Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Sepatu Hartati Masuk Istana

28 Mei 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG pengusaha besar punya resep menarik ihwal berbisnis di sini agar aman tanpa gangguan. Kalau perputaran uang yang dimainkan ”cuma” ratusan miliar rupiah, cukuplah ”berkawan” dengan menteri. Jika fulus yang diputar mencapai satu triliun rupiah, bolehlah punya hopeng seorang wakil presiden. Kalau perputaran bisnisnya menyangkut duit gede, lebih dari Rp 10 triliun, lain lagi ceritanya. Usahakan—entah bagaimana caranya—harus ada cantolan atau ”kedekatan” dengan RI-1.

Bagi konglomerat papan atas, rumusnya makin berat: harus bisa menjadi sohib presiden dan wakilnya. Jadi, agar lebih aman seribu persen, dua-duanya mesti dirangkul—maklum, keduanya tak selalu akur. Siti Hartati Murdaya bahkan menyadari manfaat ”menanam jasa dan budi baik” sedari dini. Hubungan baik bos Grup Central Cipta Murdaya ini dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah terjalin lama. Ketika SBY, sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, baru saja didepak dari kabinet Abdurrahman Wahid, pada 2001, perempuan 61 tahun itu serta-merta memberikan ruangan khusus kepadanya untuk berkantor di Cikini.

Hartati selalu hadir di masa-masa sulit itu. Ketika Yudhoyono keluar dari kabinet Megawati, lalu ikut dalam kancah pemilihan presiden dan berpasangan dengan Jusuf Kalla, Hartati termasuk di antara sederet pebisnis yang berada di belakang duet SBY-JK—ia masuk tim sekoci alias tim sukses bayangan. Tentu saja dukungan yang dia berikan tak cuma wira-wiri dan lobi sana-sini, tapi juga bantuan dana kampanye. Dalam jumlah tertentu sumbangan ini diperbolehkan undang-undang, meski hasil auditnya, inilah yang kami sayangkan, tak jelas sampai kini.

Tak ada masalah dengan kedekatan ini sepanjang tanpa motif kongkalikong. Presiden jelas butuh pengusaha, begitu pula sebaliknya. Akan sangat aneh, misalnya, jika penguasa memusuhi pengusaha, yang bisa diandalkan sebagai tulang-punggung ekonomi dan penjaga stabilitas politik. Bukankah faktanya mereka memang mengendalikan gurita bisnis raksasa, punya jaringan berskala global dan aset melimpah, serta mempekerjakan puluhan ribu tenaga kerja?

Masalah muncul ketika jasa baik yang sudah ditanam tadi ternyata berpamrih. Harus ada take and give. Saat Hartati terbentur sejumlah urusan, terutama menyangkut bisnis pribadinya, ia pun sepertinya menagih haknya untuk ”dibantu”. Ia tampaknya mulai memainkan kedekatannya dengan Istana sebagai kartu truf untuk menghadapi ”gangguan” pejabat dan aparat, termasuk dalam kasus penahanan kontainer berisi ribuan pasang sepatu bikinan pabrik Hartati oleh aparat Bea dan Cukai.

Seharusnya trik-trik memanfaatkan kedekatan dengan Istana ini segera diakhiri. Kisah dua tahun lalu, misalnya, ketika Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi ”membantu” membebaskan PT Intracawood Manufacturing milik Hartati dari ancaman pencabutan izin hak pengusahaan hutan seluas lebih dari 191 ribu hektare di Kalimantan Timur, tak boleh terulang. Kasus yang akhirnya membuat Menteri Kehutanan M.S. Kaban ”tak lagi berani mengganggu Hartati” ini mestinya tak boleh terjadi.

Karena itulah perkara Hartati Murdaya—atau pengusaha lain yang terbentur kasus serupa—seharusnya diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum. Tak perlu berang, apalagi sok-sokan, lalu membawa-bawa hubungan dekat dengan Istana, dengan cara menelepon, berkirim surat, atau curhat kepada sang pejabat. Presiden dan pejabat Istana lainnya sebaiknya dijauhkan dari perkara remeh-temeh. Mereka sudah sangat sibuk dan dipusingkan dengan seabrek urusan negara yang jauh lebih penting dan mendesak.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Anwar Suprijadi tak perlu takut menindak pihak yang terkait dengan kasus kontainer milik Hartati Murdaya. Penanganan kasus ini tak boleh diintervensi pihak mana pun, tak terkecuali pihak Istana. Dirjen Anwar harus tegas menindak setiap pelanggaran yang terjadi. Bila ada perusahaan yang nakal di kawasan berikat, dia tidak boleh sungkan-sungkan memberikan sanksi yang sepadan, tanpa harus takut ditekan pihak lain.

Apalagi Anwar Suprijadi, yang dikenal punya integritas tinggi, telah memperlihatkan keberaniannya menindak sejumlah kasus yang terjadi di lingkungan Direktorat Bea dan Cukai belakangan ini. Sikap tegas ini akan membikin industri di kawasan berikat tak lagi berani berbuat nakal. Ekspose kasus semacam ini juga perlu agar perusahaan lain tidak mengulangi kesalahannya.

Dalam kasus kontainer sepatu milik Hartati Murdaya, integritas Dirjen Anwar Suprijadi akan diuji. Ia harus disokong penuh agar bisa menunaikan tugasnya secara profesional. Tak usahlah Istana repot-repot mengirim utusan khusus walau sekadar ”berkoordinasi” dengan (apalagi menekan) para pejabat Bea dan Cukai. Penyelesaian kasus ini bisa menjadi simpul penting bagi rontoknya pemanfaatan kekuasaan Istana untuk kepentingan segelintir pengusaha dan pusat kekuasaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus