Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bukan impian dengan ilalang

Jepang ingin mengimpor ilalang dari indonesia. prioritas utama lokasi transmigrasi seharusnya diberikan pada daerah padang alang-alang, baru hutan sekunder. (ling)

12 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU benar Jepang ingin mengimpor alang-alang, Indonesia pasti tak akan kekurangan komoditi itu. Pekan lalu suatu berita Kompas menyebut tentang kemungkinan pengusaha Jepang membayar $90 per ton alang-alang C & F dari daerah Sulawesi. Sekilas ini kelihatan menarik, apalagi tanaman alang-alang (Imperata Cylindrica) di Indonesia dianggap gulma, atau pengganggu. Sekarang arealnya sudah mencapai hampir 20 juta ha. Jika bernilai sebagai komoditi ekspor dan menghasilkan devisa, mungkin semua ilalang di Indonesia bisa cepat dibabat dan dijual kepada Jepang, dan mungkin tanpa menghiraukan akibatnya pada lingkungan. Ilalang memang dinilai sebagai gulma sejauh ia berperan sebagai tanaman yang mengganggu upaya manusia. Namun ilalang itu juga membantu manusia karena akarnya yang merata berperan menahan dan melindungi tanah dari bahaya erosi dan kemudian dari kegersangan mutlak. Seperti pernah dikemukakan Dr. ir Achma. Soedarsan, dari Balai Penelitian Perkebunan Bogor, "Alang-alang harus dikendalikan, bukan dibasmi, sebab sampai tingkat tertentu ia masih punya nilai positif." Tanah kritis di Indonesia kini meliputi sekitar 35 juta ha, termasuk yang ditumbuhi oleh alang-alang. Setiap tahun areal alang-alang bertambah dengan 200 ribu ha, antara lain disebabkan oleh sistem peladangan yang berpindah-pindah dan karena alang-alang itu cenderung terbakar sendiri yang kemudian merambat ke hutan di dekatnya. Secara umum tanah ini tergolong kurang subur. Lokasinya sukar digenangi air irigasi. Tapi seperti dikemukakan ir. Koestono dalam makalahnya di depan Kongres Agronomi 1977, secara alami kesuburan tanah dapat dibentuk melalui cara menghutankan tanah kering. Hutan mampu melaksanakan fungsi hidro-orologi (pengairan daerah pegunungan). Tanah yang tertutup hutan itu terjamin proses kesuburannya. Untuk menghutankan tanah kritis tadi, R. Soetarjo Martoatmodjo, seorang pensiunan Departemen Pertanian, mempromosikan penggunaan pohon gamal (Gliricidia). "Sahara Indonesia perlu segera dihutankan dengan cara yang murah," demikian Soetarjo dalam suatu tulisan yang disiarkan Antara. Penggunaan pohon gamal dianggapnya paling murah. Cukup orang menyebar biji gamal dan ia akan tumbuh, tanpa perlu digali lobang lebih dulu. Lima tahun kemudian padang alang-alang pasti berubah menjadi hutan gamal. Bahkan pohon ini meracuni alang-alang sehingga mati sendiri. Menurut Soetarjo, hutan gamal itu dapat dibuka lagi untuk ladang. Setelah 2 tahun berladang, tanah dapat digamalkan kembali. Regenerasi dengan pohon gamal cukup 5 tahun. Terutama peladang liar dapat meninggalkan bibit pohon itu di bekas ladangnya. Para transmigran semestinya diarahkan untuk membuka tanah alang-alang, tulis Soetarjo. "Mengapa yang diincar selalu hutan rimba?" Pertanyaan ini juga terungkap dalam sebuah seminar di Fakulta Pertanian UGM, Yogyakarta, akhir Desember lalu. Dari 346.000 ha yang disediakan untuk pemukiman transmigran di sepanjang jalur lintas Sumatera misalnya, 231.000 ha (lebih 65%) berasal dari pembukaan hutan primer. Ir. Ibrahim Purba dan ir. Wisnu Rahardjo, keduanya pejabat Dinas Kehutanan Sum-Bar, mengatakan penempatan transmigran semacam itu sangat merugikan. Menurut perhitungan mereka, rata-rata setiap KK akan menghabiskan 2,68 ha hutan. Bukan Impian Menteri Dalam Negeri, berdasarkan Instruksi Presiden no. 1 tahun 1976, menentukan lokasi transmigran sepanjang jalan lintas pulau-pulau besar, 15 km kiri dan kanan jalur itu. Menurut Dirjen Transmigrasi Kadarusno, prioritas utama diberikan kepada daerah padang alang-alang, baru kemudian hutan sekunder. Namun areal minimum 100.000 ha di luar hutan primer memang sulit diperoleh. Akhirnya areal hutan primer akan kena babat seperti yang sudah dilakukan di lokasi pemukiman Sitiung II, Sitiung III, Tebingtinggi dan Abai Siat di Sumatera. Kembali pada soal ilalang, para ahli di Indonesia belum sempat memikirkannya sebagai komoditi ekspor. Tapi orang seperti R. Soetarjo mencoba mengubah padang alang-alang dan tanah kritis lainnya menjadi hutan, atau perkebunan, atau gudang pangan. Ini bukan impian kosong. R. Soetarjo mengutip lagi pernyataan ir. van Meulen -- penemu Centrosema -- yang berpendapat bahwa tanah kritis bisa dibuat produktif dengan cara biologis. Terdapat 2 milyar ha tanah kritis di seluruh dunia yang diduga akan dapat menghasilkan pangan. Namun sementara itu suatu laporan PBB mengingatkan bahwa tanah kritis, yang juga berupa padang pasir seperti di Sahara, makin menjalar. Antara lain disebabkan oleh musnahnya padang rumput, erosi yang tidak terkendalikan dan penebangan hutan serta kekeringan dan tidak adanya sumber air. Gejala ini juga terdapat di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus