Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

SMA: Penganak Tirian Jurusan Sosbud

Sistim penjurusan di SMA: Paspal & Sosbud berakibat tindakan penganak tirian. Kenyataannya siswa jurusan sosBud merasa rendah diri & di perguruan tinggi pun fakultas ekonomi dipenuhi siswa PasPal. (kom)

24 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

1). Di kelas dua sebuah SMA, beberapa hari setelah liburan kenaikan, seorang guru saya berkata. Pada pokoknya antara Jurusan Ilmu Pasti dan Pengetahuan Alam (PasPal) dengan Jurusan Sosial Budaya (SosBud) tidak ada perbedaan. Ketika itu saya berkeyakinan: kata-kata tersebut tidak lebih dari sebuah hiburan -- karena diucapkan di muka anak-anak Jurusan SosBud. Dan ketika saya memperhatikan wajah teman-teman, hampir semuanya tidak memperhatikan ucapan itu. Saya bisa memaklumi. Dan saya lantas teringat kejadian beberapa bulan sebelumnya sewaktu masih berada di kelas satu. Dari ketiga puluh sembilan anak, tidak lebih dari tujuh anak yang menyatakan SosBud sebagai jurusan yang dipilih. Itu pun sebagian besar tidak mau berterang-terangan menyebutnya. Mereka malu! Di kelas lain juga begitu. Sebagian besar anak tentu akan memilih PasPal, dan hanya nasib sajalah yang mengharuskan mereka naik kelas dua SosBud. Karena itu tidak mengherankan kalau mereka ini jadi kurang bergairah dalam belajar. Bagaimana mau bergairah, kalau minatnya tidak ke jurusan ini? Dan akan lebih semplah lagi hatinya manakala ada orang mengatakan dirinya anak bodoh hingga tidak bisa naik ke Paspal. Jurusan PasPal memang dianggap banyak orang sebagai gudang anak pandai, sedang SosBud tak lebih dari jurusan pelengkap. Walau kalau kita mau mengakui, pada kebanyakan seKolah justru jurusan SosBud-lah yang punya banyak penghuni, dan hanya pada beberapa sekolah saja yang memberi kelas lebih banyak buat jurusan Paspal. 2). Kalau kita bicara soal persamaan hak, tentu saja tak ada perbedaan antara dua jurusan di SMA ini. Perbedaan yang ada hanyalah pada ilmu-ilmu yang mereka pelajari. Yang PasPal menghapal nunus Kimia dan dalil Ilmu Pasti, sementara yang di SosBud sibuk menghitung debet kredit dan menghapal sekian banyak lainnya. Lantas di mana letak kelebihan anak PasPal? Toh angka-angka yang mereka pelajari tak pernah berubah sejak Pythagoras di zaman Yunani Kuno dulu. Begitu seorang teman bersungut-sungut. Ya, kalau dipikir begitu memang. Tapi kenyataan telah berbicara di muka kita: di republik ini jurusan PasPal memang jauh lebih gagah dari jurusan SosBud. Prioritas untuk PasPal jauh melebihi SosBud. Coba saja anda lihat. Dalam soal menekuni ilmu, PasPal bisa dilengkapi laboratorium, baik Kimia, Fisika atau Biologi. Sementara SosBud hanya dihibur oleh perpustakaan (yang kadang tidak lengkap isinya, atau kalau ada berisi buku itu cetakan dari puluhan tahun lalu atau sebelum perang kemerdekaan. Kalau yang baru, ya yang pop). Terlalu jarang sekolah yang mau memberikan anggarannya untuk melengkapinya dengan laboratorium bahasa. Sementara yang PasPal tekun dengan tabung reaksi, yang SosBud cukup bahagia dengan senyum sumbangnya, karena tidak pernah diberi tambahan pelajaran di luar jam yang telah ditentukan. Jarang anak SosBud dicoba mempraktekkan ilmunya. Misalnya saja Tata Buku yang mereka peroleh dalam jumlah jam pelajaran yang lumayan banyaknya setiap minggu. 3). 'Penganaktirian' Jurusan SosBud ini makin nyata, ketika mereka telah lulus dari SMA: pada saat perguruan tinggi akan menerima mahasiswa baru. Mereka yang memiliki STTB dari Jurusan PasPal akan lebih berbahagia dari yang dari SosBud. Yang belakangan ini hanya bisa diterima pada fakultas atau jurusan tertentu, yang konon sesuai dengan jurusan sewaktu di SMA. Lain dengan yang PasPal. Di mana pun juga mereka akan diterima dengan tangan terbuka, tidak peduli apa pun fakultasnya atau jurusan tersebut -- biarpun namanya Akuntansi atau Seni Rupa yang sewaktu di SMA tak pernah dijamah. Agaknya perguruan tinggi sebagai medan ilmu pengetahuan dan tempat tinggal orang-orang pandai juga ingin membuktikan "kepandaian" itu: mereka tak mau menolak lulusan Pasral yang terbilang jenius itu, walaupun mungkin anak itu begitu gobloknya. Lantaran kejeniusannya hanya diukur dari "otak anak-anak SosBud", tidak peduli yang SosBud ini cukup pandai atau berotak keledai. Akibat bebasnya anak-anak PasPal dalam memilih Fakultas ini jelas terlihat. Mereka yang dari SosBud jadi harus berpikir dua kali. Apalagi kalau bahan ujian masuk menjurus ke ilmu pasti (aljabar) -- bolehlah yang SosBud mundur teratur. Kalah bersaing. Contoh termudah ada di Fakultas Ekonomi. Lebih dari separo calon mahasiswanya dari Jurusan PasPal. Dan memang fakultas satu ini sering dijadikan fakultas pelarian anak-anak PasPal yang takut memilih fakultas eksakta. Entah apa sebabnya bisa begini, walau ilmu eksakta telah mereka tekuni selama dua tahun sebelumnya. 4). Kalau pada akhirnya seperti ini lantas apa gunanya diadakan pembagian jurusan di SMA? Apa tidak lebih baik dihilangkan saja? Toh ketika akan melnjutkan ke perguruan tinggi tidak ada gunanya. Pengkotakan jurusan tentunya didasarkan atas pertimbangan untuk lebih menjuruskan anak-anak pada bakat yang dimilikinya. Tapi akibatnya justru menjadikan orang curiga. Dan harap jangan kaget kalau ada orang yang lantas tidak percaya lagi sistim penjurusan seperti ini. Atau juga yang berkata kalau sistim penjurusan seperti ini justru membuat pendidikan tidak bertanggungjawab. Bagaimana mereka tidak akan takut tentang masa depan pendidikannya, kalau setelah selesai SMA mereka jadi ragu-ragu atau bahkan tidak berani meneruskan ke fakultas yang sesuai dengan jurusannya ketika di SMA dulu? Keraguan ini sebetulnya memang bisa dihilangkan kalau saja para penguasa pendidikan mau konsekwen dalam menjaga aturan permainan. Jangan diberi ijin mereka yang dari PasPal 'lari' ke fakultas non eksakta. Atau sebaliknya, beri kesempatan mereka yang dari SosBud memilih fakultas eksakta. Jadi timbal balik, jangan hanya sepihak. YUNUS SYAMSU BUDHIE Rejodani, Sariharjo, Pos Desa Keliling II, Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus