PANAS sedang mewabah di mana-mana. Di Jakarta mungkin orang sekadar mengeluh, tapi di Eropa bagian selatan lebih dari 700 orang tewas akibat sengatan matahari. Di Yunani, suhu sempat mencapai 47C, hingga kamar mayat di rumah-rumah sakit kewalahan diserbu jenazah, sampai perlu disewa gerbong kereta api berpendingm khusus untuk menampung jenazah. Di Turki malah ada cerita yang konyol. Menurut kantor berita Reuters, seorang penduduk merasa sangat terganggu oleh gelombang panas yang menyerang negara itu, hingga menggigit anjing tetangganya tiga kali. Tetangganya, yang tentu saja tak menerima perlakuan terhadap anjingnya ini, melaporkan pelakunya ke polisi. Mengapa bumi makin panas? Khusus untuk Indonesia, "Inilah pengaruh El Nino," kata Soerjadi, Kepala Sub-Bidang Ramalan dan Jasa Meteorologi, Badan Meteorologi dan Geofisika. Ini adalah nama yang diberikan pada arus panas di daerah tropis Samudra Pasifik. Para nelayan di daerah Amerika Selatan mcnyebutnya El Nino -- istilah mereka untuk bayi Kristus-- karena arus ini biasanya muncul di pantai mereka sekitar hari Natal. Kehadiran arus panas ini yang berulang setiap empat atau lima tahun -- belum diketahui apa penyebabnya. Yang jelas, kehadirannya dikenal sering membawa malapetaka di mana-mana. Menurut ahli meteorologi AS, Oswaldo Garcia, E.l Nino yang muncul pada 1877 dan 1983 tercatat menimbulkan banjir besar di California, musim dingin yang panas dl AS dan musim panas yang paling gerah dalam sejarah. Sayangnya, di Indonesia tak terdapat catatan yang serinci di AS. Namun, untuk 1982-1983, si Nino inilah yang didakwa sebagai penyebab kemarau panjang di Indonesia, yang diwarnai pula dengan letusan Gunung Galunggung dan Soputan. Hal yang serupa diduga akan terjadi kembali. "Paling tidak, akibatnya akan kita rasakan hingga September atau Oktober nanti," kata Soerjadi. Untungnya, menurut ramalan Soerjadi, dampak yang dirasakan tak akan separah dahulu. Sebab, cuma Indonesia bagian timur yang akan tersinggung. Sedangkan bagian barat, seperti Sumatera, diduga akan aman. Daerah Indonesia yang terkena ulah El Nino ini diperkirakan tak akan sampai mengalami kenaikan suhu. Hanya saja, udaranya lebih kering dan tak banyak angin berembus, sehingga terasa lebih "gerah". Maklum, kehadiran arus panas di Samudra Pasifik ini menyebabkan angin musim yang seharusnya mulai bergerak dari Pasifik ke Indonesia -- dengan membawa awan dan uap air -- berkurang. Bahkan bila cukup besar, arus panas itu dapat mengakibatkan udara dari Indonesia yang mengalir ke sana dengan membawa awan dan uap air yang ada. Alhasil, yang tersisa tinggal kekeringan belaka. Ini tentu kabar buruk bagi pctani yang mengandalkan air hujan bagi pengairan tanamannya. Tapi gejala alam tentu tak hanya hadir dengan sisi buruk belaka. Sebab, bagi nelayan yang mencari natkah di perairan Indonesia, kehadiran arus ini dapat membawa rezeki. Soalnya, di daerah pertemuan antara arus panas dan arus dingin biasanya terdapat banyak plankton alias jasad renik laut. Kehadiran plankton -- yang merupakan makanan utama banyak jenis ikan -- berarti pula kehadiran ikan-ikan tersebut. Tentu saja, para nelayan itu harus mengetahui letak daerah pertemuan kedua arus tersebut. Sebab, bila tersasar ke tengah arus panas, bisa-bisa malah tidak menemukan seekor ikan pun. Persis seperti yang dialami para nelayan dari Peru, yang pada 1982-1983 kehilangan scparuh dari produksi ikan normalnya akibat memanasnya suhu laut di negara itu. Dampak El Nino tak selalu berarti kekeringan. Bagi daerah lain, tempat awan dan uap air yang terkonsentrasi justru bisa mengakibatkan terjadinya curah hujan yang berlebih dan banjir. Namun, belum dapat dipastikan apakah ada hubungan kehadiran El Nino di Pasifik dengan kekacauan cuaca di belahan dunia lain, Eropa. Sebab, kebalikan dari Eropa bagian selatan yang kekeringan dan kepanasan, daerah Eropa Utara dan Asia Tengah justru menjadi tempat curahan hujan. Bahkan di Republik Uzbeck, negara bagian Uni Soviet di Asia Tengah, hujan menyebabkan 5.000 rumah terbenam oleh banjir lumpur. Belgia mengalami hari paling mendung selama 100 tahun, dan Denmark mencatat hari yang paling pendek menikmati sinar matahari di tahun ini. Ada beberapa ahli yang mengaitkan kekacauan cuaca di Eropa ini dengan gejala green house effect, alias kenaikan suhu akibat menebalnya lapisan gas karbon dioksida (CO2) di udara. Jutaan mobil di Eropa memang menghasilkan gas CO2 dari knalpotnya, dan gas ini memang mempunyai sifat meneruskan sinar matahari, tapi menahan panas pantulan bumi. Namun, pendapat ini dibantah oleh para pakar stasiun cuaca di Eropa. "Indikator yang bisa menunjang pendapat ini agak lemah," kata Dr. Trevor Davies, Direktur pada Unit Riset Cuaca di Universitas East Anglia, Inggris. Sayangnya, Trevor, seperti banyak ahli cuaca Eropa lainnva, tak bisa memberikan jawaban alternatif. Maklum, menganalisa cuaca bukanlah pekerjaan mudah, kendati dibantu peralatan yang paling canggih sekalipun. B.H.M.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini