekitar 5.000 perajin telah beralih ke pekerjaan lain. Tak sedikit pula yang menganggur.
Sebenarnya, jarak pusat kerajinan Tanggulangin dengan titik semburan pertama lumpur—dekat sumur eksplorasi Lapindo Brantas Inc., Banjar Panji 1, Desa Renokenongo, Porong—cukup jauh, sekitar lima kilometer. Dan jarak dari titik terluar luapan lumpur, saat ini, masih sekitar 2,5 kilometer. Masalahnya, menurut para perajin yang ditemui Tempo, informasi ini tidak sampai ke pelanggan mereka.
Banyak pembeli mereka yang me-ngira sentra industri itu ikut tengge-lam. Ditambah rusaknya jalan raya, rel kereta, dan jalan tol Porong akibat terendam lumpur, pelanggan akhirnya berhenti datang. ”Siapa yang mau datang kalau jalan selalu macet, ditambah isu Tanggulangin terendam lumpur,” kata Juwito, 51 tahun, yang berjualan minuman, gorengan, stiker, plus nyambi sebagai penjaga parkir di kawasan industri itu.
Juwito termasuk yang bernasib tragis. Tiga tahun lalu, dia masih berstatus pengusaha kulit. Dia memiliki kios di Desa Kedensari. Ia memproduksi sekaligus memasarkan sepatu kulit buatannya. Dari jualannya, ia bisa mengantongi jutaan rupiah per bulan. Semua itu berantakan setelah lumpur datang. ”Semula malu berjualan begini. Tapi mau bagaimana lagi, daripada keluarga tidak makan,” kata bapak empat anak itu.
Sepinya bisnis di kawasan itu paling terasa di dua desa yang menjadi sentra kerajinan: Kedensari dan Kludan. Gerai-gerai berukuran besar, yang dulu selalu ramai, kini telantar menjadi gudang kosong tanpa penghuni. Yang kecil banyak beralih fungsi menjadi warung nasi, bengkel, apotek, bahkan minimarket. Ada juga yang dibiarkan kosong dengan lembaran kertas bertulisan ”Dijual” atau ”Disewakan” tertempel di pintu-pintunya.
Koperasi Industri Tas dan Koper (Intako) di Kedensari, yang menampung sekaligus menjual karya sekitar 400 perajin, masih berdiri, tapi mulai limbung. Omzetnya turun terus. Pada tahun-tahun sebelum lumpur menyembur, koperasi yang berdiri sejak 1976 itu biasa meraup untung hingga belasan juta rupiah per hari. Di hari libur, omzetnya malah mencapai Rp 50 juta.
Sekarang, koperasi itu paling banter hanya bisa menjual kerajinan senilai dua-tiga juta rupiah per hari. Pesanan dari luar kota yang biasanya membanjir juga seret. ”Sering dalam sebulan sama sekali tak ada pesanan,” kata Ida Nurhayati, anggota staf bagian pemasaran Intako.
Pemerintah lokal dan pemerintah Jawa Timur bukannya tak berupaya menghidupkan kembali bisnis kulit daerah itu. Misalnya, bekerja sama dengan Grup Araya milik Ismono Jossianto, pada 2007, pemerintah memfasilitasi 30-an perajin untuk melanjutkan usahanya di Plaza Araya, Malang.
Kemudian, Juni-Juli tahun lalu, Tanggulangin Fair, yang sudah dua tahun absen, kembali digelar sebulan penuh di Pusat Grosir Intako. Dan agar stok perajin kulit tak menguap karena banyak yang beralih profesi, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo menggelar berbagai pelatihan bagi perajin baru. ”Pokoknya, kami terus memutar otak,” kata Bupati Sidoarjo Win Hendrarso.
Pemerintah, kata Win, juga terus berusaha meyakinkan para perajin agar tidak menyerah. Pemerintah antara lain menawarkan fasilitas gratis pameran di dalam dan di luar kota. Biaya pameran, termasuk transportasi dan akomodasi, ditanggung pemerintah daerah. ”Kami juga mengucurkan kredit bagi yang membutuhkannya agar terus hidup.”
Sayang, semua itu tak banyak membantu. Bagi perajin, persoalan utama mereka adalah pembeli. Itu sebabnya mereka kini menunggu dengan cemas proses pembangunan jalan tol Porong-Gempol. Mereka berharap, jika jalan itu sudah kelar, akses ke Tanggulangin yang belakangan ini mampet bisa kembali lancar. Dengan begitu, bisnis mereka juga bisa pulih.
Celakanya, nasib proyek jalan tol ini masih gelap, terantuk urusan ganti rugi tanah. Setengah dari lahan sepanjang 10,1 kilometer yang hendak dibebaskan adalah pekarangan penduduk. Pemerintah Jawa Timur menawarkan ganti rugi Rp 480 ribu per meter persegi, tapi warga bertahan pada harga Rp 1 juta, sama dengan nilai ganti rugi korban lumpur.
Hingga pekan lalu, tarik-ulur itu tak juga beres. Padahal peletakan batu pertama pembangunan jalan tol direncanakan dilakukan awal pekan ini. Jika urusan ganti rugi ini tak segera rampung, sulit berharap pembangunan jalan itu akan selesai pada 2010, seperti target pemerintah Jawa Timur.
Inilah yang menciutkan harapan para pengusaha Tanggulangin. Sujarwoto, 51 tahun, bercerita, bulan lalu rombongan pelanggan dari Jepara, Jawa Tengah, berniat mampir ke gerainya. Dia ditelepon pemimpin rombongan yang juga kenalannya agar menunggu. Pemilik toko sepatu Tiga Berlian itu pun menanti hingga tengah malam. Tamunya tak muncul juga.
Belakangan dia tahu sopir bus enggan mampir karena jalur Porong macet berat. Tapi dia bisa apa? ”Waktu krismon dulu, kami bisa selamat dan tetap berjaya. Sekarang kami kukut (bangkrut) hanya karena lumpur yang tak jelas juntrungannya ini,” kata Sujarwoto geram.
Philipus Parera, Rohman Taufiq (Sidoarjo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo