Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Mula - malurung melumpuhkan berg

Pengarang: slametmulyana jakarta: bhratara, 1979 resensi oleh: nia kurnia sholihat. (bk)

12 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAGARAKRETAGAMA DAN TAFSIR SEJARAHNYA Oleh: Prof. Dr. Slametmulyana Penerbit: Bhratara, Jakarta, 1979 Tebal: 346 halaman, 21 x 14 cm SAMPAI saat ini kitab Nagarakretagama, di samping Pararaton, dipakai sebagai sumber utama dalam penyusunan sejarah Kerajaan Singasari dan Majapahit. Nagarakretagama (artinya kisah pembentukan negara) merupakan karya sastra gubahan Prapanca, pujangga Majapahit pada zaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. Karena itu uraian Prapanca boleh dikatakan sumber berita dari tangan pertama. Namun kita jangan lupa, bahwa Prapanca menyusun karyanya dengan maksud mengagungkan Hayam Wuruk. Tidak mustahil sang pujangga menambah atau melebih-lebihkan cerita. Sebelum membaca buku terbaru Dr. Slametmulyana ini, sudah bisa diduga, bahwa pengarang ingin menekankan pentingnya Nagarakretagama sebagai sumber sejarah. Ternyata memang demikian. Dalam uraiannya pengarang berusaha menumbangkan pendapat beberapa sarjana, terutama Prof. C.C. Berg yang beranggapan karya sastra Jawa Kuno tidak layak dijadikan sumber sejarah karena penuh berisi dongeng dan mitos. (C.C. Berg, "The Javanese Picture of the Past", dalam SoedJatmoko, et al, An Introduction to Indonesian Historiograpby, Cornell University Press, Ithaca, 1965, hh. 87 -117). Tokoh Sejarah Misalnya dalam Bab III, "Singasari sebagai Pendahuluan Majapahit", pengarang menggoyahkan C.C. Berg yang meragukan Ken Arok sebagai tokoh sejarah pendiri Singasari. Menurut Berg penaklukan Kediri oleh Ken Arok seperti diuraikan Pararaton dan Nagarakretagama hanya dongeng semata. Alasannya, prasasti Mabaksobhya yang menyatakan penyatuan Kediri dan Singasari oleh Raja Wisnuwardhana. Berg berpendapat yang menjadi cakal-bakal (stamvader) Singasari adalah Wisnuwardhana, sedangkan Ken Arok yang dikatakan Kakek Wisnu wardhana itu hanyalah tokoh ciptaan pengarang Pararaton. Teori Berg ini pernah dibantah beberapa sarjana (misalnya J.L. Moens, lihat: Bahasa dan Budaja, II (6), 1954). Tetapi bantahan itu belum mampu melumpuhkan Berg. Barulah dalam buku ini terdapat senjata ampuh yang membuat teori Berg itu berantakan prasasti: Mula-Malurung (hh. 74 - 87). Prasasti yang baru ditemukan tahun 1975 di Kediri itu mengemukakan, bahwa Prabu Seminingrat atau Wisnuwardhana adalah cucu Bhatara Siwa yang mendirikan kerajaan. Dan Bhatara Siwa adalah gelar Ken Arok seperti tercantum dalam Pararaton dan Nagarakretagama. Terbuktilah Ken Arok memang benar-benar tokoh sejarah. Lagipula prasasti itu pun menerangkan bahwa kerajaan Singasari pernah terpecah dua: Tumapel dan Kediri, dan masing-masing negeri diperintah oleh putra-putra Ken Arok. Baru di zaman Wisnuwardhana kedua negeri itu dipersatukan kembali. Ditemukannya prasasti Mula-Malurung mengharuskan para, ahli sejarah menata kembali penulisan sejarah Singasari. Sebab ternyata Tohjaya tidak pernah menjadi raja Singasari, melainkan raja Kediri. Jayakatwang yang menggulingkan Kertanegara ternyata masih kemanakan Wisnuwardhana atau saudara sepupu Kertanegara. Isi prasasti Mula-Malurung itu dicantumkan oleh Prof. Slametmulyana dalam pasal tersendiri. Ahli sejarah yang kurang sependapat dengan tafsir Slametmulyana boleh meneliti lebih lanjut. Bab IV sampai Bab X yang masing-masing berjudul "Kerajaan Majapahit" "Wilayah Majapahit', "Tatanegara Majapahit", "Perundang-undangan Majapahit", "Tatamasyarakat", "Aspek Kebudayaan" dan "Pencipta Nagarakretagama", boleh dikatakan rangkuman isi buku-buku pengarang yang telah lebih dahulu terbit. Tidak ada hal baru, kecuali masalah nama Prapanca. Menurut pengarang nama asli Prapanca adalah Dang Acarya Nadendra (h. 242). Ini berarti pengarang melepaskan pendapat lamanya bahwa nama asli Prapanca adalah Dang Acarya Kanakamuni (Menudju Puntjak Kemegahan, 1965, h. 21). Pesta Seks Dalam Bab XI "Penilaian Nagarakretagama", disimpulkan bahwa Nagarakretagama tiada taranya sebagai sumber sejarah Majapahit. Kesimpulan ini perlu diberi catatan, bahwa uraian Prapanca harus ditafsirkan secara kritis. Mungkin saja sang pujangga membumbui fakta sejarah, atau salah menuliskan fakta sejarah. Kenyataannya tarikh dalam Nagarakretagama banyak berbeda dengan dalam Pararaton. Mana yang benar tidak dapat dipastikan. Apalagi jika benar penilaian pengarang -- Prapanca seorang yang frustrasi dan ingin kedudukan (h. 271), tidak mustahil ia sengaja melebih-lebihkan kebesaran Hayam Wuruk dan Majapahit. Dan kita pun tergoda bertanya benarkan Majapahit pernah menguasai Nusantara seperti uraian Nagarakretagama pupuh XIII - XIV? Bab XII sampai Bab XV lebih tepat dinamai lampiran, meskipun isinya sangat menarik. Bab XII memuat "Saduran Nagarakretagama" lengkap 98 pupuh. Bab XIII menjelaskan Candrasangkala (penulisan tahun dengan kalimat tertentu). Bab XIV memuat "Index Nama dalam Nagarakretagama". (Sayang indeks dari buku ini sendiri tidak ada). Silsilah raja-raja Singasari dan Majapahit pada halaman terakhir, menarik. Ada nama Nyoo Lay Wa, yang dikatakan memerintah Majapahit pada 1478-1486. Ini berarti, pengarang masih mempercayai keterangan ir. M.O. Parlindungan dalam buku Tuanku Rao, Medan, 1964. Menurut Tuanku Rao, kedatangan tentara Mongol menyerang Singasari berkat hasutan kerajaan Samudera Pasai. Ketika tentara Mongol sampai di Jawa, Singasari telah dihancurkan Kediri. Raden Wijaya lalu membujuk tentara Mongol untuk menyerbu Kediri, menjanjikan imbalan pesta-pora seks terhadap wanita-wanita Kediri. Setelah Kediri hancur dan tentara Mongol puas melakukan skandal, tentara Mongol pulang dan Raden Wijaya mendirikan Majapahit (Tuanku Rao, hh. 588-589). Samudera Pasai.diserang oleh Majapahit dengan membumihanguskan masjid-masjid (Tuanku Rao, h. 685). Tahun 1478 Majapahit diruntuhkan Demak, kerajaan orang-orang Cina. Raja Demak yang bernama Jin Bun (Raden Patah) mengangkat Nyoo Lay Wa sebagai penguasa Majapahit (Tuanku Rao, Lampiran XXXI). Isapan jempol ir. Parlindungan ini ditelan bulat-bulat oleh Prof. Slametmulyana dalam bukunya yang terbit tahun 1968. Akhirnya buku Prof. Slametmulyana ini dilarang beredar oleh Jaksa Agung RI dengan SK No. 043/DA/6/ 1971. Meskipun kita menyayangkan pelarangan itu, harus kita akui Prof. Slametmulyana kurang hati-hati dalam menyeleksi sumber sejarah yang digunakan. Jika sumber sejarah ir. Parlindungan dapat dipertanggungjawabkan sudah tentu para ahli sejarah tidak berkeberatan mengakui kebenarannya, karena ilmu sejarah bukanlah hasil "main tunjuk" (meminjam istilah Prof. Slametmulyana sendiri), melainkan sesuatu yang kita gali dari sumber-sumber sejarah yang autentik. Terlepas dari kekurangan-kekurangannya, Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya memang memuat hal baru yang belum kita jumpai dalam buku-buku lain. Cuma sayangnya, buku yang bermutu ini banyak diganggu "salah cetak". Misalnya: Ken Dedes, ibu Ken Arok (h. 64). Ken Dedes adalah istri Ken Arok, sedangkan ibunya adalah Ken Ndok. Juga tarikh Saka dimulai 78 tahun sesudah tarikh Masehi, bukan sebelumnya seperti tercantum pada h. 323. Pengarang juga membiarkan pembaca bertanya-tanya apakah arti singkatan BEFE0, BKI, TBG, dan beberapa lagi. Bagi yang berkecimpung di bidang sejarah singkatan itu memang tidak asing lagi. Tapi mengingat buku ini juga ditujukan kepada masarakat luas, sudah sepantasnya perlu dijelaskan. Di antara sejarawan Indonesia, Prof. Dr. Slametmulyana merupakan seorang peneliti sejarah Majapahit yang belum ada bandingannya sesudah almarhum Prof. R.M. Ng. Poerbatjaraka dan almarhum Prof. H. Muhammad Yamin. Tulisan pertama Prof. Slametmulyana tentang kemajapahitan muncul tahun 1952: "Adakah Prapantja sungguh pudjangga keraton?" dalam majalah Bahaia dan Budaja, I(2). Kemudian menyusul karya-karyanya: Nagarakretagama, Djakarta, 1953 Menudju Puntjak Kemegahan, Djakarta, 1965 Perundang-undangan Madjapahit, Djakarta 1966 The Structure of the National Government of Madjapahit, Djakarta, 1966 Runtuhnja Keradjaan Hindu Djawa dan Timbulnja Negara-negara Islam di Nusantara, Djakarta, 1968 serta A Story of Majapahit, Singapore, 1976. Nia Kurnia Sholihat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus