Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sumarni Laman terbiasa bermain di hutan sejak masih bocah, namun hubungannya dengan alam terputus ketika pindah ke kota.
Ia gelisah dengan deforestasi yang diakibatkan oleh kebakaran, penebangan kayu, dan pengalihfungsian lahan menjadi perkebunan.
Sumarni terjun langsung memadamkan api saat terjadi kebakaran hutan di Palangka Raya pada 2019.
WAJAH nona Asia itu menghiasi halaman berita situs web Global Landscapes Forum, bersanding dengan 15 perempuan lain dari berbagai negara. Sumarni Laman, dara asal Kalimantan Tengah, itu menjadi satu-satunya perempuan dari Indonesia yang terpilih sebagai perempuan pemulih bumi. Forum internasional yang berfokus pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan perjanjian iklim Paris (Paris Agreement) itu mengumumkan 16 nama tersebut pada Maret lalu. “Saya merepresentasikan gerakan anak-anak muda di Kalimantan, menunjukkan bahwa kami tidak diam dengan kondisi deforestasi hutan kami,” kata Sumarni, Sabtu, 27 Maret lalu.
Sue—demikian Sumarni biasa disapa—adalah anggota staf Ranu Welum Foundation. Yayasan yang didirikan Emmanuela Shinta—salah seorang Perempuan Penjaga Bumi pilihan Tempo 2020— itu berfokus memberdayakan pemuda Dayak agar melanjutkan tradisi dan belajar melindungi lingkungan. Sue menjadi koordinator Youth Act di lembaga itu sejak 2019. Ia menggerakkan anak-anak muda, terutama dari Dayak, kembali ke tradisi mereka melestarikan rimba.
Dayak, Kalimantan, dan hutan adalah tiga hal yang tak terpisahkan. Wilayah Borneo itu menjadi rumah bagi hutan hujan tropis terbesar ketiga yang tersisa di bumi. Masyarakat Dayak memanfaatkan wana itu layaknya supermarket untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka antara lain memanen buah, menanam sayuran, berburu binatang, mengambil kayu untuk bahan bangunan, dan mengumpulkan akar atau kayu sebagai bahan obat tradisional.
Para tetua hidup berdampingan dengan hutan dan menjaganya agar tetap lestari. Namun kebakaran, penebangan kayu, dan pengalihan lahan menjadi perkebunan membuat luas hutan pelan-pelan menyusut. “Anak-anak muda pun, terutama yang hidup di kota, sudah tak terhubung dengan hutan. Seperti saya, yang baru kembali setelah 20 tahun,” tutur Sue, 24 tahun.
Sue lahir dan dibesarkan di Desa Kampuri, Kecamatan Mihing Raya, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Bersama bocah-bocah sekampung, ia biasa bermain di hutan yang terletak di belakang rumah. Mereka merengge alias menjaring ikan di sungai, menangkapi ikan gabus sebesar paha dengan tangan telanjang, memanen jamur di antara pohon-pohon besar seusai hujan, atau melihat owa saat bersampan. Ia pun mendengar cerita para tetua tentang hidup harmonis dengan alam. “Itu kemewahan yang saya rasakan sewaktu kecil,” ujarnya.
Ketika usia Sue 4 tahun, keluarganya pindah ke Kota Palangka Raya, sekitar 125 kilometer dari kampungnya. Ia dan keluarganya masih sering wira-wiri ke desa sampai dua tahun setelahnya. Namun, setelah usianya 6 tahun, mereka tak lagi mengunjungi kampung. Aktivitas bermain di dalam hutan itu pun tak lagi dilakukan. Ia terputus dari alam.
Di Kota Palangka Raya, Sue justru melihat kebakaran hutan untuk pertama kalinya. Asap mengepung kota yang lahannya berupa gambut. Orang tuanya dan para tetangga sibuk membuat parit dan mengisinya dengan air untuk mencegah api masuk ke perkampungan. “Sejak pindah itu saya punya penyakit asma, mungkin gara-gara sering terjadi kebakaran hutan,” ucapnya.
Ia baru kembali ke desa ketika melakukan studi lapangan saat kuliah di Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Palangka Raya. Bayangan tentang desa yang berisi hutan dan satwa liar, seperti masa kecilnya dulu, hilang. Yang ada adalah tanah berlubang akibat penambangan. Juga lahan gundul akibat kebakaran atau pembabatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sue gelisah melihat kondisi itu. Ia bingung atas berbagai studi dan klaim yang menyalahkan masyarakat adat sebagai penyebab kerusakan alam. Mereka dituding sebagai biang keladi kerusakan hutan karena membuka lahan pertanian dengan cara membakar rimba. “Tapi tidak ada yang mengkaji masalah tersebut dari sisi masyarakat adat,” ujarnya. Ia ingin membantu memadamkan api saat terjadi kebakaran hutan, tapi tak tahu harus ke mana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keresahan itu membawanya mendaftar menjadi relawan dalam perayaan Hari Masyarakat Adat Internasional yang diadakan Ranu Welum pada 2017. Ia kemudian bergabung menjadi anggota staf yayasan itu. Shinta, yang mengamati kawan-kawannya di organisasi, menilai Sue sebagai sosok cerdas, cekatan, dan pekerja keras. “Saya menyebut dia speedy girl karena menyelesaikan semua pekerjaan dan tugasnya dengan sangat cepat,” kata Shinta.
Ia pun melihat perubahan dalam diri Sue. Sue bertransformasi dari seorang relawan menjadi pemimpin muda Dayak yang mau terus belajar demi membawa perubahan bagi komunitasnya. Sue dipercaya sebagai koordinator Youth Act pada 2019.
Tak lama kemudian, terjadi kebakaran hutan hebat di Kalimantan. Sue ikut turun memadamkan api bersama kawan-kawannya dari Taruna Siaga Bencana di perbatasan Kota Palangka Raya dan Kabupaten Pulang Pisau. Upaya mereka mengendalikan api terhambat. Padahal pemerintah sudah membuat sumur bor di banyak titik di wilayah yang sering terjadi kebakaran. “Sumur bor yang ada di sekitar situ ternyata tipu-tipu. Bangunan atasnya ada, tapi selang ke bawah enggak ada. Kami tidak bisa mengambil air,” tuturnya.
Mereka mesti mendatangi sumur lain yang jaraknya cukup jauh. Sebagian besar waktu mereka justru habis untuk mengambil air ketimbang untuk memadamkan api. “Korupsi itu menyakitkan,” ucap Sue.
Sue dan timnya juga memberikan layanan dengan mendatangi desa-desa yang tak memiliki pusat kesehatan masyarakat. Mereka membagikan masker dan mengedukasi masyarakat tentang asap.
Sumarni Laman bersama tim pemadam Katuyung Firefighter saat memadamkan kebakaran lahan gambut di Palangkaraya, 2019. Dok. Pribadi
Di bawah Sue, Youth Act membawa program The Heartland Project untuk meningkatkan kesadaran anak muda akan masalah kebakaran hutan, pertambangan, dan pelanggaran hak masyarakat adat. Mereka antara lain mengadakan tur ramah lingkungan ke Desa Tumbang Nusa, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau, yang diikuti para siswa dari Palangka Raya. Tumbang Nusa berlahan gambut dan menjadi lokasi titik api kebakaran hutan dalam 23 tahun terakhir. Para anak muda ini diajak menanam pohon, diberi penjelasan tentang ekosistem lahan gambut, dan mendiskusikan strategi pemulihan hutan.
Mereka juga memiliki program yang mengajak anak-anak muda tinggal bersama masyarakat Dayak di Desa Talekoi, Kecamatan Dusun Utara, Kabupaten Barito Selatan. Desa Talekoi adalah salah satu permukiman suku Dayak tertua di Kalimantan Tengah. Anak-anak muda tersebut antara lain diajak belajar tentang sistem kehidupan Dayak, berdiskusi, dan mendengar cerita dari para tetua. “Kami pilih anak-anak muda yang berpotensi menjadi pemimpin supaya nanti bisa menularkan ilmu mereka ke orang lain,” ujar Sue.
Peresto, salah seorang warga Desa Talekoi, mengatakan kedatangan Sue dan teman-temannya juga mengubah cara berpikir masyarakat. Misalnya, warga desa diberi penjelasan tentang bahaya menggunduli hutan. “Sekarang kalau ada yang mau nebang pohon jadi mikir-mikir,” katanya. Anak-anak muda kampung yang kelihatan tak produktif juga diajak terlibat dalam kegiatan komunitas mereka.
Sue dan kawan-kawannya pun banyak mencari tahu informasi tentang adat masyarakat dan menggali potensi hutan. Mereka antara lain menginisiasi pembibitan kayu ulin, yang makin langka di Tanah Air. Kayu besi tersebut masih ditemukan di hutan Talekoi. “Kami jadi ada kerjaan,” ucap Peresto.
Selain mengurus Youth Act, Sue tengah kuliah S-2 di School of Government and Public Policy-Indonesia. Ia mengambil fokus analisis kebijakan publik. Sue melihat selama ini masyarakat hanya menjadi obyek kebijakan. Padahal mereka adalah bagian terpenting dalam pembangunan. Misalnya, ketika pemerintah melarang pembukaan lahan dengan cara dibakar, masyarakat tidak diberi opsi ataupun difasilitasi agar tetap bisa mencari makan. “Saya ingin masyarakat menjadi bagian penting dari kebijakan.”
NUR ALFIYAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo