PERNAH merasakan salak bali? Kini salak yang bernama keren Salacca edulis itu terancam hama. Ini, kata peneliti Universitas Udayana Ir. I Made Garuh Adipura, termasuk kejadian langka. Maka, biarpun yang diketahui baru menyerang 300 pucuk pohon, Garuh merasaperlu menyampaikannya dalam Seminar Kontak Tani se-Bali, Rabu pekan lalu. "Jika salak ini sampai ambles, wah...," keluh Dewa Suprapto. Bagi orang Bali bukan soal renyah dan manisnya rasa salak itu saja yang dipersoalkan. Tapi bisa juga harga diri. Karena lewat salak enak ini tersangkut nama Bali. Pada tahun ini, populasi di daerah pusatnya Kabupaten Karangasem -- tercatat lebih dari 6,1 juta pohon. Sedang produksinya dalam setahun sekitar 19,3 ton, yang sebagian besar di antaranya diantarpulaukan. Tak terlalu banyak memang. Tapi bagi Pan Kanta, seorang petani salak di Desa Tihingan, Karangasem, hama salak adalah bencana. Ia melihat pucuk sejumlah pohon salak miliknya layu. "Saya klra kekurangan air," ujarnya. Pan Kanta pun mengambil air, dan menyiramnya. Tapi, "kok" tetap saja layu. Ia lalu melapor ke petugas setempat. Layunya daun salak bali makin menjadi masalah, sewaktu Dr. Achmad Soedarsan mengemukakannya di Departemen Pertanian, Juni lalu. Ia adalah Direktur Balai Penelitian Perkebunan (BPP) Bogor, yang sekaligus sebagai Ketua Komisi Pelestarian Plasma Nutfah. Soedarsan memang habis mengunjungi Bali. Komisinya bermaksud membuat plasma nutfah salak bali, untuk pengembangbiakan tanaman itu agar keaslian jenisnya terjaga. Tapi, "wah kok sudah mulai sakit." Padahal, ada keunikan jenis salak itu: tanpa pohon salak pejantan, tetap saja berbuah. Penelitian lalu dilakukan. I Made Garuh Adipura, mencatat semua gejala. Daun tergulung layu. Pelepah melengkung ke bawah. Akar berubah warna, kehitaman, lalu membusuk. Akhirnya mati. Tapi ketika itu ia belum tahu apa yang menyebabkannya. Mungkinkah jamur, bakteri, virus, atau cacing. Penelitian dilanjutkan di laboratorium, dengan memakai akar pohon yang terserang tanah sekitarnya sebagai bahan. Hasilnya ada cacing selebar 0,3 mm dengan panjang 2 mm, dengan jumlah yang sedikit. Kata Garuh, itu cacing jenis nematoda yang dinamai "Meloedogync sp." Sedang pada akar, didapakan cendawan "fusarium" dan bakteri "corynebacterium". Melihat gejala dan temuan yang ada, Garus menyimpulkan sementara: perusak pertama adalah cacing. Cacing itu melukai akar salak. Yakni dari kulit luar akar hingga menembus empulur. Setelah akar tanaman salak luka, barulah datang serangan dari cendawan dan bakteri. Gejala "senergeniks", kombinasi tiga serangan secara bersamaan, itu membusukkan akar. Akibatnya, tanaman yang terserang menjadi layu dan mati. Ini memang baru analisa. "Perlu penelitian lebih lanjut," kata Garuh. Yakni dengan mengisolasi dan menginokulasikan sample penyakit itu. Dari situ, menurut Garuh, akan diperoleh reaksi-reaksi yang mengarah pada ditemukannya penyebab primer secara pasti. Tapi ini belum. Serangan penyakit misterius di Tiyingan, Telaga, dan Sibetan, tiga daerah di Bali, mengundang Balai Penelitian Hortikultura Lembang, Bandung, untuk ikut meneliti Juni lalu. Hasilnya, diperoleh fakta bahwa secara visual tanaman salak kurang subur. Tapi tidak ditemukan gejala penyakit layu berat, klorosis berat, ataupun mati. Tanaman yang dicurigai kena penyakit ternyata hanya layu ringan. A. Widjaja W. Hadisoeganda, dari balai penelitian Lembang, dalam kesimpulannya menyatakan bahwa meskipun ditemukan jenis-jenis nematoda dan cendawan patogenik pada tanah dan akar tanaman salak, "Peranan kedua jenis patogen pada kemunduran pertumbuhan tanaman salak belum diketahui." Untuk itu, perlu dilihat pertumbuhan tanaman dan intensitas pembuktian patogenitas dan penelitian cara pengendaliannya yang paling cocok. Tanaman yang selama ini dicurigai sakit hendaknya diberi nematisida sistemik yang daya pengendaliannya tinggi tapi residunya di dalam buah salak rendah. Pendek kata, para peneliti mengkhawatirkan tentang kemungkinan menyebarnya penyakit itu. Penyakit CVPD pada jeruk, misalnya, yang terjadi pada 1972, baru menjalar dan menghanguskan 6 juta pohon jeruk sepuluh tahun kemudian. Dulu, penyakit itu dikira tidak ganas. "Nah, hal yang serupa apa tak akan terjadi pada salak ?" ucap W. Suwiga, Kepala Subdinas Hortikultura, Dinas Pertanian Bali. Salak bali terbanyak diperoleh dari Kabupaten Karangasem yang kini memiliki 6,1 juta pohon dan selama ini menghasilkan salak 19.300 ton salak per tahun. Boleh dibilang hanya di daerah ini salak yang enak itu tumbuh. Kalaupun terdapat di tempat lain, rasanya tak seenak salak dari wilayah yang terletak ujung sebelah timur Bali itu. Nah, secara temporal, untuk mencegah pembengkakan penyakit, pihak Garuh mengajukan jalan agar diberikan nematisida fumigandi seputar akar, juga dimasukkan furadan G 3 antara 10 dan 15 gram pada tiap pohon. Lebih dari itu, agar dilakukan reinokulasi patogen terhadap tanaman salak yang sehat. Sebab, dari situ juga akan dapat diketahui penyebab primernya lebih pasti. Dr. Sri Setijati Harjadi, Ketua Perhimpunan Hortikultura, melihat salak bali di atas kemungkinan besar hanya kekurangan hara. "Terus terang, saya meragukan kalau disebut penyebab primernya nematoda," katanya. Yang namanya cacing nematoda itu mesti dilihat dengan ukuran mikron. Kalau dipakai ukuran milimeter, "Itu, sih, cacing kremi," kata guru besar hortikultura IPB itu sambil tertawa. Tapi, kalau toh benar ditemukan cacing nematoda, cara pencegahannya, kata Sri Setijati, adalah isolasi. Daerah-daerah yang terkena penyakit itu perlu dilokalisasikan, dikelilingi dengan, misalnya, nematisida atau methyl bromida. Atau dengan basamix G yang dicampur tanah dan ditutupi plastik. "Tapi itu hanya cara mencegah, dan bukan mengobati," katanya, tandas. Agus Basri, Tri Budianto Soekarno (Jakarta), dan I Nengah Wedja (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini