Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Nelayan pencari ikan sidat risau akan dampak pengerukan di daerah aliran Sungai Poso, Sulawesi Tengah.
Populasi ikan sidat di Danau Poso tidak diketahui pasti karena belum ada pendataan tahunan.
Jalur ruaya ikan dan restocking atau tabur benih ikan merupakan beberapa upaya menjaga populasi ikan sidat di Danau Poso.
FERDILIUS Toumbo, yang akrab disapa Papa Devi, adalah seorang to ponyilo. Dalam bahasa Pamona—salah satu suku terbesar di Kabupaten Poso—sebutan itu berarti orang yang mencari ikan sidat atau masapi bagi orang Sulawesi. Pria 42 tahun itu bersama istri dan tiga anaknya tinggal di rumah sederhana di pinggir Danau Poso, Kelurahan Pamona, Kecamatan Pamona Puselemba, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Tempat kerja Ferdilius adalah mulut danau tepat di belakang rumahnya hingga ke arah sungai.
Saban pagi, mulai pukul 06.30 hingga 10.30, Ferdilius menyusuri area bebatuan besar yang membentang di sepanjang mulut danau sampai ke selatan. Senjata yang ia gunakan adalah panah berbahan kayu sepanjang 1 meter. Ferdilius juga membawa senter dan kacamata renang. Senter diperlukan saat mencari masapi yang bersembunyi di bawah rongga batu, sementara kacamata dipakai ketika air danau keruh. Dia bisa menyelam hingga kedalaman 10 meter untuk melepaskan panah. Pada sore hari, dia menyiapkan peralatan monyilo—mencari masapi memakai tombak yang disebut sarompo.
Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Poso, Ferdilius adalah satu dari sekitar 30 to ponyilo. Para pencari masapi ini kini risau terhadap pengerukan sungai yang dilakukan PT Poso Energy karena berpengaruh besar pada buruan mereka. Perusahaan tersebut memiliki dua pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di antara Danau Poso dan Teluk Tomini, yang merupakan jalur ruaya atau migrasi masapi.
Sampai Jumat, 1 April lalu, Manajer Lingkungan dan Corporate Social Responsibility PT Poso Energy Irma Suriani tidak merespons pesan WhatsApp ataupun panggilan telepon Tempo, yang hendak meminta konfirmasi mengenai pengerukan sungai. Sebelumnya, pengelola PLTA itu menjelaskan kepada Wakil Gubernur Sulawesi Tengah Rusli Palabbi dalam kunjungan pada Ahad, 28 Maret lalu, bahwa pengerukan tersebut bertujuan meningkatkan debit air untuk operasi dua pembangkit listriknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para nelayan di muara danau Poso bersiap menangkap ikan dari atas perahu di Danau Poso, Pamona Utara, Poso, Sulawesi Tengah, 11 Maret 2021. Tempo/Sofiyan Siruyu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi para to ponyilo, ada metode selain memanah dan monyilo untuk menangkap masapi, yakni menggunakan waya masapi alias pagar sidat. Alat tangkap berupa pagar berbahan paduan bambu dan kayu yang dipasang di tengah sungai digunakan dalam teknik ini. Pagar itu menghadap danau. Di dalam pagar, ada lantai berupa anyaman bambu yang dipasang menanjak dan menyempit ke ujung pagar. Di situ dipasang bubu, tempat memerangkap masapi.
Satu waya masapi dimiliki oleh lima-sembilan keluarga. Setiap keluarga mendapat giliran berjaga dan mengambil masapi yang terperangkap. Saat ini tinggal empat waya masapi saja yang bertahan dari sebelumnya sekitar 50. Beberapa di antaranya ditinggalkan begitu saja di sungai. Sebagian lain dibongkar setelah pemiliknya mendapat ganti rugi dari PT Poso Energy yang mengeruk Sungai Poso.
To ponyilo bisa mendapatkan beragam ikan. Selain sidat, ada ikan mas dan mujair. Ferdilius mengungkapkan, dalam sehari ia dapat memperoleh sedikitnya 5 kilogram ikan. Pendapatannya bisa mencapai Rp 425 ribu sehari. Namun kadang hasilnya minim. "Kalau bulan terang, biasanya hanya untuk menutup biaya BBM," ujarnya. Dibutuhkan setidaknya 10 liter bahan bakar minyak untuk sekali monyilo. Dalam sebulan, para to ponyilo turun ke danau 15 hari saat tak ada bulan.
Fredi Kalengke, 43 tahun, yang mencari masapi dengan waya, mengatakan, dalam semalam, hasil kelompoknya rata-rata 5 kilogram. Mereka menjualnya ke pengepul seharga Rp 90 ribu per kilogram sehingga rata-rata bisa mendapatkan Rp 450 ribu. Penghasilan mereka sebulan sekitar Rp 13,5 juta.
Yusuf Manarang, nelayan masapi lain, mengatakan pengerukan dasar danau sejak Agustus hingga Desember 2020 membuat muara makin dalam dan hal itu menyulitkan nelayan menombak ikan. Rusaknya dasar muara, kata dia, membuat ikan menjauhi lokasi tersebut. Hal itu membuat tangkapannya berkurang. Untuk menambah tangkapan, mereka harus mencari ikan ke danau.
Sebelum adanya pengerukan sungai, pada musim masapi, Ferdilius mengaku bisa mendapatkan tiga masapi seberat 5 kilogram sekali monyilo. Pernah dia mendapatkan masapi berukuran 13 kilogram. "Sekarang untuk mendapatkan satu masapi biasanya sampai dua kali monyilo, yaitu malam dan subuh. Padahal fisik kita ini terbatas juga daya tahannya," tuturnya, berkeluh-kesah.
Triyanto, peneliti Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menyebutkan belum ada pendataan khusus sidat di Danau Poso. Penelitian Kementerian Kelautan pada 1980-an mencatat angka produksi sidat di sana mencapai 41,5 ton, tapi pada 2010-2011 turun menjadi 25 ton. Triyanto mengatakan data produksi itu hanya berasal dari Tentena. "Jumlah yang dicatat bisa jadi lebih kecil karena ada yang tak dilaporkan," ucapnya.
Fadly Y. Tantu, peneliti dari Departemen Akuakultur Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Tadulako, Palu, mengungkapkan, dalam beberapa tahun terakhir, masalah penurunan populasi sidat ini ramai diperbincangkan. "Bisa jadi penurunan itu akibat perubahan iklim global atau berubahnya bentang alam akibat adanya bendungan," katanya, Rabu, 31 Maret lalu. "Di Sungai Poso ada dua bendung dan itu dianggap sebagai penghalang."
Yang dimaksudkan Fadly sebagai penghalang dalam hal ini berkaitan dengan siklus hidup sidat yang unik. Ikan sidat dewasa, Fadly menjelaskan, akan beruaya atau bermigrasi dari Danau Poso menuju Teluk Tomini untuk memijah alias bertelur di sana. “Sidat anakan yang berhasil selamat dari penangkapan di muara kemudian akan kembali ke air tawar untuk tumbuh besar,” ujar Fadly.
Menurut Fadly, sebelum ada bendungan, para saintis sudah khawatir terhadap penggunaan waya masapi karena alat itu menangkap induk sidat yang hendak turun ke laut. "Jadi, secara logika, bendungan ini akan menghambat migrasi ikan sidat ke danau. Sebaliknya, ikan yang mau turun ke laut terhambat karena sebagian tertangkap waya masapi," tuturnya.
Andi Achmadi, Koordinator Corporate Social Responsibility PT Poso Energy, mengatakan perusahaan sudah melakukan berbagai upaya untuk menjaga populasi ikan yang menjadi ikon Kabupaten Poso ini. Misalnya membangun fish way atau jalur ikan di dekat bendungan untuk membantu sidat naik dari teluk ke danau. Andi menyatakan pihaknya menunjukkan fish way di dam PLTA Poso I itu kepada peneliti LIPI, pertengahan Maret lalu.
Menurut Ahmadi, saat itu terlihat ada sidat anakan di fish way, yang berarti ikan tersebut sudah melewati dam PLTA Poso II yang berada di bawahnya. "Karena ini hewan nokturnal, saat siang yang terlihat tujuh ekor. Kalau malam hari lebih banyak," katanya kepada Tempo, Kamis, 1 April lalu. Ia menambahkan, temuan itu menjadi bukti bahwa sidat bisa melewati fish way.
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Poso Yusak Mentara mengatakan, saat rombongan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah meninjau PLTA Poso II dan PLTA Poso I, mereka menilai fish way tersebut telah memenuhi syarat. "Dari rekaman CCTV di PT Poso Energy, ada hewan ini yang naik melewati fish way saat tengah malam," ucapnya, Rabu, 31 Maret lalu.
Upaya lain menjaga populasi sidat di Danau Poso adalah restocking, yaitu menebar sidat anakan di danau dan sidat dewasa di teluk. Menurut Yusak, Pemerintah Kabupaten Poso bekerja sama dengan PT Poso Energy menebar sidat anakan dan dewasa. Pada Januari lalu, ada restocking 20 induk sidat dengan berat total 200 kilogram di dermaga Tempat Pelelangan Ikan Poso.
ABDUL MANAN, SOFYAN SIRUYU (POSO)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo