Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Berburu: Biar Lebih Mahal

Kasus perburuan rusa di sul-tera yang mengorbankan 200 ekor rusa, melahirkan keputusan presiden. isinya kenaikan bea masuk & pajak penjualan senjata berburu 50%, diharapkan dapat merem pemburu gelap.(ling)

24 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA, soal perburuan binatang secara semena-mena, masuk sidang Bina Graha. Seusai Seminar Nasional Pengembangan Lingkungan Hidup di Jakarta dua minggu lalu, keluar satu keputusan Presiden yang baru. Isinya: kenaikan bea masuk dan pajak penjualan senjata berburu sebanyak 50%. Tujuannya, seperti dikemukakan Menteri PPLH Emil Salim selesai diterima Presiden di Cendana, adalah "merem perburuan yang mengganggu kelestarian alam". Kasus perburuan rusa secara sewenang-wenang di Sulawesi Tenggara sebelumnya sudah dilaporkan kepada Emil Salim dalam pertemuan ratusan organisasi pencinta alam di Jakarta, akhir Mei. Menurut Sumber TEMPO di Ujungpandang, perburuan rusa memang sudah lumrah di Sulawesi Tenggara. Namun yang paling menghebohkan adalah perburuan sekitar September 1976, pada masa ketika rusa betina sedang bunting. Waktu itu ada serombongan pemburu dari Jakarta datang ke Kendari. Turun dengan kapal pendarat sendiri, mereka naik dua jip safari yang dilengkapi lampu sorot pemukau mangsa. Hasil: hampir 200 ekor rusa terbabat dalam tempo beberapa malam saja. Rupanya kasus Sulawesi Tenggara itu telah membuka mata pemerintah pusat, bahwa ada pemburu yang menyalahgunakan senjatanya hingga mengancam kelestarian 79 jenis binatang yang dilindungi. Sebenarnya, pemburu berlisensi yang tergabung dalam Perbakin (Persatuan Menembak dan Berburu seluruh Indonesia) harus berpegang pada ketentuan PPA (Perlindungan dan Pengawetan Alam). Seorang yang ingin berburu banteng di suaka margasatwa Ujung Kulon, Jawa Barat misalnya, harus minta izin ke kantor pusat PPA di Bogor. Di sanalah ditunjuk lokasi di mana satwa lindungan itu boleh diburu. Itupun hanya seekor saja yang boleh ditembak. "Ini seperti yang berlaku di Afrika," tutur seorang pedagang senjata yang juga punya pengalaman berburu. Selain itu sang pemburu harus membayar semacam ganti rugi sebesar Rp 60 ribu bagi seekor banteng yang ditembaknya. Tapi apa sanksi bagi pemburu gelap yang berburu tanpa izin -- atau melanggar batas jumlah binatang yang boleh ditembak? Di atas kertas, PPA dapat memungut denda, bahkan polisi dapat menyita senjata si pemburu. Namun seperti diakui Mayor (Pol) Soedarman, Sekretaris Perbakin Jaya "asal pemburu galak sedikit, PPA sudah tak bisa berbuat apa-apa " kata Soedarman (lihat Box). Pembelian senjata berburu pun -- terutama senjata api -- harus dengan surat izin Polri. Prosedurnya panjang: bisa makan waktu 3 sampai 4 bulan. Setelah izin keluar barulah si calon pemburu dapat membeli senjata kesukaannya di lantai paling bawah Gedung Toserba Sarinah di Jalan Thamrin, Jakarta. Bagian penjualan senjata bernomor sandi "Department o4/Gunshoot Sarinah" ini merupakan satu-satunya importir senjata api berburu. Pimpinannya seorang jenderal purnawirawan Polri. Di ruang bawah tanah Sarinah yang hanya dijaga dua orang itu, tersedia berbagai jenis dan kaliber senjata genggam (pistol, revolver) maupun senJata bahu (senapan). Harganya berkisar antara Rp 250 sampai 350 ribu per pucuk. Firman Abdul Kadir, seorang pimpinan usaha itu, tak mau mengungkapkan berapa omset penjualannya. Namun diakuinya, omsetnya itu tiap tahun menurun. "Tahun ini saja, kami cuma mengimpor tiga pucuk senjata," katanya kepada TEMPO. Toko itu pun kini lebih banyak mengalihkan usahanya ke perlengkapan berburu dan berkemah: lampu senter, lampu sorot, pisau, kapak, dan tenda. Toh sekarang saja 650 anggota Perbakin di Jakarta sudah tercatat memiliki 1400 pucuk senjata. Belum lagi anggota Perbakin di kota lain. Dan itu belum lagi termasuk senjata standar ABRI, yang menurut peraturan tak boleh dipakai berburu, namun dalam prakteknya bisa lain. Namun yang mungkin tak kalah dahsyatnya dari akibat senjata api, adalah matinya ribuan burung oleh peluru senapan angin. Omset penjualan senjata tanpa mesiu itu ternyata terus melonjak dari tahun ke tahun. Ambillah misalnya Toko Purnama di Jalan Menteng Prapatan, Jakarta. "Tahun 1976," cerita Nyonya Laila, pemilik toko, "kami hanya menjual 80 pucuk senapan." Tahun lalu, melonjak sampai 200 pucuk, dan pertengahan 1978 ini sudah 150 pucuk senapan angin yang terjual. Pembelinya tersebar dari Sumatera sampai Irian Jaya. Harganya hanya antara Rp 90 sampai 100 ribu per pucuk sedang peluru timah (buatan dalam negeri) murah. Kemudahan lain: izin senjata dari Kodak Metro Jaya sudah diurus pihak penjualnya. Makanya sementara Seksi PPA Jakarta susah-susah melepaskan burung-burung ke udara, banyak juga yang gugur tertembus peluru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus