Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Siapa pun yang menjalani proses pemulihan pascaoperasi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, akan disodori selembar kertas. Di atasnya ada enam emoticon—ikon emosi yang biasa digunakan untuk chatting di Internet. Warnanya juga kuning. Ekspresi wajahnya pun beragam, mulai yang tersenyum sampai meringis kesakitan dengan bibir tertekuk-tekuk.
Ini bukan emoticon biasa. Itu adalah skala nyeri. Para dokter menggunakannya untuk mengetahui tingkat kenyerian yang diderita pasien setelah operasi. Jika pasien menunjuk wajah yang tersenyum lebar, artinya dia tidak merasakan nyeri. Jika yang ditunjuk adalah wajah sedih dengan bibir tertekuk ke bawah, artinya si pasien merasakan nyeri berat. Kalau ingin lebih spesifik, pasien bisa menunjuk angka nol (tak nyeri) sampai 10 (teramat nyeri).
Hanifah, 54 tahun, adalah salah seorang pasien di RSCM yang disodori lembaran itu. Pekan lalu, ia menjalani operasi tumor kista ovarium ganas. Dua hari setelah operasi, dia merasakan nyeri. "Tadi enggak nyeri, Dok, sekarang malah ada nyerinya," kata dia. Jari telunjuk kanannya lalu menunjuk nomor 2, yang di bawahnya terdapat wajah sedikit tersenyum. Itu berarti nyeri yang dirasakan Hanifah tergolong ringan.
Dokter Aida Rosita Tantri, spesialis anestesi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, yang mengunjungi Hanifah di kamar 218 Gedung A RSCM, Selasa pekan lalu, mengangguk-angguk. "Obatnya sudah mulai berkurang pengaruhnya, nanti akan ditambah, ya," kata Aida, pengelola Divisi Anestesi Regional dan Manajemen Nyeri, Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI-RSCM.
Menurut Aida, skala nyeri tersebut berlaku secara global dan dipakai sebagai salah satu standar layanan rumah sakit oleh lembaga akreditasi Joint Commission International. Penilaian rasa nyeri penting karena banyak pasien pascaoperasi yang merasakan nyeri tapi tidak mendapat pengobatan yang tepat. Penyebabnya sederhana, pasien tidak bisa menggambarkan tingkat kenyeriannya dengan tepat. Dengan skala nyeri, masalah itu diharapkan bisa diatasi.
"Skala itu membantu pasien yang semula mengutarakan rasa nyerinya secara subyektif menjadi lebih obyektif," kata Aida. Misalnya, tanpa skala nyeri, pasien bisa saja menyatakan nyerinya lumayan, dan dokter bisa kelimpungan menerjemahkan pernyataan itu. Tolok ukur lumayan itu seperti apa? Walhasil, bisa-bisa, pengobatan yang tepat juga akan lebih sulit. Berbeda halnya jika pasien menunjuk skala, sehingga dokter lebih gampang menentukan tindakan yang perlu diambil, apakah perlu dengan menambah dosis obat atau melakukan terapi tanpa obat seperti kompres, mengatur posisi pasien agar nyaman, dan sebagainya.
Identifikasi kenyerian yang tepat ini penting karena jumlah pasien yang mengalami nyeri setelah operasi tidak sedikit. Menurut jurnal Modern Medicine yang terbit pada Juli 2004, jumlahnya lebih dari 75 persen. Hasil survei yang dilakukan di RSCM pada 2003 menyatakan sekitar 60 persen pasien pascaoperasi mengalami nyeri sedang hingga berat.
Padahal seharusnya, setelah dioperasi, pasien bisa segera bebas dari rasa nyeri. "Terbebas dari rasa nyeri pascaoperasi adalah hak setiap pasien," kata dr Susilo Chandra, Kepala Departemen Anestesiologi FKUI-RSCM, yang mendukung upaya Aida dengan skala nyerinya itu. Selama ini memang terjadi salah kaprah di masyarakat. Ada anggapan bahwa wajar timbul rasa nyeri, namanya juga sehabis operasi. Padahal, dalam pengobatan mutakhir, nyeri pascaoperasi tidak boleh terjadi. Bahkan nyeri diharapkan tak lagi muncul saat pemasangan jarum infus atau pengambilan darah. "Ini tantangan buat kami," kata Susilo.
Nyeri pascaoperasi bukan hanya tidak boleh terjadi. Kondisi seperti itu bahkan memiliki banyak implikasi, seperti memicu terjadinya komplikasi, membuat masa perawatan pasien lebih lama—sehingga biaya menjadi lebih besar atau membuat pasien menderita nyeri kronis.
Kemunculan nyeri kronis menjadi penanda kurang baiknya penanganan nyeri pascaoperasi. Rasa nyeri berlangsung terus sehingga saraf semakin sensitif. Buntutnya, rasa nyeri pun semakin hebat dan sangat mengganggu. Sampai-sampai, menurut Profesor Darto Satoto, ahli anestesi senior FKUI-RSCM, ada pasien yang berbulan-bulan tak bisa tidur nyenyak saking nyerinya.
Itu sebabnya, mulai 2003, Aida dan kawan-kawan bertekad menurunkan derajat nyeri yang dialami pasien pascaoperasi. Agar rasa nyeri bisa diatasi, langkah awal yang harus dilakukan adalah menentukan tingkat kenyerian dengan tepat. Sejak saat itu, saban tahun, sekitar 1.100 pasien pascaoperasi dipantau dan disodori skala nyeri sehingga cepat diketahui derajat nyeri yang mereka alami.
Langkah itu berdampak positif. Setelah hampir delapan tahun berjalan, evaluasi yang dilakukan dua bulan lalu menunjukkan 90 persen pasien pascabedah mengaku hanya mengalami nyeri ringan. Itu artinya penanganan dan pengobatan yang diberikan tim medis sudah tepat dan memuaskan pasien. "Itu perubahan yang sangat signifikan," kata Aida.
Kalaupun ada pasien yang nyerinya sangat hebat, sehingga ia menyebut derajatnya mencapai 11, angka yang tidak ada dalam skala, Aida dan timnya akan memberi penanganan secara cepat dan tepat. Pada skala 6, apalagi lebih dari itu, ia akan memberikan pengobatan secara agresif. Obat segera disuntikkan ke pembuluh darah vena sehingga nyerinya bisa secepatnya hilang. Dalam skala nyeri yang besar, pengobatan dengan morfin kerap dipilih karena sangat efektif dan tanpa efek samping.
Keberhasilan penggunaan skala nyeri pada pasien pascaoperasi membuat Aida dan kawan-kawan ingin menerapkannya pada semua pasien. Instalasi Gawat Darurat adalah unit awal yang akan digarap. Rencana itu mengalami percepatan dan mulai dilakukan bulan ini lantaran RSCM tengah menjalani audit untuk mendapatkan akreditasi dari Joint Commission International. "Lembaga ini mewajibkan pengukuran nyeri pada pasien," kata Aida, "Rumah-rumah sakit di Amerika menerapkan pengukuran serupa."
Dengan pemakaian skala nyeri, manajemen rumah sakit ini telah menjadikan nyeri sebagai tanda vital kelima bagi pasien yang datang, selain suhu, tekanan darah, denyut nadi, dan pernapasan. Meski penggunaan skala ini terbilang gampang dan murah, belum banyak rumah sakit lain yang menerapkannya. "Indonesia memang ketinggalan menggarap pentingnya kesadaran mengukur nyeri," kata Aida,
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo