Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perjalanan dari Sukabumi membuat staminanya terkuras. Ototnya kaku setelah hampir lima jam berada dalam kotak berukuran setengah meter. Elang bondol itu ogah keluar meski kotak sudah dibuka di Pulau Kotok, Kepulauan Seribu. Rupanya si burung perlu meregangkan otot terlebih dulu agar bisa terbang kembali di pulau seluas 20,75 hektare itu, yang menjadi pusat rehabilitasi elang.
Pelepasan sejumlah elang dari Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Cikananga, Sukabumi, dua pekan lalu tidaklah sederhana. Mereka akan mendapat perawatan sebelum dibebaskan di Pulau Kotok. Elang kemudian mesti diajari terbang.
Belajar terbang? Ya, tiga elang bondol (Haliastur indus) dan delapan elang laut (Haliaeetus leucogaster) itu adalah hasil sitaan dari beberapa pemelihara di Jawa Barat. Mereka sudah terlalu lama berdiam di sangkar. Hewan ini dilindungi Undang-Undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. ”Kami membujuk para pemelihara untuk mengembalikan hewan yang dilindungi undang-undang,” ujar Najamudin, polisi hutan PPS Cikananga.
Elang hasil sitaan itu kebanyakan sudah ”lupa” naluri alamiahnya. Mereka biasa mendapat makanan yang disodorkan manusia. Sayapnya kadang diklip sehingga tak bisa terbang jauh—tak jarang sayap mereka terluka karenanya. Padahal elang bisa terbang 20–50 meter di atas permukaan laut. Jadinya, burung-burung itu harus belajar lagi cara terbang.
Elang bondol termasuk hewan karnivora yang gesit di udara. Dia memakan mamalia kecil, ikan, anak ayam, katak, ular, kadal, atau kelelawar. Bangkai pun dilahapnya. Mangsa diincarnya dari udara. Setelah menangkap dengan cakar, mangsa itu dia gondol ke pohon untuk disantap.
Elang bondol tersebar di India, Asia Tenggara, dan bagian selatan Australia. Organisasi konservasi dunia (IUCN) memasukkan unggas ini ke dalam kategori ”terancam punah”. Harganya lumayan mahal, di atas Rp 500 ribu per ekor. Proses reproduksi elang tergolong lambat. Yang sudah memasuki usia produktif, 3 tahun, hanya bisa menghasilkan dua telur dalam setahun.
Di Jakarta, elang bondol menjadi maskot sejak 1989. Tapi warga Ibu Kota hanya melihat gambarnya di bus Transjakarta. Elang asli ada di Kepulauan Seribu. Itu pun hanya 15 ekor. ”Padahal jumlah ideal di Kepulauan Seribu adalah 150 ekor,” kata Sumarto, Kepala Taman Nasional Kepulauan Seribu. Untuk itulah elang-elang di atas diterbangkan ke Kepulauan Seribu.
Sebelum terbang, mereka harus menjalani tes kesehatan. Ada pemeriksaan fisik umum, endoparasit, ektoparasit, dan pemeriksaan darah. ”Supaya tidak menular,” ujar Femke Den Haas, dokter hewan dari International Animal Rescue. Tes kesehatan ini biasanya berlangsung enam minggu.
Di Pulau Kotok, mula-mula elang menempati ruang berukuran 2 x 1 meter persegi yang dikelilingi kawat. Ada bambu yang menyimpan ikan cacahan dan air minum. Ini tempat adaptasi pertama.
Tempat berikutnya adalah kandang berukuran 12 x 7 meter persegi. Di sini, burung yang disebut brahminy kite ini bisa meregangkan otot di tempat yang lebih luas. Ia harus melatih cakarnya supaya bisa mengambil makanan berupa ikan hidup di ember. Tapi petugas tetap menyediakan ikan mati atau yang sudah dicacah dalam ember. ”Elang rumahan biasa disuapi. Jadi butuh waktu lama,” kata Femke. Biasanya di kandang kedua, elang menghabiskan waktu lima hingga 13 bulan.
Selama tahap kedua unggas-unggas itu mendapat penilaian perilaku. Poin penilaian adalah perilaku berburu, sosial, interaksi dengan manusia, serta perilaku umum seperti bertengger dan terbang. Lulus dari kandang kedua, elang bondol mulai diberi nomor di sayap untuk mempermudah pengamatan. Mereka ditempeli transmitter dan microchip sebagai identifikasi sekaligus pelacak.
Bila sudah siap, mereka masuk ke kandang terakhir di pinggir laut sebelum benar-benar terbang. Elang asal Sukabumi harus menunggu enam bulan sebelum bisa menikmati alam Pulau Kotok. Proses panjang ini telah dilalui 10 elang kiriman dari Lampung. Ini pelepasan ketiga sejak Agustus 2005. Elang-elang dari kloter terdahulu sudah siap menjelajah Kepulauan Seribu. Femke berkata dengan optimistis: ”Mereka akan berkembang biak secara naluriah di alam.”
Yandi MR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo