Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah-rumah panggung di Kampung Naga, Sukabumi, Jawa Barat, itu memang istimewa. Tegak, 60-80 sentimeter dari permukaan tanah, bangunan-bangunan itu ternyata tak ikut roboh bersama ratusan rumah batu tatkala bumi Tasikmalaya digoyang lindu 7,3 skala Richter pada September 2009.
Adat turun-temurunlah yang mengharuskan warga di Kampung Naga tinggal di rumah panggung, dengan bahan bambu dan kayu. Atap rumah disusun dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, sedangkan lantainya terbuat dari bambu atau papan kayu. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasak.
Kampung Naga terletak di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Jaraknya tak lebih dari 30 kilometer dari pusat kota. Perkampungan ini tak jauh dari jalan yang menghubungkan Kabupaten Tasikmalaya dengan Kabupaten Garut. Di Naga, semua bangunan identik. Mulai bahan, bentuk, hingga arah menghadapnya seragam. Menurut kepercayaan orang kampung, keteraturan itu merupakan norma adat yang harus dipatuhi. Jika melanggar, pamali (kualat).
Menurut Sugeng Triyadi, arsitek dari Institut Teknologi Bandung, kuncian bangunan tradisional biasanya terletak pada fondasi yang lentur. Dari hasil risetnya, fondasi terbuat dari batu kali yang menopang tiang tanpa direkatkan bahan lain, menjaga rumah tidak roboh. Bangunan memang terguncang, tapi tumpuannya menyesuaikan dengan arah guncangan. Selain itu, atap rumah berupa bahan alami berdampak sangat minim, sehingga bebannya terhadap konstruksi rumah sangat kecil.
"Walau gempa hingga 7,8 skala Richter atau lebih, saya yakin bangunan itu masih bertahan," kata Sugeng kepada Tempo pekan lalu.
Dalam penyusunan konstruksi rumah, sambungan satu tiang dengan tiang lain tidak menggunakan paku atau material logam lainnya, melainkan material yang sudah ada di alam, seperti tali ijuk ataupun paseuk (patok yang terbuat dari bambu) atau disebut sistem ikat dan paseuk. Paku atau material logam lainnya sebenarnya tidak tabu digunakan, tapi barang tersebut akan menambah beban, sehingga menjadi berat. Sederhana memang, tapi itu menggambarkan masyarakat Sunda yang sederhana dan mudah beradaptasi.
"Secara umum, konsep dasar rancangan arsitekturnya menyatu dengan alam," kata Sugeng. Dengan demikian, masyarakat Sunda berharap alam akan ramah kepada mereka. Di Jawa Barat, Kampung Naga mungkin bukan satu-satunya daerah yang menerapkan konsep bangunan ramah bencana. Namun, belakangan ini, konsep bangunan rumah tradisional di sana mulai dijadikan acuan oleh beberapa daerah.
Di Tasikmalaya, desa tetangga Naga, yakni Desa Jayapura, Kecamatan Cigalontang, kini punya sejumlah bangunan baru yang mengadopsi bangunan ala Sunda tradisional Kampung Naga, di antaranya bangunan balai desa, Sekolah Dasar Negeri Singajaya, dan Bale Pinter—tempat hiburan warga.
Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Trisnapanji Wai, mengatakan adopsi konstruksi bangunan rumah Kampung Naga di Desa Jayapura bertujuan tidak hanya untuk membuat model rumah hijau yang ramah gempa, tapi juga untuk membangkitkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya nilai-nilai bersatu dengan alam. "Peka bencana lewat kearifan lokal Sunda," ujarnya.
Sandy Indra Pratama, Anwar Siswadi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo