Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tibet: sebelum riak jadi gelombang

Warga tibet dan sejumlah pendeta berdemonstrasi ke jalan-jalan, menuntut kemerdekaan. puluhan orang termasuk pendeta tewas. dalai lama yang tersingkir ke as dituding sebagai penyebab kerusuhan.

24 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI jantung Asia, di ketinggian yang selalu diumpamakan sebagai atap dunia, sebuah negeri yang sangat tenang tiba-tiba tergetar. Setelah tiga dasawarsa hidup damai tapi gersang karena penindasan -- pendeta Budha meninggalkan kuil mereka. Dunia pun untuk sekejap tercengang melihat pendeta bangkit dan melawan. Bukan karena Dalai Lama menginstruksikan makar itu dari Amerika Serikat -- lewat pidatonya di depan Kongres AS dan Majelis Umum PBB -- tapi karena penguasa Cina menembak mati dua warga Tibet sebagai jawaban untuk imbauan itu. Hukum tembak yang semula dimaksudkan sebagai upaya menakut-nakuti justru menyulut amarah orang. Kini masanya kundeta turun ke jalan, melempar batu, dan membalas kekerasan dengan kekerasan. Belasan orang tewas -- termasuk seorang kanak-kanak dan remaja yang terakhir ini lehernya ancur ditembus peluru. Lebih dari seratus yang cedera dan sekitar 50 lainnya ditahan. Jumlah yang tidak seberapa menurut ukuran Cina, tapi merusakkan citra kelompok reformis Beijing. Sumber resmi mengatakan, ada demonstran merebut senjata polisi dan menembakkannya ke alat negara, namun turis Barat bercerita lain. Mereka melihat sekitar 50 petugas keamanan dengan senjata otomatis, siap ditembakkan ke arah kerumunan orang yang berkumpul di sekitar kuil suci Jokhang. Puncak protes terjadi Kamis, namun hari Sabtu, 10 Oktober 1987, bermunculan poster-poster di Kota Lhasa. "Dua puluh orang tewas dan banyak lagi yang menyusul. Ayo kita raih kesempatan ini. Hei, orang-orang Cina, kembalilah ke negeri asalmu!" begitu tulisan di poster, yang dijawab Beijing dengan pemberlakuan jam malam di Lhasa. Banyak polisi yang berusia belasan tahun terguncang sekali menyaksikan apa yang terjadi. Mungkin karena itu juga seorang polisi begitu saja menembak mati seorang pendeta di pos polisi, tak jauh dari kuil Jokhang. Massa marah dan membakar pos polisi. Akibatnya, semua kuil ditutup, jalan keluar-masuk Lhasa diblokir tentara. Hanya jalan ke bandara udara dibiarkan terbuka, itu pun untuk turis yang dalam 10 hari sudah harus angkat kaki dari sana. Cina bertindak bukan karena 31 pendeta turun ke jalan, tapi sebab mereka berjuang untuk kemerdekaan. Lebih dari itu, karena 500 -- 600 orang tanpa dikomando, ikut ambil bagian. Pada mulanya memang hanya riak, tapi Cina harus bertindak sebelum riak berubah jadi gelombang. Mungkin sekali Tibet adalah negeri yang diimpikan Budha Gautama dulu kala: damai, terpencil, teduh, tanpa godaan, tanpa kekerasan. Di sana agama Budha tumbuh subur, menyatu dengan rakyat dan negara. Umat Budha di Jawa menciptakan Borobudur, sedang umat Budha di Tibet menciptakan sebuah teokrasi. Dalai Lama adalah pelembagaan teokrasi itu, dialah pemimpin agama sekaligus negara. Di mata Cina, tokoh suci ini melambangkan feodalisme yang paling memuakkan. Dia dimandikan oleh para pendeta bawahannya, -- hanya dengan telentang di atas meja -- satu upacara yang di mata Beijing sangat tidak masuk akal. Dalai Lama kemudian disingkirkan dari Lhasa, bertahun hidup di pengasingan, namun dituding sebagai penyebab kerusuhan di Tibet.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus