Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Monster di Negeri Para Dewa

Gempa di Cisarua tiga bulan lalu meyakinkan peneliti bahwa Sesar Lembang di utara Bandung aktif. Mengancam lebih dari tiga juta jiwa sampai ke Bandung selatan.

14 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI bukan pengibulan untuk nakut-nakutin bocah: ada monster bersemayam di bawah bukit dan tebing batu itu. Terbentang sepanjang 22 kilometer dari Cisarua di barat melewati Lembang, Cihideung, sampai Gunung Palasari di timur. Ahli ilmu bumi menyebut barisan bukit itu Sesar Lembang. Asalkan cuaca cerah, menghadap ke selatan, sesar ini terlihat jelas dari puncak Tangkuban Parahu.

Karena menghalangi pemandangan dari utara ke Bandung di selatan, penduduk setempat menyebutnya Gunung Halang—tingginya bervariasi antara 450 meter dari tanah di Gunung Palasari dan 40-an meter di Cisarua. Hijau menyejukkan mata, seperti kawasan perbukitan lain di bumi Parahyangan.

Dari balik keindahan alam itu, si monster mengancam negeri para dewa. Lupakan naga atau godzila, karena sumber ancaman ini tidak berbentuk tapi mampu meratakan semua yang dibangun manusia dalam sekejap: gempa. "Potensinya enam sampai tujuh magnitudo," ujar I Wayan Sengara, peneliti gempa dari Institut Teknologi Bandung, kepada Tempo, dua pekan lalu. Magnitudo merupakan satuan pengukur kekuatan gempa yang setara dengan skala Richter. Gempa di Yogyakarta yang menewaskan lebih dari 6.000 orang lima tahun lalu berkekuatan 6,2 skala Richter.

Semua ini berdasarkan bukti ilmiah bahwa sesar atau patahan bisa memicu gempa. Di Lembang, sumber patahan tergolong dangkal, di kedalaman 20 sampai 30 kilometer. Menurut anggota Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Awang Harun Satyana, sesar adalah retakan pada lempeng kerak bumi yang bergeser. Lempeng bisa bergeser karena terapung di atas batuan yang liat dan cair. Mantle, sebutan untuk batuan itu, berada di kedalaman 6.370 kilometer dari permukaan bumi.

Lempeng bisa diibaratkan dua sandal jepit yang terapung di air.  Dempetkan, lalu keduanya ditekan dari arah berlawanan. Pada titik temunya akan terjadi patahan, satu bergerak naik dan lainnya turun.  Nah, pada Sesar Lembang, dorongan berasal dari Lempeng Indo Australia di selatan dan tertahan Lempeng Eurasia di utara. Bagian yang terangkat adalah blok selatan yang meliputi kawasan Bandung utara sampai Dago. Sedangkan blok utara, meliputi kawasan lembah Lembang, cenderung turun. Bergerak dengan kecepatan dua milimeter per tahun. "Patahan adalah zona terlemah di kerak bumi," ujar Awang.

Planet kita memiliki catatan suram tentang sesar. Pada 28 Juli 1976, patahan di Thangsan, Cina, memicu lindu yang menewaskan 240 ribu orang. Lalu ada gempa di Iran pada 1990 yang menelan 40 ribu jiwa.  Geliat sesar juga menelan 25 ribu korban di Armenia pada 1998.  Terakhir, gempa di Yogyakarta, 27 Mei 2006. Episentrum di pantai selatan mengaktifkan Sesar Opak, menghancurkan hampir semua bangunan dari Bantul sampai kawasan Candi Prambanan di Klaten, Jawa Tengah, yang berjarak sekitar 40 kilometer.

Lindu 3,3 magnitudo yang mengguncang Cisarua, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, 28 Agustus lalu, membuat para peneliti hakulyakin, Sesar Lembang tidak sedang tidur. Peneliti Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bandung, Eko Yulianto, mengatakan bahwa titik gempa berasal dari barisan Gunung Halang. Melengkapi rangkaian aktivitas sebelumnya, yaitu 6,7 magnitudo yang terjadi 2.000 tahun lalu dan 6,1 magnitudo 500 tahun silam. "Jika pernah terjadi gempa, akan berulang," kata doktor jebolan Universitas Hokkaido, Jepang, ini. Namun dia tidak bisa memastikan gempa mampir di sana saban 1.500 tahun.

Yang jelas, geliat Sesar Lembang bakal berpengaruh pada tiga juta penduduk Bandung dan kota-kota sekitarnya. Tim gabungan ITB dan Pusat Survei Geologi menyatakan daerah terkena dampak paling parah—mudah ditebak—ya, Lembang. Gempa kecil pada Agustus lalu, yang cuma berlangsung tiga detik, cukup untuk merusak 108 rumah.  Padahal di sana terletak Bosscha, observatorium terbesar Indonesia.  Bangunan ini berdiri sejak 1923 tepat di garis patahan. Di Lembang juga ada sederet kompleks militer, seperti Sekolah Komando Angkatan Udara, Markas Detasemen Kavaleri, dan Sekolah Pimpinan Kepolisian.

Dampak juga merambat ke tepi cekungan Bandung sampai radius lima kilometer dari patahan. Teorinya, kata anggota tim, I Wayan Sengara, semakin jauh dari pusat gempa, getaran kian berkurang.  Namun tanah di cekungan Bandung, yang di masa purba merupakan danau, tersusun dari lapisan batuan muda dan membuat perbesaran getaran. Sengara dan kawan-kawan mencatat: Bandung selatan bakal bergoyang hebat jika ada lindu, bahkan melebihi bagian utara yang lebih dekat ke sumber gempa. Sebab, di bagian selatan cekungan itulah danau purba dulunya berlokasi. Daerah dengan potensi kerusakan hebat ada di Jalan By-Pass Soekarno-Hatta, Gedebage, Jalan Kopo, Buah Batu, Cibiru, sampai ke wilayah Kabupaten Bandung.

Berdasarkan data bangunan, tim juga meramal potensi kerusakan. Di ibu kota Jawa Barat itu, kerawanan gempa tertinggi berada di wilayah tengah sampai selatan, dan barat, dengan potensi kerusakan bangunan hampir 100 persen. Di bagian tengah kota ke timur, selatan, dan barat, gempa diperkirakan bisa merusak bangunan sampai 80 persen. Adapun prediksi kerusakan bangunan di Bandung utara berkisar 50 sampai 70 persen. Potensi kerusakan serupa berlaku pada jalan, saluran telekomunikasi, jaringan pipa dan sumber air, serta listrik.  "Ada monster mengerikan, dan harus bersiaga dari sekarang," kata Eko.

Sayang, baru segelintir orang yang sadar akan bahaya Sesar Lembang. Kebanyakan penduduk menganggap sesar ini sebagai kependekan dari "Jalan Sersan Bajuri di Lembang" atau "Pasar Lembang".  "Saya baru tahu sekarang, jadi harus bagaimana sebaiknya?" kata Kepala Sekolah Dasar Negeri Pancasila, Akhmad Sopandi, kepada Tempo awal bulan ini. Sesar Lembang berbatasan langsung dengan tembok belakang sekolah 610 murid yang berlokasi di Jalan Peneropongan Bintang itu. Di jalan itu juga berlokasi SD Merdeka, yang memiliki 294 murid.

Kebingungan Akhmad sedikit terobati. Siang itu datang tiga petugas dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Barat untuk mengajarkan cara menyelamatkan diri pada saat gempa. Misalnya melindungi kepala dengan tas, berlindung di kolong meja, lari ke sudut ruangan sambil menjauhi jendela, atau keluar dan berkumpul di lapangan sekolah. "Ini pertama kali ada pelatihan gempa di sekolah kami," ujarnya.

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Jawa Barat Udjwalprana Sigit mengatakan pemerintah tidak bisa merelokasi penduduk dari zona bahaya. Hal yang bisa mereka lakukan sebatas memberi pemahaman akan bahaya yang mengintai dari Gunung Halang.  Sosialisasi dilakukan sejak awal bulan ini di sepuluh desa di dekat patahan, dari Cikahuripan, Jayagiri, Cibodas, sampai Cikole. Warga di sana dijejali berbagai materi, seperti cara evakuasi dan mendirikan dapur umum. "Setiap bencana pasti ada jalan keluarnya," katanya.

Reza Maulana, Untung Widyanto, Anwar Siswadi (Bandung)


Sesar di Sana, Patahan di Sini

Sesar Lembang bukan pelaku tunggal penebar teror di Jawa Barat. Ada juga Patahan Cimandiri, yang terbentang dari Cianjur, Sukabumi, sampai Pelabuhan Ratu, dengan tinggi rata-rata 15 meter dari tanah.  Peneliti dari Pusat Survei Geologi, Engkon Kertapati, menghitung kecepatan gerak sesar ini 0,6 sampai 1,4 milimeter per tahun. Terjadi tiga kali gempa di sana, yaitu di Cianjur pada 1844, Rajamandala 1910, dan Cimandiri 1982.

Perhitungan berbeda dikemukakan peneliti Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano. Ahli pemodelan gempa bumi dan deformasi permukaan bumi ini menghitung kecepatan gerak Sesar Cimandiri jauh lebih besar, yaitu 4 milimeter per tahun. Potensi kekuatan gempa pun jadi lebih besar, 7,2 magnitudo.  “Tapi, karena di daerah sepi penduduk, kurang mendapat perhatian,” ujarnya.

Ada Patahan Baribis, yang berbaris melengkung putus-putus dari barat ke selatan. Meski belum diakui sebagai ancaman, Engkon mewanti-wanti warga sekitar agar tidak lengah. Sebab, tercatat lima kali gempa di patahan itu, yaitu Cirebon pada 1853, Karawang 1862, Kuningan 1875, Sumedang 1972, dan Majalengka 1991.

Anwar Siswadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus