Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bambang Sudibyo memang tak pernah jauh dari dunia pendidikan. Ayahnya seorang guru. Doktor lulusan Universitas Kentucky, Amerika Serikat, ini juga mengikuti jejak sang ayah dengan mengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Istrinya, Prof Dr Retno Sunarminingsih, menjadi dosen di Fakultas Farmasi UGM. Bambang juga menjadi salah satu perintis program pendidikan magister manajemen di universitas tersebut. Anak kelima dari 11 bersaudara ini juga menjadi Ketua Panitia Ahli Persamaan Ijazah Akuntan sekaligus Koordinator Akademik Ujian Negara Akuntan (UNA).
Namun yang diurus pria kelahiran Temanggung, Jawa Tengah, 55 tahun silam ini sekarang jauh lebih luas dari yang pernah digelutinya. Ia harus menangani pendidikan dari sekolah dasar hingga universitas, dari sekolah formal hingga nonformal. Bukan perkara mudah. Berkali-kali ia dituntut mundur. Sebagai Menteri Pendidikan Nasional, ia juga banyak menuai protes karena anjloknya tingkat kelulusan peserta ujian nasional (UN). Ya, di tangannya, bukan ujian masuk perguruan tinggi yang jadi momok para siswa SMU, melainkan ujian nasional.
Kontroversi tentang ujian nasional ini bahkan telah merambah sampai ke meja hijau. Pada Senin pekan lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan subsider 58 orang korban UN yang diwakili dalam Citizen Law Suit (CLS). Pada September 2006, mereka menggugat Presiden RI, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan Nasional, dan Ketua Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP) karena dinilai telah melanggar hak asasi manusia terhadap warga negara, khususnya pendidikan anak. Hakim meminta agar pemerintah meninjau ulang pelaksanaan ujian akhir nasional.
Tapi Bambang tetap pada pendirian. "Ujian nasional jalan terus. Tidak dihentikan karena tidak melanggar aturan," katanya. Kepada wartawan Tempo L.N. Idayanie dan Syaiful Amin, ia menjelaskan berbagai soal yang menjadi tanggung jawabnya, di Wisma Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada, seusai membuka seminar Buta Aksara, Jumat lalu.
Dalam kasus ujian akhir nasional, bagaimana reaksi pemerintah terhadap putusan pengadilan yang memenangkan penggugat?
Sudah resmi. Saya sudah mengirim pernyataan resmi ke Presiden, Wakil Presiden, dan Kepala Badan Standardisasi Nasional Pendidikan.
Tapi masyarakat menilai pemerintah terlalu responsif, tidak mau legawa menerima apa yang telah diputuskan, tidak peka terhadap esensi hukumnya.
Justru pemerintah naik banding dalam koridor menghormati hukum. Ini pendidikan hukum bagi masyarakat kita. Jangan dikira kalau sudah menang di pengadilan negeri itu sudah final. Setelah itu masih ada tingkatan lain yang lebih tinggi. Putusan itu tuntutannya apa, sih? Tuntutan sela ini yang paling penting, yaitu untuk menangguhkan ujian nasional. Itu ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Artinya, ujian nasional boleh jalan terus. Pengadilan kan tidak mengatakan bahwa ujian nasional dihentikan.
Menurut Anda, siapa yang menang?
Dari situ, yang menang adalah tergugat. Ini sebetulnya kan 1-0, tapi media tidak pernah fair dalam memberitakan. Yang lain, pengadilan diminta menyatakan bahwa tergugat telah menyebabkan kerugian moral yang signifikan kepada penggugat. Oleh pengadilan itu juga ditolak. Jadi skor 2-0. Yang lebih substantif lagi, pengadilan menyatakan bahwa tergugat keempat meminta maaf secara terbuka di media massa, juga ditolak. Jadi 3-0. Yang dikabulkan, tergugat telah lalai terhadap hak asasi manusia dalam pendidikan. Skornya menjadi 3-1. Selanjutnya, tergugat diminta menggunakan sistem ujian nasional yang memakai rumus PQR {nilai semester 5 (P) ditambah nilai semester 6 (Q) ditambah 2 kali nilai ebtanas (R) dibagi empat-Red.} dan yang macam-macam itu. Terhadap tuntutan ini, pengadilan menyatakan agar tergugat meninjau ulang sistem pendidikan nasional, jadi bukan meninjau ulang ujian nasional. Kalau diminta meninjau ulang sistem pendidikan nasional, kita akan mengacu pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional.
Terlepas dari siapa menang atau siapa kalah, sepertinya Anda menganggap ujian nasional bebas dari kelemahan. Begitukah?
Kalau dalam pelaksanaannya mungkin ya, ada kelemahan. Dan itu sangat terkait dengan kejujuran murid, kejujuran guru dan kepala sekolah, serta dinas pendidikan di daerah. Ujian nasional itu sebetulnya tidak hanya menguji intelektualitas murid, tapi juga menguji kejujuran murid, kejujuran guru, kepala sekolah, dan dinas pendidikan. Banyak sesungguhnya yang tidak lulus di situ. Ini kembali ke masalah akhlak.
Soal akhlak. Sejauh ini sanksi apa yang akan Anda terapkan terhadap mereka yang membocorkan soal ujian?
Memang, ini harus hati-hati sekali. Jangan sampai sanksi yang diberikan pemerintah merugikan mereka yang tidak bersalah. Maka, ini perlu pemeriksaan yang memakan waktu lama. Pemeriksaan di Inspektorat Jenderal itu sudah selesai dan hasilnya akan saya gunakan untuk menjatuhkan sanksi. Bagi siswa yang terbukti curang, ujiannya kita batalkan. Yang akan menyatakan lulus-tidaknya itu Badan Standardisasi Nasional Pendidikan. Tapi, menyangkut guru, kepala sekolah, dan dinas pendidikan, saya yang akan memberikan sanksi.
Apakah sudah ada yang dipidanakan?
Ada, seperti kasus Ngawi (kasus pencurian naskah soal ujian nasional SMA pada 2007 di SMK PGRI 4, Ngawi-Red.) itu pidana. Kalau sudah begitu, yang memproses polisi.
Menurut Anda, pelanggaran yang terjadi menurun atau meningkat?
Sebetulnya menurun. Cuma pemberitaannya yang terus meningkat. Bagi saya, itu bagus, karena kemudian menjadi isu. Jadi, yang mengawasi ujian tidak hanya pengawas ujian dan pemantau independen, tapi juga masyarakat. Ini akan memaksa dunia pendidikan bersikap jujur. Kejujuran sekarang semakin mahal.
Panik dengan ketentuan ujian nasional, banyak sekolah menggandeng bimbingan belajar, dan ongkos pendidikan membengkak. Mengapa bisa begitu?
Usaha apa pun yang membuat anak belajar, menurut saya bagus. Entah itu melalui cara komersial atau nonkomersial, silakan saja. Cara komersial ini kan menimbulkan kegiatan ekonomi.
Bagaimana dengan yang tidak mampu?
Kalau tidak mampu, ya, jangan beli. Bagi yang mampu kan bagus, memberikan pekerjaan kepada orang yang butuh pekerjaan. Belajar kan tidak harus beli. Cara-cara yang otodidak juga baik. Dalam sejarah, saya tidak pernah ikut bimbingan belajar karena saya juga anak orang tidak mampu. Padahal pada zaman saya sudah banyak kursus seperti itu. Sewaktu masuk UGM, saya memang ikut bimbingan belajar. Tapi yang saya ikuti bimbingan belajar gratis yang ditawarkan Himpunan Mahasiswa Islam atau Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia.
Bagaimana Anda membaca pendapat publik tentang ujian nasional?
Mengenai hal itu, akseptasi publik ada dua, yang menerima dan menolak. Tapi sesungguhnya silent majority menerima. Secara empiris, yang tidak lulus itu ada 8 persen. Nah, yang menolak itu sesungguhnya bagian dari yang delapan persen itu. Berarti yang menerima kan lebih 92 persen.
Mengapa demikian?
Di kalangan elite politik memang terjadi resistensi terhadap ujian nasional. Resistensi itu tampak lebih banyak karena mereka tidak memahami bagaimana kriteria kelulusan anak sekolah. Mereka mengira, ujian nasional itu satu-satunya kriteria kelulusan. Padahal tidak begitu.
Maksudnya?
Dalam Peraturan Pemerintah No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, ujian nasional bukan satu-satunya kriteria. Kriteria itu ada empat. Pertama, peserta didik harus mengikuti seluruh pelajaran. Kedua, bernilai minimal baik untuk mata pelajaran agama, akhlak mulia, kewarganegaraan, kepribadian, estetika, dan olahraga. Ini sesungguhnya mata pelajaran yang soft. Ketiga, harus lulus ujian sekolah. Keempat, lulus ujian nasional. Dari sini jelas, ujian nasional bukan satu-satunya syarat kelulusan. Yang menentukan syarat itu bukan menteri, presiden, atau wakil presiden, tapi para guru sendiri.
Mengapa pemahaman tentang kelulusan itu berbeda-beda? Apakah karena ada informasi yang tak sampai?
Bisa jadi karena ada kesalahpahaman. Atau sesungguhnya mereka sudah paham tetapi tidak peduli atau malas, sehingga para guru mengambil jalan pintas. Lulus ujian nasional ya lulus, gagal ujian sekolah ya gagal, tanpa melihat dan mempertimbangkan unsur lain, sehingga dia tidak menilai anak dalam mata pelajaran agama, akhlak mulia, budi pekerti, kewarganegaraan, olahraga, dan seni budaya.
Tapi bagaimana caranya agar keempat kriteria itu bisa dipahami masyarakat Indonesia, khususnya para pendidik?
Satu-satunya cara lewat akreditasi. Kalau ada sekolah yang ukuran kelulusan siswanya tidak menggunakan kriteria itu, ya akhirnya tidak akan diberi akreditasi. Akreditasi ada tingkatannya, bisa A, B, C, atau D.
Melihat Indonesia begitu luas, kapan cita-cita itu bisa terwujud?
Ya, memang tidak bisa seperti membalik tangan, perlu waktu panjang. Jangan sampai karena soal ujian nasional, saya bersama Presiden dan Wakil Presiden digugat. Itu semua timbul sebetulnya hanya karena salah persepsi, salah mengerti.
Lalu bagaimana Anda bisa menilai angka kelulusan secara nasional, sementara kesenjangan nilai di Jawa dan luar Jawa sangat mencolok?
Kalau ada kesenjangan, cara menghilangkannya bukan dengan menipu diri bahwa seolah-olah tidak ada kesenjangan, kemudian batas ambang penulisannya dibikin diskriminatif. Itu tidak mengatasi masalah. Itu berarti kita tidak menerima realitas bahwa mutu pendidikan tidak merata. Satu-satunya cara riil untuk menghilangkan mutu pendidikan yang tidak merata dengan menghilangkan perbedaan mutu itu. Yaitu dengan distribusi guru yang lebih merata, dengan pemberian fasilitas pendidikan yang lebih merata. Dan yang lebih penting, kesenjangan untuk guru itu adalah kesenjangan infrastruktur. Penyebab utamanya, ya, kesenjangan infrastruktur.
Bagaimana peta kawasan pendidikan terbaik di Indonesia?
Kawasan pendidikan terbaik di seluruh Indonesia itu di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DIY. Jadi, kawasan terbaik pendidikan itu kurang lebih Surabaya ditarik ke selatan, dan Temanggung ditarik ke utara dan selatan. Itulah kawasan terbaik di Indonesia, mulai TK sampai perguruan tinggi.
Untuk memeratakan dan memperbaiki ketertinggalan kesenjangan itu, apa yang akan dilakukan?
Pendidikan harus menjadi gerakan kultural. Memang mindset masyarakat harus diubah dari yang tidak "pendidikan minded" menjadi "pendidikan minded". Karena itu, Departemen Pendidikan Nasional ini betul-betul saya pakai sebagai pemicu gerakan kultural. Dan itu berarti, yang paling penting adalah pendidikan hati, yaitu pendidikan agama, akhlak mulia, budi pekerti, kewarganegaraan, kepribadian....
Tapi itu semua sepertinya masih abstrak. Secara riil apa yang akan Anda lakukan?
Pada akhirnya pendidikan akhlak dan budi pekerti harus menjadi ukuran keberhasilan pendidikan. Dan kembali lagi, Departemen Pendidikan Nasional mengembangkan yang namanya indeks kejujuran obyektivitas ujian nasional. Kita punya angkanya secara nasional. Dan yang tinggi tingkat kejujurannya itu DIY dan Jawa Tengah. Kalau soal skor ujian nasionalnya, DIY dan Jawa Tengah tidak tertinggi. Tetapi skor obyektivitas ujian nasionalnya termasuk yang tinggi. Jadi, Jawa Tengah dan DIY tidak tertinggi tapi jujur.
Kalau dilihat dari tahun ke tahun, bagaimana tingkat kelulusan siswa lewat ujian nasional ini?
Tingkat kelulusannya relatif stabil, naik turun tapi di kisaran 90 persen. Kini ambang batas kelulusannya cukup tinggi, naik setengah poin dari nilai 4,5 menjadi 5.
Apakah standar nilai itu tidak terlalu terburu-buru atau tidak terlalu tinggi membebani siswa?
Ya, kita lihat saja. Saya kan tidak memutuskan sendiri. Itu usul dari Badan Standardisasi Mutu Pendidikan. Dan sebelum saya jadikan peraturan menteri, saya juga telah berkonsultasi dengan Presiden dan Wakil Presiden serta Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat.
Salah satu putusan pengadilan, pemerintah diminta meninjau ulang UU Sistem Pendidikan Nasional. Sejauh ini, bagaimana pelaksanaan undang-undang itu? Ada perubahan?
Ada. Satu, bisa diukur dari rerata nilai terjadi peningkatan, dari yang di bawah enam sampai ada yang di atas tujuh. Tapi target saya, pada 2008-2009, rerata nilai nasional akan mencapai di atas tujuh, baik untuk SMP maupun SMA. Selain itu, ada hasil sampingan yang sangat signifikan, yaitu, sejak ada ujian nasional, kasus perkelahian pelajar antarsekolah menurun. Kita pakai contoh DKI. Coba bandingkan, sebelum dan sesudah 2004, lalu korelasikan dengan ujian nasional.
Apa hubungan UU Sistem Pendidikan Nasional dengan penurunan perkelahian pelajar?
Begini. Pada usia muda, orang akan banyak punya energi lebih. Mereka akan menyalurkannya dengan cara yang paling mudah, agresivitas brutal. Sekarang, dengan cara penilaian kelulusan seperti itu, mereka akan memanfaatkan energi lebih itu dengan hal-hal positif, yang mendukung syarat kelulusan. Untuk itu, sekolah harus menyiapkan penyaluran energi lebih bagi siswanya. Ini bisa dilakukan lewat olahraga, seni budaya, dan sebagainya. Lewat bidang itu diharapkan siswa dapat mengekspresikan diri dan berprestasi.
Mengapa konsep itu baru diterapkan secara efektif sekarang? Apakah ini menjadi bagian dari perbaikan konsep lama?
Ini sudah saya tekankan sejak saya menjadi menteri. Berkali-kali saya katakan, olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olahraga. Ini harus dilakukan seimbang karena olahraga sama pentingnya dengan olah-olah yang lain. Selama ini persepsi orang terhadap pendidikan hanya sebatas mendidik untuk cerdas otaknya, tapi tidak cerdas secara fisik, hati, dan perasaannya. Selain itu, fisiknya akan bugar karena gemar berolahraga.
Apakah prestasi itu sudah bisa dilihat?
Pada 2006, Indonesia meraih 68 medali emas di berbagai kompetisi dunia. Dari jumlah itu, 18 medali disumbangkan seni teater dan dua medali dari olahraga. Terakhir, muncul pecatur anak-anak berlomba di tingkat dunia. Sebelumnya tidak begitu, hampir semua medali diperoleh dari ilmu teknologi dan matematika. Jadi, sekarang sudah hampir berimbang.
Bambang Sudibyo Tempat, tanggal lahir: Temanggung, 8 Oktober 1952 Pendidikan:
Pekerjaan:
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo