Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wajah-wajah sedih, tenggelam dalam lamunan, sudah biasa terlihat di pengungsian Kedungsolo. Namun Fatimah lebih parah. Perempuan 60 tahun itu melamun jauh lebih lama. Sorot matanya menerawang keluar celah daun pintu bedeng tripleks tanpa penerangan listrik, berukuran 3 x 5 meter.
Sudah setahun terakhir kesehatan jiwa Fatimah terganggu. Bila matahari bersinar cerah, ia suka berjalan-jalan di kawasan pengungsian di Kecamatan Porong, Jawa Timur, tersebut dan melanjutkannya hingga ke desa-desa di sekitarnya. ”Dia selalu bertanya kepada orang-orang di sini: rumahku endi (mana)?” cerita Sunarto, koordinator kawasan pengungsi Desa Kedung Solo tersebut.
Di pengungsian di atas lahan seluas 10 hektare yang dibeli dari Perusahaan Gula Krembung itulah, Fatimah tinggal bersama 600-an warga Porong yang menjadi korban bencana lumpur. Sebanyak 170 kepala keluarga itu hidup berimpitan di bedeng-bedeng beratap terpal. Fatimah tinggal bersama keluarga Kusnati, yang bukan saudaranya.
Menurut Kusnati, ketika masih tinggal di pengungsian Pasar Baru, Fatimah masih baik-baik. Dia sering bercerita tentang rumahnya di Desa Renokenongo yang sudah ditenggelamkan lumpur panas. Rumah mewah bergaya Jawa yang banyak menggunakan kayu jati itu berdiri di atas lahan 556 meter persegi. Rumah Fatimah lebih mewah ketimbang tempat tinggal Kepala Desa Renokenongo.
Lalu, keadaannya berubah 180 derajat pada tiga tahun lalu. Ini setelah lumpur menyembur dari bawah permukaan Porong, 200 meter dari sumur eksplorasi minyak dan gas Lapindo Brantas.
Semula, ketika masih di penampungan pengungsi di Pasar Baru, Fatimah ”hanya” sering mengeluh pusing. Keadaannya memburuk setelah Darmadji—kakaknya yang selalu menemaninya—meninggal tatkala mereka masih di pengungsian yang lama itu. Fatimah pun tinggal sebatang kara, karena ketiga saudara kandung mereka meninggal ketika masih kecil. ”Dia jadi sering melamun,” kata Kusnati. Sejak itu pula, Fatimah tak lagi mengeluh pusing.
Menurut Sunarto, ada beberapa penduduk yang senasib dengan Fatimah. Seperti Ketang, 48 tahun, yang setiap pukul enam pagi keluar dari kawasan pengungsian dan jarang kembali pulang. Ada juga Kasimah, 50 tahun, dan Kusniah, 60 tahun. Di antara mereka, hanya Kusniah yang pernah dirawat oleh tenaga profesional di Rumah Sakit Jiwa Sumber Porong, Lawang, Malang.
Menurut Direktur Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya, Hendro Riyanto, kondisi seperti yang menimpa Fatimah biasa terjadi pada korban bencana. Penyebabnya, ujarnya, karena mereka mendapat guncangan jiwa berat akibat kehilangan rumah, pekerjaan, dan lingkungan yang mereka kenal sekian lama—mungkin sejak kecil. Nah, setelah kehilangan hal-hal yang berharga, mereka harus hidup di tempat asing yang sama sekali tidak nyaman, yaitu tempat pengungsian.
Tekanan ini, kata psikiater dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga itu, akan berkonflik dengan ego orang tersebut. Saat itulah orang akan menentukan: menerima atau menolak kondisi tersebut. Bila mereka terus menolak menerima kenyataan, mereka akan menderita stres.
Inilah titik krusialnya. Bila kondisi ini bisa dilewati, orang itu bisa bertahan—bahkan mentalnya bertambah kuat—dan mampu keluar dari tekanan. Bahkan tak sedikit yang mampu kreatif menyikapi bencana tersebut. ”Contohnya para korban yang menjual cakram video tentang bencana lumpur,” kata Hendro.
Namun, Hendro memperkirakan, ada lebih banyak korban lumpur yang tetap stres, ketimbang yang berhasil keluar dari tekanan. Stres ini lama-kelamaan berubah jadi depresi. ”Bila depresi ini dibiarkan berlarut-larut, kondisinya akan berubah seperti Fatimah,” kata dia.
Hendro mengaku, ia pernah memperkirakan persoalan jiwa pada korban akan muncul setahun setelah lumpur itu menyembur. Maka, bersama rekan-rekan seprofesinya, pria kelahiran Madiun 55 tahun lalu itu datang ke tempat pengungsian di Pasar Baru, Porong, untuk membuka konseling. ”Tapi kami ditolak, mereka bilang tidak gila,” ujarnya.
Guru besar Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, A. Prayitno, meminta pihak yang berwenang tidak membiarkan keadaan terus berlarut-larut. ”Keinginan para korban harus cepat dipenuhi. Walaupun ganti rugi belum bisa menghapus trauma, paling tidak penggantian materi memunculkan harapan,” ujarnya.
Mereka yang terkena gangguan jiwa harus diobati. ”Tidak harus ke rumah sakit, yang penting mendapat obat antidepresan,” kata Prayitno.
Untuk mengobatinya, Prayitno mengatakan diperlukan waktu dua tahun agar bisa kembali normal. ”Bisa juga lebih, tergantung semangat orang tersebut untuk sembuh.”
Yophiandi (Jakarta ), Sony Wignya Wibawa (Sidoarjo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo