Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUPATI, wali kota, dan gubernur adalah jabatan yang seksi banget. Bukan hanya birokrat yang memperebutkan posisi itu, tapi juga tokoh politik, bekas anggota DPR, bekas menteri, pensiunan jenderal, pedagang, dan premanbaik preman politik maupun preman betulan. Berbagai daerah di Indonesia pekan-pekan ini meriah, hiruk-pikuk, kadang juga disertai dengan tawuran antar-pendukung, dalam pesta demokrasi bernama pilkada (pemilihan kepala daerah).
Menariknya, beberapa daerah tiba-tiba kebanjiran putra daerah yang sebelumnya tak pernah dikenal di daerah itu. Mungkin karena sang putra sebelumnya lahir di perantauan dan besar di rantau, walaupun berdarah daerah yang bersangkutan. Kadang pula si putra sudah jadi tokoh di rantau, tapi tak pernah memperkenalkan dirinya di kampung. Namanya pun tak mencirikan asal daerahnya.
Di daerah saya, Sumatera Barat, misalnya, tiba-tiba penduduk tercengang-cengang ketika spanduk dan baliho bertebaran mempromosikan calon gubernur baru. Orang berbisik-bisik siapa sih Jeffry Giovanni, pemuda ganteng calon Partai Amanat Nasional (PAN) yang kebetulan punya nama mirip orang Italia atau Yunanibandingkan dengan nama gubernur sebelumnya, Azwar Anas, Hasan Basri Durin, atau Zainal Bakar.
Saingan Giovanni, Iwan Prayitno dari Partai Keadilan Sejahtera, namanya bukan mencirikan Minang. Iwan Prayitno, walau sebelumnya terpilih sebagai anggota DPR RI mewakili Sumatera Barat, selintas dari namanyaseperti juga nama saya Sukarnilebih berbau nama Jawa ketimbang Minang.
Entah karena namanya yang berbau Jawa itu atau karena sebab lain, dua bulan lalu Iwan merayakan pengangkatan dirinya sebagai "datuk" di kampung halamannya di pinggir Kota Padang. Dengan gelar baru itu, sahlah Iwan sebagai orang Padang, walau ia benar-benar berdarah Minang, bahkan lahir dan besar di Padang. Gelar datuk tidak akan pernah diberikan kepada orang-orang yang bukan berasal dari Minang. Belakangan ada juga tokoh politik yang bukan berasal dari Minang, mencoba mendapat gelar datuk di daerah itu menjelang musim pemilu, tapi umumnya tidak mendapat sambutan dari masyarakat.
Itu baru heboh soal asal-usul nama. Kehebohan yang lebih seruselain protes massa bakal calon bupati atau gubernur ke Komisi Pemilihan Umumadalah gerilya mencari dukungan partai untuk seorang calon. Undang-Undang Pemerintahan Daerah (Undang-Undang No. 32/2004) mensyaratkan sebelum dipilih langsung oleh rakyat si calon harus mendapat dukungan dari satu atau banyak partai yang sedikitnya mengantongi 15 persen dalam pemilu legislatif tahun lalu.
Kaidah tidak ada yang gratis di dunia ini juga berlaku bagi calon-calon kepala daerah yang ingin mendapat suara dari partai politik, apalagi bagi calon yang bukan anggota partai. Harga rekomendasi meningkat, seiring tingginya jumlah permintaan calon yang berminat untuk menjadi kepala daerah. Konon tinggi-rendahnya pendapatan asli daerah (PAD) daerah yang bersangkutan mempengaruhi banyak-tidaknya minat orang mencalonkan diri di daerah itu.
Seorang teman dekat saya, yang bermodal minim tapi nekat mencalonkan dirinya sebagai bupati di tempat kelahirannya di Sumatera Selatan, sempat sport jantung. Ia kader PDIP yang mendapat suara lumayan di daerah itu (13,5 persen). Dari PDIP, berkat kedekatannya dengan pimpinan pusat, ia mendapat dukungan penuh dan gratis. Tapi itu tadi, suara partainya kurang sedikit. Akibatnya, ia harus melobi partai lainnya untuk menggenapkan dukungannya. Ia menghubungi partai lain yang di pemilu lalu mendapat suara cukup untuk menggenapi dukungan. Pimpinan cabang partai itu bersedia membantu, asal teman saya menyiapkan dana Rp 600 juta.
Ia terbelalak dan mundur teratur. Ia mendekati partai lain yang perolehan suaranya lebih kecil lagi tapi masih cukup untuk membuatnya lolos sebagai bakal calon. Harga yang diminta Rp 150 juta. Deal. Kesepakatan tercapai. Teman yang sudah kebelet jadi bupati membayar tunai uang muka Rp 20 juta. Tapi sial. Sepekan kemudian si ketua cabang partai Anu itu dipecat pengurus di tingkat yang lebih tinggi. Teman saya terpaksa mengulang negosiasi dari awal. Tak ada jalan lain, ia membayar Rp 150 juta untuk mendapat tiket dukungan. Pengurus baru mengaku tak tahu-menahu soal uang muka yang sudah ia setor ke ketua lama.
Beres? Ternyata belum. Ketika tenggat pendaftaran tiba, jantung teman saya berdegup kencang. Sebab, ketua cabang PDIPpartainya sendiriyang pagi itu sudah janji akan datang untuk meneken dukungan ternyata mangkir. Ia terpaksa mengerahkan orang kampungnya untuk mencari si ketua yang sebenarnya teman lamanya sendiri.
Akhirnya ketemu. Alhamdulillah. Tapi kenapa ketua itu menghilang? Belakangan ketahuan bahwa ia kesal karena teman saya bersedia membayar banyak untuk partai lain yang punya suara kecil, sementara untuk teman dari partai sendiri tidak. Beruntung, akhirnya si ketua partai bersedia tanda tangan. "Ya, terpaksa saya kasih juga sedikit uang rokok," kata teman saya itu. Ia tersenyum lega.
Kalau harga dukungan partai untuk calon bupati berkisar Rp 500 juta, berapa harga dukungan partai untuk gubernur? Tergantung kaya-miskinnya daerah yang diinginkan dan banyak-tidaknya peminat di situ. Di daerah yang dikenal kaya atau basah, harga dukungan partai untuk mencapai 15 persen suara dari Rp 3 miliar sampai Rp 5 miliar. Biasanya dibutuhkan dua partai untuk memenuhi kebutuhan 15 persen suara.
Seorang teman yang terlambat mencari dukungan mencoba melobi pengurus pusat sebuah partai untuk mengganti calon lainnya yang sudah telanjur dicalonkan pengurus partai di tingkat provinsi. Ia lalu diminta menyediakan Rp 2 miliar untuk mengembalikan uang calon yang sudah telanjur diterima tadi. "Itu baru untuk mengembalikan uang orang itu. Anda perlu menambah sedikit lagi, dong. Kan kami terpaksa mencoret nama orang lain yang sudah didaftarkan di KPU," kata si pengurus partai. Si teman bersusah payah mengumpulkan dana Rp 2,5 miliar. Tapi, ketika ia sudah siap menyerahkan uangnya, pengurus partai berbalik. "Wah, janji itu terpaksa kami batalkan karena calon lama sudah datang kemarin dan menambah jumlah sumbangannya." Modar! Padahal suara partai itu dalam pemilu legislatif tidak sampai 15 persenartinya dia harus mencari dukungan dari partai lain.
Itu baru ongkos untuk dukungan partaicelakanya, undang-undang tak mengatur soal ini. Entah berapa lagi ongkos yang harus dikeluarkan para calon untuk kampanye dan membayar saksi-saksi di tempat pemungutan suara. Untuk kampanye, rata-rata bupati harus menyediakan sedikitnya Rp 300 juta-Rp 500 juta. Untuk calon gubernur 10 kali lipat. Untuk saksi di pemungutan suara dibutuhkan dana Rp 100 ribu, hanya sekadar uang makan dua orang saksi. Kalau untuk sebuah kabupaten ada 800-1.000 TPS, si calon bupati sekurangnya harus merogoh koceknya Rp 80 juta-Rp 100 juta. Angka itu juga harus dikalikan 10 untuk calon gubernur.
Lantas, apa yang akan didapat rakyat dari pesta demokrasi bernama pilkada ini? Kesejahteraan? Rasanya sangat jauh. Sulit dibayangkan kalau Pak Bupati, Wali Kota, atau Gubernur baru tidak berniat mengembalikan modal yang dikeluarkannya untuk duduk di kursi itu. Lebih celaka lagi kalau modal itu didapat dari atau dipinjamkan oleh para kontraktor atau supplier daerah. Yang akan disunat tidak lain adalah anggaran pembangunanyang tidak disunat pun sudah minim.
Walhasil, di tengah optimisme terhadap tumbuhnya demokrasi dalam pemilihan kepala daerah, saya waswas. Pilkada memang bagus, tapi eksesnya bagi saya juga mengerikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo