ISI perut ikan itu hancur berantakan dan gelembung udaranya
pecah. Sebagian besar siripnya robek, sisik-sisiknya terkelupas
dengan mata merah berdarah. Itulah ciri-ciri korban pemboman
ikan dengan bahan peledak yang digunakan kapal ikan Singapura,
SMF 469, yang tertangkap oleh patroli Kamla di perairan Natuna,
Riau, baru-baru ini.
Ada lima ton ikan hasil tangkapan dengan cara itu ditemukan di
geladak SMF 469 ketika kapal ikan itu dipergok patroli TNI/AL di
sekitar pulau Tarempa. Dengan demikian, terbuktilah bahwa
laporan para nelayan setempat ke Pangkalan TNI/AL Natuna selama
ini bukan isapan jempol. Hanya saja -- berbeda dengan di
perairan Maluku nun di Timur sana -- kapal-kapal patroli Kamla
(Keamanan Laut) di perairan Riau Kepulauan selama ini jarang
berhasil memergoki ulah kapal ikan nelayan bernomor register
Singapura (SMF).
"SMF 469 ini residivis," begitu dikemukakan pihak Dispen Daeral
II. Maksudnya, kapal Singapura itu sudah pernah ditangkap,
dihukum, lalu dibebaskan kemudian beroperasi lagi.
Kendati demikian, penangkapan kapal Singapura yang satu ini
dipandang sebagai momen yang baik oleh Dinas Perikanan Kepulauan
Riau. "Soalnya perairan Riau selama ini memang dijadikan sasaran
utama operasi SMF dengan bahan peledaknya itu," kata seorang
pejabat Perikanan di Tanjung Pinang. Adapun "jaring-jaring yang
mereka bawa, itu cuma topeng," tambahnya lagi.
Sulit Dipulihkan Kembali
Kawasan manakah yang rusak oleh pemboman ikan itu ? Menurut
laporan nelayan setempat, yang banyak disebut-sebut adalah
pulau-pulau sekitar Tarempa, Sedanau dan Tambelan. Kemudian
pulau-pulau sekitar Bintan Timur dan Bintan Utara.
Pihak Lembaga Penelitian Perikanan Laut (LPPL) Kepulauan Riau,
belum dapat menyebut dengan persis tempat yang sudah terbukti
rusak. Alasannya itu-itu juga: belum ada survei yang teliti.
Tapi Suharmoko B.Sc., Kepala LPPL Kep. Riau, tahu pasti betapa
hancurnya Pulau Telang -- sebuah pulau di Bintan Timur -- oleh
bahan peledak. Itu dilihatnya ketika bekerjasama dengan sebuah
perusahaan swasta dalam percobaan penanaman rumput laut di sana.
Bukan cuma ikannya yang berkurang, tapi juga "karang laut di
kawasan itu sudah sulit dipulihkan kembali," tuturnya kepada
Rida K. Liamsi dari TEMPO.
Sementara itu, beberapa penduduk Pulau Tujuh juga melaporkan
bahwa mereka tiap hari mendengar "pemboman ikan" dekat
kampung-kampung di pantai. Malah ada yang menyaksikannya dengan
mata kepala sendiri. Itu sudah mereka laporkan kepada yang
berwajib. Tapi laporan itu belum nampak diperhatikan.
Tentang jenis bahan peledak yang digunakan, Suharmoko tak dapat
menyebutnya persis. Disinyalir, mereka menggunakan sejenis TNT
(tri-nitro-toluena) keras, yang sanggup membunuh ikan sampai
sejauh « km. Pihak Daeral-II sendiri belum mengumumkan jenis
bahan peledak yang digunakan SMF 469 yang tertangkap. Tapi
jelas, "itu bukan dari kelas tradisionil," komentar kalangan
Dinas Perikanan di Tanjung Pinang.
Akibat pemboman ikan model Singapura itu rupanya lebih dahsyat
daripada pukat harimau yang menguras isi laut dangkal dari ikan
dewasa sampai ke telur-telurnya, Kalau dibiarkan terus-menerus,
para ahli perikanan di sana khawatir bahwa kelestarian laut akan
sangat terganggu -- berikut sumber penghasilan nelayan pondok
pula. Sebab sasaran utama kapal-kapal SMF itu adalah daerah
pantai berkarang. Di situlah tempat berkumpulnya ikan yang
secara tradisionil menjadi pengiring nasi ke perut nelayan
pribumi. Seperti ikan delah alias ekor kuning (Caesio
erythrogaster), jenis ikan merah dan kakap merah (Lucanu spp),
jenis ikan selar (Caranx spp), serta berbagai jenis ikan kering
lainnya.
Dr Hardenberg, seorang ahli perikanan bangsa Jerman berpendapat,
penggunaan bahan peledak itu tak ubahnya seperti pemusnahan
hutan. Karang yang terserang ledakan akan hancur menutupi
lingkungan hidup ikan. Kerusakan ekosistem itu tak dapat
dipulihkan secara alamiah dalam 5 sampai 10 tahun. Kalaupun
karang dapat tumbuh kembali, daerah itu tak dapat kembali jadi
tempat penangkapan ikan yang subur. Artinya, jenis ikan tertentu
tak dapat berbiak lagi di sana. Tanda-tanda itu sudah mulai
terasa di perairan Kepulauan Riau. Dan menurut Suharmoko,
beberapa jenis ikan karang seperti ekor kuning sudah sulit
ditemukan. Kalaupun ada, seperti ikan dingkis misalnya, harganya
lebih mahal daripada udang.
Radar Ikan
Yang tak kurang mencemaskan Tatan Sujastani B.Sc., seorang
peneliti perikanan yang tahun lalu bertugas di sana, adalah
penggunaan semacam radar kecil (fish finder). Radar begini dapat
menentukan jarak dan jumlah gerombolan ikan, sehingga bom yang
diledakkan dapat membunuh ikan itu sampai ke cucu-cicitnya.
Padahal kalau pusat gerombolan ikan itu dibantai, yang tersisa
adalah laut yang kerontang dan miskin ikan.
Kisah ancaman yang muncul dari geladak kapal-kapal Singapura
bersandi SMF ini, bukan baru sebulan dua. Tapi sudah
bertahun-tahun. Sampai-sampai Laksamana Muda Teddy Asikin
Natanegara, ketika masih menjabat sebagai Panglima Daeral-II
sudah menyatakan rasa penasarannya akibat teror ikan dari
Singapura (TEMPO, 31 Juli 1976). Sekarang ini -- menurut
informasi yang diterima TEMPO -- sudah 200-an kapal ikan jenis
itu menjamah perairan Laut Natuna (d/h Laut Cina Selatan) itu.
Kalau begitu, apakah nelayan pribumi-yang sayangnya masih
ikut-ikutan juga membom ikan secara kecil-kecilan -- harus
siap-siap berganti profesi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini