KALAU benar Jepang ingin mengimpor alang-alang, Indonesia pasti
tak akan kekurangan komoditi itu. Pekan lalu suatu berita Kompas
menyebut tentang kemungkinan pengusaha Jepang membayar $90 per
ton alang-alang C & F dari daerah Sulawesi. Sekilas ini
kelihatan menarik, apalagi tanaman alang-alang (Imperata
Cylindrica) di Indonesia dianggap gulma, atau pengganggu.
Sekarang arealnya sudah mencapai hampir 20 juta ha.
Jika bernilai sebagai komoditi ekspor dan menghasilkan devisa,
mungkin semua ilalang di Indonesia bisa cepat dibabat dan dijual
kepada Jepang, dan mungkin tanpa menghiraukan akibatnya pada
lingkungan. Ilalang memang dinilai sebagai gulma sejauh ia
berperan sebagai tanaman yang mengganggu upaya manusia. Namun
ilalang itu juga membantu manusia karena akarnya yang merata
berperan menahan dan melindungi tanah dari bahaya erosi dan
kemudian dari kegersangan mutlak. Seperti pernah dikemukakan
Dr. ir Achma. Soedarsan, dari Balai Penelitian Perkebunan
Bogor, "Alang-alang harus dikendalikan, bukan dibasmi, sebab
sampai tingkat tertentu ia masih punya nilai positif."
Tanah kritis di Indonesia kini meliputi sekitar 35 juta ha,
termasuk yang ditumbuhi oleh alang-alang. Setiap tahun areal
alang-alang bertambah dengan 200 ribu ha, antara lain disebabkan
oleh sistem peladangan yang berpindah-pindah dan karena
alang-alang itu cenderung terbakar sendiri yang kemudian
merambat ke hutan di dekatnya.
Secara umum tanah ini tergolong kurang subur. Lokasinya sukar
digenangi air irigasi. Tapi seperti dikemukakan ir. Koestono
dalam makalahnya di depan Kongres Agronomi 1977, secara alami
kesuburan tanah dapat dibentuk melalui cara menghutankan tanah
kering. Hutan mampu melaksanakan fungsi hidro-orologi (pengairan
daerah pegunungan). Tanah yang tertutup hutan itu terjamin
proses kesuburannya.
Untuk menghutankan tanah kritis tadi, R. Soetarjo Martoatmodjo,
seorang pensiunan Departemen Pertanian, mempromosikan penggunaan
pohon gamal (Gliricidia). "Sahara Indonesia perlu segera
dihutankan dengan cara yang murah," demikian Soetarjo dalam
suatu tulisan yang disiarkan Antara. Penggunaan pohon gamal
dianggapnya paling murah. Cukup orang menyebar biji gamal dan ia
akan tumbuh, tanpa perlu digali lobang lebih dulu. Lima tahun
kemudian padang alang-alang pasti berubah menjadi hutan gamal.
Bahkan pohon ini meracuni alang-alang sehingga mati sendiri.
Menurut Soetarjo, hutan gamal itu dapat dibuka lagi untuk
ladang. Setelah 2 tahun berladang, tanah dapat digamalkan
kembali. Regenerasi dengan pohon gamal cukup 5 tahun. Terutama
peladang liar dapat meninggalkan bibit pohon itu di bekas
ladangnya.
Para transmigran semestinya diarahkan untuk membuka tanah
alang-alang, tulis Soetarjo. "Mengapa yang diincar selalu hutan
rimba?"
Pertanyaan ini juga terungkap dalam sebuah seminar di Fakulta
Pertanian UGM, Yogyakarta, akhir Desember lalu. Dari 346.000 ha
yang disediakan untuk pemukiman transmigran di sepanjang jalur
lintas Sumatera misalnya, 231.000 ha (lebih 65%) berasal dari
pembukaan hutan primer. Ir. Ibrahim Purba dan ir. Wisnu
Rahardjo, keduanya pejabat Dinas Kehutanan Sum-Bar, mengatakan
penempatan transmigran semacam itu sangat merugikan. Menurut
perhitungan mereka, rata-rata setiap KK akan menghabiskan 2,68
ha hutan.
Bukan Impian
Menteri Dalam Negeri, berdasarkan Instruksi Presiden no. 1 tahun
1976, menentukan lokasi transmigran sepanjang jalan lintas
pulau-pulau besar, 15 km kiri dan kanan jalur itu. Menurut Dirjen
Transmigrasi Kadarusno, prioritas utama diberikan kepada daerah padang
alang-alang, baru kemudian hutan sekunder. Namun areal minimum
100.000 ha di luar hutan primer memang sulit diperoleh. Akhirnya
areal hutan primer akan kena babat seperti yang sudah dilakukan
di lokasi pemukiman Sitiung II, Sitiung III, Tebingtinggi dan
Abai Siat di Sumatera.
Kembali pada soal ilalang, para ahli di Indonesia belum sempat
memikirkannya sebagai komoditi ekspor. Tapi orang seperti R.
Soetarjo mencoba mengubah padang alang-alang dan tanah kritis
lainnya menjadi hutan, atau perkebunan, atau gudang pangan. Ini
bukan impian kosong. R. Soetarjo mengutip lagi pernyataan ir.
van Meulen -- penemu Centrosema -- yang berpendapat bahwa tanah
kritis bisa dibuat produktif dengan cara biologis.
Terdapat 2 milyar ha tanah kritis di seluruh dunia yang diduga
akan dapat menghasilkan pangan. Namun sementara itu suatu
laporan PBB mengingatkan bahwa tanah kritis, yang juga berupa
padang pasir seperti di Sahara, makin menjalar. Antara lain
disebabkan oleh musnahnya padang rumput, erosi yang tidak
terkendalikan dan penebangan hutan serta kekeringan dan tidak
adanya sumber air. Gejala ini juga terdapat di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini