Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Sang profesor majapahit

Sekitar penulisan buku negarakretagama dan tafsir sejarahnya karya slamet mulyana. (bk)

12 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGAPA Prof. Dr. Slametmulyana sangat tertarik kepada Majapahit? "Mulai sekolah saya sudah tertarik Majapahit. Bukan sebagai satu negara besar, tapi sebagai salah satu negara nasional yang mempersatukan Indonesia," jawab sejarawan itu. Bekas Dekan Fak. Sastra UI (1966-69) ini, kini sudah 59 tahun. Masih tegap, meski rambut sudah kelihatan mulai tipis dan putih semua. Sambil menimang buku Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya -- karyanya terbaru -- ia fasih sekali menyebut nama raja-raja Jawa zaman Majapahit dan sebelumnya, lengkap dengan tahun pemerintahannya. Memang ada yang baru dalam buku barunya itu. "Nama Prapanca, misalnya. Penyelidikan lebih lanjut ternyata menyatakan nama sebenarnya bukan Kanakamuni -- itu nama ayahnya. Nama yang benar ialah Nadendra." Dengan penemuannya itulah dia berhasil menerjemahkan pupuh XVC -- XCVIII Nagarakretagama, yang "sampai kini para ahli tak paham." Dan dari situ, makin kuat bukti bahwa kitab buah karya Prapanca itu memang bisa dijadikan pegangan mengusut sejarah Kerajaan Majapahit. Keberatan beberapa sejarawan bahwa Prapanca sebagai punggawa istana akan menuliskan hal-hal secara berlebihan, bisa dipertimbangkan kembali. Sebab, "Prapanca menulis ketika sudah tidak menjadi hakim agung Majapahit." Menurut Prof. Slametmulyana kisah itu diceritakan sendiri oleh Prapanca pada pupuh yang berhasil dlpahaminya itu. Mengenai Nyoo Lay Wa yang pernah memerintah Majapahit, sama sekali dia tak berdasar pada buku Tuanku Rao. Tapi "saya memang berhubungan langsung dengan ir. Parlindungan penulis Tuanku Rao. Dia yang menunjukkan silsilah raja-raja Majapahit, yang diperoleh dari seorang Belanda, Poortman, dan Belanda itu mendapatkannya dari Kelenteng Sam Po Kong di Semarang." Bapak dari 7 anak ini memperoleh doktornya dari Universitas Leuven di Belgia, 1954. "Buat saya sejarah itu teladan: ibu yang mengajarkan ilmu," tuturnya. Slametmulyana mengaku, secara ekonomis tulisan-tulisannya tak ada artinya. Karena itulah ia masih merasa perlu, selepas dari jabatan dekan FS UI, untuk mengajar di Universitas Nan Yang di Singapura -- 1969-77. "Sebagian buku ini saya tulis di sana," kata sejarawan ini -- yang sebuah bukunya (terbitan 1968 dilarang beredar oleh pemerintah. Menurut dia sejauh belum ada bukti yang melemahkan dasar pemikirannya dalam buku itu, "saya tetap yakin apa yang saya tulis bukan isapan jempol." Dia malah minta argumen bahwa penyebaran Islam di Nusantara tak seperti yang dia tulis (TEMPO, 31 Juli 1971).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus