1). Di kelas dua sebuah SMA, beberapa hari setelah liburan
kenaikan, seorang guru saya berkata. Pada pokoknya antara
Jurusan Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam (PasPal) dengan Jurusan
Sosial Budaya (SosBud) tidak ada perbedaan. Ketika itu saya
berkeyakinan: kata-kata tersebut tidak lebih dari sebuah hiburan
-- karena diucapkan di muka anak-anak Jurusan SosBud. Dan ketika
saya memperhatikan wajah teman-teman, hampir semuanya tidak
memperhatikan ucapan itu.
Saya bisa memaklumi. Dan saya lantas teringat kejadian beberapa
bulan sebelumnya sewaktu masih berada di kelas satu. Dari
ketiga puluh sembilan anak, tidak lebih dari tujuh anak yang
menyatakan SosBud sebagai jurusan yang dipilih. Itu pun sebagian
besar tidak mau berterang-terangan menyebutnya. Mereka malu! Di
kelas lain juga begitu. Sebagian besar anak tentu akan memilih
PasPal, dan hanya nasib sajalah yang mengharuskan mereka naik
kelas dua SosBud.
Karena itu tidak mengherankan kalau mereka ini jadi kurang
bergairah dalam belajar. Bagaimana mau bergairah, kalau minatnya
tidak ke jurusan ini? Dan akan lebih semplah lagi hatinya
manakala ada orang mengatakan dirinya anak bodoh hingga tidak
bisa naik ke Paspal. Jurusan PasPal memang dianggap banyak orang
sebagai gudang anak pandai, sedang SosBud tak lebih dari jurusan
pelengkap. Walau kalau kita mau mengakui, pada kebanyakan
seKolah justru jurusan SosBud-lah yang punya banyak penghuni,
dan hanya pada beberapa sekolah saja yang memberi kelas lebih
banyak buat jurusan Paspal.
2). Kalau kita bicara soal persamaan hak, tentu saja tak ada
perbedaan antara dua jurusan di SMA ini. Perbedaan yang ada
hanyalah pada ilmu-ilmu yang mereka pelajari. Yang PasPal
menghapal nunus Kimia dan dalil Ilmu Pasti, sementara yang di
SosBud sibuk menghitung debet kredit dan menghapal sekian banyak
lainnya. Lantas di mana letak kelebihan anak PasPal? Toh
angka-angka yang mereka pelajari tak pernah berubah sejak
Pythagoras di zaman Yunani Kuno dulu. Begitu seorang teman
bersungut-sungut.
Ya, kalau dipikir begitu memang. Tapi kenyataan telah berbicara
di muka kita: di republik ini jurusan PasPal memang jauh lebih
gagah dari jurusan SosBud. Prioritas untuk PasPal jauh melebihi
SosBud. Coba saja anda lihat. Dalam soal menekuni ilmu, PasPal
bisa dilengkapi laboratorium, baik Kimia, Fisika atau Biologi.
Sementara SosBud hanya dihibur oleh perpustakaan (yang kadang
tidak lengkap isinya, atau kalau ada berisi buku itu cetakan
dari puluhan tahun lalu atau sebelum perang kemerdekaan. Kalau
yang baru, ya yang pop).
Terlalu jarang sekolah yang mau memberikan anggarannya untuk
melengkapinya dengan laboratorium bahasa. Sementara yang PasPal
tekun dengan tabung reaksi, yang SosBud cukup bahagia dengan
senyum sumbangnya, karena tidak pernah diberi tambahan pelajaran
di luar jam yang telah ditentukan. Jarang anak SosBud dicoba
mempraktekkan ilmunya. Misalnya saja Tata Buku yang mereka
peroleh dalam jumlah jam pelajaran yang lumayan banyaknya setiap
minggu.
3). 'Penganaktirian' Jurusan SosBud ini makin nyata, ketika
mereka telah lulus dari SMA: pada saat perguruan tinggi akan
menerima mahasiswa baru. Mereka yang memiliki STTB dari Jurusan
PasPal akan lebih berbahagia dari yang dari SosBud. Yang
belakangan ini hanya bisa diterima pada fakultas atau jurusan
tertentu, yang konon sesuai dengan jurusan sewaktu di SMA. Lain
dengan yang PasPal. Di mana pun juga mereka akan diterima dengan
tangan terbuka, tidak peduli apa pun fakultasnya atau jurusan
tersebut -- biarpun namanya Akuntansi atau Seni Rupa yang
sewaktu di SMA tak pernah dijamah.
Agaknya perguruan tinggi sebagai medan ilmu pengetahuan dan
tempat tinggal orang-orang pandai juga ingin membuktikan
"kepandaian" itu: mereka tak mau menolak lulusan Pasral yang
terbilang jenius itu, walaupun mungkin anak itu begitu
gobloknya. Lantaran kejeniusannya hanya diukur dari "otak
anak-anak SosBud", tidak peduli yang SosBud ini cukup pandai
atau berotak keledai.
Akibat bebasnya anak-anak PasPal dalam memilih Fakultas ini
jelas terlihat. Mereka yang dari SosBud jadi harus berpikir dua
kali. Apalagi kalau bahan ujian masuk menjurus ke ilmu pasti
(aljabar) -- bolehlah yang SosBud mundur teratur. Kalah
bersaing. Contoh termudah ada di Fakultas Ekonomi. Lebih dari
separo calon mahasiswanya dari Jurusan PasPal. Dan memang
fakultas satu ini sering dijadikan fakultas pelarian anak-anak
PasPal yang takut memilih fakultas eksakta. Entah apa sebabnya
bisa begini, walau ilmu eksakta telah mereka tekuni selama dua
tahun sebelumnya.
4). Kalau pada akhirnya seperti ini lantas apa gunanya diadakan
pembagian jurusan di SMA? Apa tidak lebih baik dihilangkan saja?
Toh ketika akan melnjutkan ke perguruan tinggi tidak ada
gunanya. Pengkotakan jurusan tentunya didasarkan atas
pertimbangan untuk lebih menjuruskan anak-anak pada bakat yang
dimilikinya. Tapi akibatnya justru menjadikan orang curiga.
Dan harap jangan kaget kalau ada orang yang lantas tidak percaya
lagi sistim penjurusan seperti ini. Atau juga yang berkata kalau
sistim penjurusan seperti ini justru membuat pendidikan tidak
bertanggungjawab. Bagaimana mereka tidak akan takut tentang masa
depan pendidikannya, kalau setelah selesai SMA mereka jadi
ragu-ragu atau bahkan tidak berani meneruskan ke fakultas yang
sesuai dengan jurusannya ketika di SMA dulu?
Keraguan ini sebetulnya memang bisa dihilangkan kalau saja para
penguasa pendidikan mau konsekwen dalam menjaga aturan
permainan. Jangan diberi ijin mereka yang dari PasPal 'lari' ke
fakultas non eksakta. Atau sebaliknya, beri kesempatan mereka
yang dari SosBud memilih fakultas eksakta. Jadi timbal balik,
jangan hanya sepihak.
YUNUS SYAMSU BUDHIE
Rejodani, Sariharjo,
Pos Desa Keliling II,
Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini