MENGAPA Prof. Dr. Slametmulyana sangat tertarik kepada
Majapahit? "Mulai sekolah saya sudah tertarik Majapahit. Bukan
sebagai satu negara besar, tapi sebagai salah satu negara
nasional yang mempersatukan Indonesia," jawab sejarawan itu.
Bekas Dekan Fak. Sastra UI (1966-69) ini, kini sudah 59 tahun.
Masih tegap, meski rambut sudah kelihatan mulai tipis dan putih
semua. Sambil menimang buku Nagarakretagama dan Tafsir
Sejarahnya -- karyanya terbaru -- ia fasih sekali menyebut nama
raja-raja Jawa zaman Majapahit dan sebelumnya, lengkap dengan
tahun pemerintahannya.
Memang ada yang baru dalam buku barunya itu. "Nama Prapanca,
misalnya. Penyelidikan lebih lanjut ternyata menyatakan nama
sebenarnya bukan Kanakamuni -- itu nama ayahnya. Nama yang benar
ialah Nadendra." Dengan penemuannya itulah dia berhasil
menerjemahkan pupuh XVC -- XCVIII Nagarakretagama, yang "sampai
kini para ahli tak paham." Dan dari situ, makin kuat bukti bahwa
kitab buah karya Prapanca itu memang bisa dijadikan pegangan
mengusut sejarah Kerajaan Majapahit.
Keberatan beberapa sejarawan bahwa Prapanca sebagai punggawa
istana akan menuliskan hal-hal secara berlebihan, bisa
dipertimbangkan kembali. Sebab, "Prapanca menulis ketika sudah
tidak menjadi hakim agung Majapahit." Menurut Prof.
Slametmulyana kisah itu diceritakan sendiri oleh Prapanca pada
pupuh yang berhasil dlpahaminya itu.
Mengenai Nyoo Lay Wa yang pernah memerintah Majapahit, sama
sekali dia tak berdasar pada buku Tuanku Rao. Tapi "saya memang
berhubungan langsung dengan ir. Parlindungan penulis Tuanku Rao.
Dia yang menunjukkan silsilah raja-raja Majapahit, yang
diperoleh dari seorang Belanda, Poortman, dan Belanda itu
mendapatkannya dari Kelenteng Sam Po Kong di Semarang."
Bapak dari 7 anak ini memperoleh doktornya dari Universitas
Leuven di Belgia, 1954. "Buat saya sejarah itu teladan: ibu yang
mengajarkan ilmu," tuturnya.
Slametmulyana mengaku, secara ekonomis tulisan-tulisannya tak
ada artinya. Karena itulah ia masih merasa perlu, selepas dari
jabatan dekan FS UI, untuk mengajar di Universitas Nan Yang di
Singapura -- 1969-77. "Sebagian buku ini saya tulis di sana,"
kata sejarawan ini -- yang sebuah bukunya (terbitan 1968
dilarang beredar oleh pemerintah. Menurut dia sejauh belum ada
bukti yang melemahkan dasar pemikirannya dalam buku itu, "saya
tetap yakin apa yang saya tulis bukan isapan jempol." Dia malah
minta argumen bahwa penyebaran Islam di Nusantara tak seperti
yang dia tulis (TEMPO, 31 Juli 1971).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini