Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mengukur Kejujuran Calon Presiden

8 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teten Masduki

  • Aktivis antikorupsi

    DI berbagai belahan dunia, pengungkapan kekayaan—baik formal maupun informal—lazim dipakai untuk memelihara integritas pejabat publik. Meski demikian, banyak orang mafhum: laporan kekayaan pejabat dan anggota keluarganya itu tidak sepenuhnya jujur, apalagi jika kekayaan itu hasil korupsi.

    Dalam persyaratan pencalonan presiden dan pasangannya, ada keharusan para calon melaporkan kekayaannya. Mereka juga harus menyatakan diri tidak pernah melakukan korupsi atau mengkhianati negara, memiliki nomor pokok wajib pajak, tidak punya utang yang merugikan negara, dan tidak sedang bangkrut. Dalam konteks ini, menilai kadar integritas pejabat publik secara material, apa pun kelemahannya, lebih terukur ketimbang misalnya aspek ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

    Dalam laporan yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum, calon wakil presiden Prabowo Subianto tercatat paling kaya (Rp 1,5 triliun dan US$ 7,5 juta), disusul Jusuf Kalla (Rp 314 miliar dan US$ 25.668), Megawati Soekarnoputri (Rp 256,4 miliar), Wiranto (Rp 81,7 miliar dan US$ 378.652), Boediono (Rp 22 miliar dan US$ 15.000), dan Susilo Bambang Yudhoyono (Rp 6,8 miliar dan US$ 246.389).

    Jelas mereka cukup kaya untuk ukuran kelompok negara kategori lower middle income (Bank Dunia, Juli 2008), dengan pendapatan per kapita US$ 2.200 setahun. Kekayaan calon presiden dan wakilnya itu juga cukup mencengangkan terutama jika mereka yang seumur hidup berada dalam pemerintahan. Kekayaan ini juga mengisyaratkan betapa tidak mungkinnya kandidat berkantong tipis dan tidak memiliki akses terhadap sumber-sumber dana politik berani mencalonkan diri sebagai presiden.

    Apa makna laporan kekayaan calon presiden itu dalam konteks Pemilu 2009? Praktis tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang bisa menggugurkan pencalonan jika harta para kandidat ternyata diperoleh tidak wajar. Jadi aturan ini bukan filter untuk memilih calon presiden, melainkan instrumen preventif untuk mendeteksi tingkat kewajaran pertambahan kekayaan mereka sebelum dan sesudah berkuasa. Kalau tujuan ini yang diharapkan, kandidat yang paling kotor pun tidak akan ragu untuk mencalonkan diri—kendati harus membeberkan kekayaannya kepada publik.

    Kita boleh ragu pada efektivitas kewajiban pelaporan kekayaan itu terhadap upaya pencegahan korupsi. Apalagi, sejauh ini, belum ada pejabat yang memiliki kekayaan yang tidak masuk akal didakwa di pengadilan korupsi. Kalaupun ada, data kekayaan itu hanya pelengkap kasus korupsi lain yang tengah disidangkan. Asas pembuktian terbalik—cara paling jitu untuk menyeret koruptor ke bui—masih ragu-ragu diterapkan di Indonesia.

    Laporan kekayaan mestinya dapat memberikan informasi yang memadai agar publik mendapatkan gambaran integritas mereka. Selain itu, laporan yang rinci tentang keuangan, kekayaan, kondisi perusahaan, atau utang mereka dan kerabat dekatnya dapat mencegah konflik kepentingan ketika mereka menjalankan tugas nanti. Sayangnya, hal itu tidak terjadi karena Komisi Pemberantasan Korupsi hanya melakukan verifikasi ala kadarnya.

    Di Tanah Air, terutama sejak Pemilu 1999, muncul fenomena pengusaha yang menjadi donatur politik. Ini adalah sesuatu yang lumrah: pebisnis membutuhkan infrastruktur yang kuat untuk kepentingan bisnis mereka ke depan, sehingga ”menanamkan” duit mereka dalam ranah politik.

    Tapi dewasa ini kepentingan pebisnis terjun ke politik berarti sangat pragmatis: yang disasar adalah captive market berupa proyek-proyek yang didanai anggaran pendapatan dan belanja negara atau daerah. Karena itu, tidak benar pendapat yang mengatakan calon pemimpin yang kaya relatif tidak bakal melakukan korupsi. Kandidat kaya bukan tidak mungkin akan menumpuk kekayaannya, termasuk dengan cara yang korup, karena ada ”tuntutan” dari para donatur.

    Sayangnya, dalam kecenderungan pemilu yang clientelistic (Kitschelt dan Wilkinson, 2007), urusan integritas bukan faktor utama yang dipertimbangkan para pemilih. Yang mereka perhitungkan adalah tingkat ”kedermawanan” material para kandidat selama kampanye.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus