AKHIRNYA, soal perburuan binatang secara semena-mena, masuk
sidang Bina Graha.
Seusai Seminar Nasional Pengembangan Lingkungan Hidup di Jakarta
dua minggu lalu, keluar satu keputusan Presiden yang baru.
Isinya: kenaikan bea masuk dan pajak penjualan senjata berburu
sebanyak 50%. Tujuannya, seperti dikemukakan Menteri PPLH Emil
Salim selesai diterima Presiden di Cendana, adalah "merem
perburuan yang mengganggu kelestarian alam".
Kasus perburuan rusa secara sewenang-wenang di Sulawesi
Tenggara sebelumnya sudah dilaporkan kepada Emil Salim dalam
pertemuan ratusan organisasi pencinta alam di Jakarta, akhir
Mei. Menurut Sumber TEMPO di Ujungpandang, perburuan rusa
memang sudah lumrah di Sulawesi Tenggara. Namun yang paling
menghebohkan adalah perburuan sekitar September 1976, pada masa
ketika rusa betina sedang bunting.
Waktu itu ada serombongan pemburu dari Jakarta datang ke
Kendari. Turun dengan kapal pendarat sendiri, mereka naik dua
jip safari yang dilengkapi lampu sorot pemukau mangsa. Hasil:
hampir 200 ekor rusa terbabat dalam tempo beberapa malam saja.
Rupanya kasus Sulawesi Tenggara itu telah membuka mata
pemerintah pusat, bahwa ada pemburu yang menyalahgunakan
senjatanya hingga mengancam kelestarian 79 jenis binatang yang
dilindungi.
Sebenarnya, pemburu berlisensi yang tergabung dalam Perbakin
(Persatuan Menembak dan Berburu seluruh Indonesia) harus
berpegang pada ketentuan PPA (Perlindungan dan Pengawetan Alam).
Seorang yang ingin berburu banteng di suaka margasatwa Ujung
Kulon, Jawa Barat misalnya, harus minta izin ke kantor pusat PPA
di Bogor. Di sanalah ditunjuk lokasi di mana satwa lindungan itu
boleh diburu. Itupun hanya seekor saja yang boleh ditembak. "Ini
seperti yang berlaku di Afrika," tutur seorang pedagang senjata
yang juga punya pengalaman berburu. Selain itu sang pemburu
harus membayar semacam ganti rugi sebesar Rp 60 ribu bagi seekor
banteng yang ditembaknya.
Tapi apa sanksi bagi pemburu gelap yang berburu tanpa izin --
atau melanggar batas jumlah binatang yang boleh ditembak? Di
atas kertas, PPA dapat memungut denda, bahkan polisi dapat
menyita senjata si pemburu. Namun seperti diakui Mayor (Pol)
Soedarman, Sekretaris Perbakin Jaya "asal pemburu galak sedikit,
PPA sudah tak bisa berbuat apa-apa " kata Soedarman (lihat Box).
Pembelian senjata berburu pun -- terutama senjata api -- harus
dengan surat izin Polri. Prosedurnya panjang: bisa makan waktu 3
sampai 4 bulan. Setelah izin keluar barulah si calon pemburu
dapat membeli senjata kesukaannya di lantai paling bawah Gedung
Toserba Sarinah di Jalan Thamrin, Jakarta. Bagian penjualan
senjata bernomor sandi "Department o4/Gunshoot Sarinah" ini
merupakan satu-satunya importir senjata api berburu. Pimpinannya
seorang jenderal purnawirawan Polri.
Di ruang bawah tanah Sarinah yang hanya dijaga dua orang itu,
tersedia berbagai jenis dan kaliber senjata genggam (pistol,
revolver) maupun senJata bahu (senapan). Harganya berkisar
antara Rp 250 sampai 350 ribu per pucuk.
Firman Abdul Kadir, seorang pimpinan usaha itu, tak mau
mengungkapkan berapa omset penjualannya. Namun diakuinya,
omsetnya itu tiap tahun menurun. "Tahun ini saja, kami cuma
mengimpor tiga pucuk senjata," katanya kepada TEMPO. Toko itu
pun kini lebih banyak mengalihkan usahanya ke perlengkapan
berburu dan berkemah: lampu senter, lampu sorot, pisau, kapak,
dan tenda.
Toh sekarang saja 650 anggota Perbakin di Jakarta sudah tercatat
memiliki 1400 pucuk senjata. Belum lagi anggota Perbakin di kota
lain. Dan itu belum lagi termasuk senjata standar ABRI, yang
menurut peraturan tak boleh dipakai berburu, namun dalam
prakteknya bisa lain.
Namun yang mungkin tak kalah dahsyatnya dari akibat senjata api,
adalah matinya ribuan burung oleh peluru senapan angin. Omset
penjualan senjata tanpa mesiu itu ternyata terus melonjak dari
tahun ke tahun. Ambillah misalnya Toko Purnama di Jalan Menteng
Prapatan, Jakarta. "Tahun 1976," cerita Nyonya Laila, pemilik
toko, "kami hanya menjual 80 pucuk senapan." Tahun lalu,
melonjak sampai 200 pucuk, dan pertengahan 1978 ini sudah 150
pucuk senapan angin yang terjual.
Pembelinya tersebar dari Sumatera sampai Irian Jaya. Harganya
hanya antara Rp 90 sampai 100 ribu per pucuk sedang peluru timah
(buatan dalam negeri) murah. Kemudahan lain: izin senjata dari
Kodak Metro Jaya sudah diurus pihak penjualnya. Makanya
sementara Seksi PPA Jakarta susah-susah melepaskan burung-burung
ke udara, banyak juga yang gugur tertembus peluru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini