Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Secangkir Teh, Sepotong Puisi dalam Video

Di pameran Krisna dan Hanna, puisi dan teknologi bertemu, melahirkan secangkir teh atau kata-kata yang merayap, menegur kita dengan hati.

14 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah meja, sebuah kursi, sebuah jambangan dengan beberapa ekor ikan hias, sebuah foto batang kayu bercabang-cabang. Benda-benda sehari-hari yang tidak aneh, akrab dengan kita. Sekalipun ada hal lain pada benda-benda itu, ternyata rasa akrab tersebut tak terusir.

Memang sejenak kita "not responding"—meminjam istilah Windows—melihat kaca meja yang penuh tulisan dan salah satu kakinya adalah tumpukan buku. Atau di dasar jambangan ternyata ada sebuah monitor kecil dengan gambar perempuan dan terdengar ia mengucapkan bait-bait puisi. Namun, begitu "program" jalan lagi, bukannya hilang, keakraban itu malah terasa lebih segar.

Itulah pameran Poet Shop, Toko Penyair, kolaborasi antara seniman video, Krisna Murti, dan Hanna Fransisca, penyair, di Galeri Langgeng, Jakarta Art District, hingga 20 November ini. Sebuah pameran yang santai, dan ruang yang diatur serupa sebuah toko. Mungkin pengaturan inilah—bersama karya-karya yang dipamerkan—yang menciptakan rasa akrab berada di galeri ini.

Rupanya Krisna, salah seorang yang memulai seni video pertama di Indonesia, tak henti-hentinya menjelajahi kemungkinan-kemungkinan seni video. Ia pernah membuat satu kamar bersuasana laut hanya dengan sorotan gambar ombak ke salah satu tembok, dan di tengah kamar ia taruh kursi malas yang panjang. Ia pun merekam nasib kelompok wayang orang yang tak lagi menjadi primadona hiburan berkualitas di Jawa Tengah dan menyuguhkannya dalam pameran seni video dengan potret-potret tokoh wayang yang gagah tapi kemudian bergetar dan hancur berkeping, kemudian hanya senyap dan layar yang kosong. Atau ia susun sedemikian rupa wawancaranya dengan sejumlah tenaga kerja wanita Indonesia di Singapura, dan kita pun memperoleh tak sekadar gambaran nasib mereka, tapi juga "dipaksa" ikut merenungkan apa arti "hidup" ini.

Kini ia tak lagi "berkomentar sosial", tidak mengajak kita berpikir tentang yang "berat-berat". Ia mengajak kita ke sebuah "rumah" (home), untuk santai menikmati puisi, ikan yang berenang-renang, atau mengeja huruf-huruf yang merayap sepanjang batang, cabang, dan ranting sebuah pokok pohon. Juga mengeja kata-kata yang "menempel" pada sandaran kursi dan mencuat di tempat duduk kursi besi merah yang hanya kerangka itu.

Atau pamerannya kali ini justru sebuah "komentar sosial" yang telak, ketika Krisna seperti menolak suasana kota yang bising dengan hutan beton dan besi, dengan segala permasalahannya?

Ini mengingatkan kita ketika orang-orang capek dan buntu dalam hiruk-pikuk "perjuangan", lalu merindukan suasana memotong kuku di beranda sehabis mandi pagi. Suatu "sentuhan personal" yang "mengembalikan (kita) kepada hati" setelah haru-biru "intervensi mesin media" yang membuat "realitas industrial" menjadi "realitas sebenarnya".

Dan itu ditemukan Krisna pada puisi. Lebih spesifik lagi pada puisi-puisi Hanna Fransisca yang berkisah tentang makanan dan memasak—sebagai metafora, menurut Krisna, "Keteguhan dan cinta kasih serta kecintaan pada Tanah Air."

Di ruang pameran ini kita lupa mempersoalkan antara seni dan bukan seni, antara yang kontemporer dan kuno, dan sebagainya. Di ruang ini, kita menemukan kita yang sendiri, berbicara dengan ikan, air, ombak, dan puisi.

Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus