Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Sosok

Berita Tempo Plus

Terhubung Kembali dengan Bumi

Sumarni Laman menggerakkan pemuda Dayak kembali ke tradisi mereka melestarikan hutan. Ia terpilih menjadi satu dari 16 perempuan dunia pemulih bumi oleh Global Landscapes Forum.

3 April 2021 | 00.00 WIB

Sumarni Laman, aktivis lingkungan, di Palangkaraya, Kamis 1 April 2021. Dok. Pribadi
Perbesar
Sumarni Laman, aktivis lingkungan, di Palangkaraya, Kamis 1 April 2021. Dok. Pribadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Ringkasan Berita

  • Sumarni Laman terbiasa bermain di hutan sejak masih bocah, namun hubungannya dengan alam terputus ketika pindah ke kota.

  • Ia gelisah dengan deforestasi yang diakibatkan oleh kebakaran, penebangan kayu, dan pengalihfungsian lahan menjadi perkebunan.

  • Sumarni terjun langsung memadamkan api saat terjadi kebakaran hutan di Palangka Raya pada 2019.

WAJAH nona Asia itu menghiasi halaman berita situs web Global Landscapes Forum, bersanding dengan 15 perempuan lain dari berbagai negara. Sumarni Laman, dara asal Kalimantan Tengah, itu menjadi satu-satunya perempuan dari Indonesia yang terpilih sebagai perempuan pemulih bumi. Forum internasional yang berfokus pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan perjanjian iklim Paris (Paris Agreement) itu mengumumkan 16 nama tersebut pada Maret lalu. “Saya merepresentasikan gerakan anak-anak muda di Kalimantan, menunjukkan bahwa kami tidak diam dengan kondisi deforestasi hutan kami,” kata Sumarni, Sabtu, 27 Maret lalu.

Sue—demikian Sumarni biasa disapa—adalah anggota staf Ranu Welum Foundation. Yayasan yang didirikan Emmanuela Shinta—salah seorang Perempuan Penjaga Bumi pilihan Tempo 2020— itu berfokus memberdayakan pemuda Dayak agar melanjutkan tradisi dan belajar melindungi lingkungan. Sue menjadi koordinator Youth Act di lembaga itu sejak 2019. Ia menggerakkan anak-anak muda, terutama dari Dayak, kembali ke tradisi mereka melestarikan rimba.

Dayak, Kalimantan, dan hutan adalah tiga hal yang tak terpisahkan. Wilayah Borneo itu menjadi rumah bagi hutan hujan tropis terbesar ketiga yang tersisa di bumi. Masyarakat Dayak memanfaatkan wana itu layaknya supermarket untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka antara lain memanen buah, menanam sayuran, berburu binatang, mengambil kayu untuk bahan bangunan, dan mengumpulkan akar atau kayu sebagai bahan obat tradisional.

Para tetua hidup berdampingan dengan hutan dan menjaganya agar tetap lestari. Namun kebakaran, penebangan kayu, dan pengalihan lahan menjadi perkebunan membuat luas hutan pelan-pelan menyusut. “Anak-anak muda pun, terutama yang hidup di kota, sudah tak terhubung dengan hutan. Seperti saya, yang baru kembali setelah 20 tahun,” tutur Sue, 24 tahun.

Sue lahir dan dibesarkan di Desa Kampuri, Kecamatan Mihing Raya, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Bersama bocah-bocah sekampung, ia biasa bermain di hutan yang terletak di belakang rumah. Mereka merengge alias menjaring ikan di sungai, menangkapi ikan gabus sebesar paha dengan tangan telanjang, memanen jamur di antara pohon-pohon besar seusai hujan, atau melihat owa saat bersampan. Ia pun mendengar cerita para tetua tentang hidup harmonis dengan alam. “Itu kemewahan yang saya rasakan sewaktu kecil,” ujarnya.

Ketika usia Sue 4 tahun, keluarganya pindah ke Kota Palangka Raya, sekitar 125 kilometer dari kampungnya. Ia dan keluarganya masih sering wira-wiri ke desa sampai dua tahun setelahnya. Namun, setelah usianya 6 tahun, mereka tak lagi mengunjungi kampung. Aktivitas bermain di dalam hutan itu pun tak lagi dilakukan. Ia terputus dari alam.

Di Kota Palangka Raya, Sue justru melihat kebakaran hutan untuk pertama kalinya. Asap mengepung kota yang lahannya berupa gambut. Orang tuanya dan para tetangga sibuk membuat parit dan mengisinya dengan air untuk mencegah api masuk ke perkampungan. “Sejak pindah itu saya punya penyakit asma, mungkin gara-gara sering terjadi kebakaran hutan,” ucapnya.

Ia baru kembali ke desa ketika melakukan studi lapangan saat kuliah di Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Palangka Raya. Bayangan tentang desa yang berisi hutan dan satwa liar, seperti masa kecilnya dulu, hilang. Yang ada adalah tanah berlubang akibat penambangan. Juga lahan gundul akibat kebakaran atau pembabatan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus