Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Warga Ternate Utara memanen air hujan sejak 2015 karena kekeringan dan sumber air andalan terintrusi air laut.
Di Bandung, inisiatif memanen air hujan sudah berlangsung lebih maju.
Memerlukan peran pemerintah daerah untuk meregulasi pengelolaan air hujan agar dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber air bersih.
ZULKIFLI terlihat serius mengawasi pekerja menggali lubang berukuran 2 x 2 x 1,5 meter untuk menabung air hujan di halaman belakang rumahnya. Pagi itu, peraih Penghargaan Kalpataru 2022 kategori Pengabdi Lingkungan ini hendak memastikan penggalian lubang untuk instalasi pemanfaatan air hujan alias IPAH tersebut selesai sebelum musim hujan datang. "Kami butuh banyak lubang resapan untuk kebutuhan air bawah tanah," kata pria 48 tahun itu, Selasa, 28 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IPAH yang sedang dibangun itu adalah yang kedua di rumah Zulkifli di Kelurahan Koloncucu, Kecamatan Ternate Utara, Kota Ternate, Maluku Utara. Tujuh tahun silam, Zulkifli sudah membangun IPAH di samping rumahnya. Itu IPAH kedua yang dibangun Zulkifli setelah yang pertama selesai didirikan di kantor Kecamatan Ternate Utara di Jalan Batu Angus, Kelurahan Dufa Dufa, yang menjadi percontohan dalam program Gerakan Menabung dan Memanen Air Hujan Kecamatan Kota Ternate Utara atau Gemma Camtara yang ia gagas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zulkifli, yang menjabat Camat Ternate Utara 2013-2021, menggagas Gemma Camtara karena Kota Ternate mengalami krisis air bersih pada 2015. Saat itu Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Air Minum Ake Gaale—sebelumnya bernama Perusahaan Daerah Air Minum Ternate—mengalami defisit air. Penyebabnya, mata air Ake Gaale sebagai salah satu sumber air baku perusahaan tersebut tidak bisa memasok air karena mengalami intrusi air laut. Jarak antara mata air Ake Gaale dan Pantai Sangaji hanya 300 meter.
Sudah lama air tanah menjadi andalan warga Kota Ternate untuk kebutuhan air bersih. Selain berasal dari mata air Ake Gaale, air baku Perumda Ake Gaale dipasok dari dua sumur dangkal, tiga sumur dangkal-dalam, dan dua danau (Laguna dan Tolire) yang berada di tiga kecamatan. "Kondisi ini berlangsung selama puluhan tahun sehingga tak mengherankan Ternate bagian utara mengalami krisis air," tutur Zulkifli, yang kini menjadi anggota staf analis keuangan di Sekretariat Daerah Pemerintah Kota Ternate.
Zulkifli memberikan ilustrasi ihwal krisis air Kota Ternate. Menurut data Badan Pusat Statistik Kota Ternate, tiap orang mengkonsumsi air sebanyak 90-120 liter per hari. Sedangkan Perumda Ake Gaale hanya menyalurkan 2,7 juta liter bagi sekitar 28.505 pelanggannya. Untuk memenuhi permintaan itu, Perumda meningkatkan produksi dari 100 meter kubik per detik menjadi 140 meter kubik per detik. Akibatnya, air tanah terkuras dan berganti dengan air asin.
Zulkifli mengungkapkan, kondisi tersebut yang membuat ia makin serius menggalakkan Gemma Camtara. Ia optimistis air hujan dapat menjadi solusi karena jumlah hari hujan di Ternate per tahun rata-rata 226 hari dengan jumlah curah hujan rata-rata 187 milimeter per bulan. "Kondisi ini seharusnya tidak membuat Ternate krisis air," ujar Zulkifli, yang sudah membangun setidaknya 130 IPAH di tujuh kecamatan dan empat pulau di Kota Ternate. Unit IPAH itu bisa menampung 5.000-6.000 liter air hujan.
Zulkifli bercerita, dia memulai inisiatif Gemma Camtara menggunakan instalasi penampungan sederhana yang dilengkapi alat pemurni air. Instalasi ini terdiri atas pemanen, penampung, penyaring, dan penyalur. Material IPAH yang digunakan berupa paralon dan tandon air dari bahan polietilena atau serat kaca. IPAH adalah teknologi tepat guna yang dikembangkan Agus Maryono, dosen Departemen Teknik Sipil Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Saat Zulkifli memulai Gemma Camtara pada 2015, sudah ada peraturan wali kota yang mewajibkan kantor pemerintah membuat sumur resapan. Zulkifli mengusulkan anggaran pembuatan sumur resapan itu di setiap kelurahan yang berjumlah 14. Selain itu, setiap kelurahan diminta membuat puluhan lubang biopori. Adapun biaya pembuatan IPAH tidak berasal dari anggaran kelurahan, melainkan donasi berbagai kalangan melalui Sedekah Air Hujan.
Menurut pengajar geologi di Program Studi Teknik Pertambangan Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Abdul Kadir Dahlan Arif, selain menggunakan curah hujan, sebenarnya warga Kota Ternate bisa memanfaatkan beberapa akuifer yang dapat menampung air bawah tanah sebagai sumber air alternatif. "Problemnya adalah bagaimana mengeksplorasi sumber-sumber ini," kata Abdul, yang meneliti zona yang mengandung air tanah di Kelurahan Sangaji.
Abdul menjelaskan, ada beberapa faktor yang membuat Ternate bakal mengalami kelangkaan air absolut pada 2030. Yang utama adalah tingkat pertambahan jumlah penduduk yang tinggi, yang tentu akan meningkatkan konsumsi air. Kondisi itu diperburuk minimnya lahan konservasi di Ternate yang ditetapkan khusus sebagai wilayah resapan air. "Ancaman krisis air sangat mungkin terjadi lebih cepat jika pemerintah tak membuat rencana mengatasinya dari sekarang," tuturnya.
•••
SERBUK hitam mengendap tipis di dasar ember yang berisi air hujan. Simon Yudistira Sanjaya, 58 tahun, mencelupkan alat pengukur padatan terlarut (TDS). Layar alat seukuran spidol papan tulis itu menunjukkan angka 15. Nilai parameter pencemaran air itu lebih kecil dari hasil pengukuran laboratorium Dinas Kesehatan Kota Bandung pada 2017 yang menunjukkan angka 60. "Jadi airnya sudah bisa langsung diminum," kata Simon di kediamannya di kompleks Rajawali Plaza, Ciroyom, Kecamatan Andir, Kota Bandung, Selasa, 28 Juni lalu.
Agar bisa langsung diminum, air hujan itu diolah dengan alat rakitan sendiri yang dinamai Cilangit, yang berarti air langit, seharga Rp 1,8 juta. Komponen utamanya adalah filter nano berukuran 1 mikrometer untuk menyaring partikel dan bakteri. "Filter harus diganti setelah pemakaian 4.000 liter," tuturnya. Untuk menghalau spora dan virus, Simon menyaring airnya dengan lampu ultraviolet 30 watt. Aliran air didorong oleh pompa akuarium berdaya 25 watt.
Hasil lain pemeriksaan laboratorium pada 2017 itu adalah air hujan yang diolah Simon tidak berbau dan angka warnanya 11 dari maksimum 15 dengan nilai kekeruhan 1,18 dari 5. "Secara mikrobiologi, tidak ada bakteri E-coli," ujarnya sambil menyodorkan dua lembar hasil uji laboratorium. Artinya, kualitas air hujan itu memenuhi syarat kesehatan. Simon pernah menjual air olahan dari air hujan itu kepada tetangganya yang tertarik seharga Rp 5.000 per galon.
Sejak 2013, Simon merintis penampungan air hujan berkapasitas mulai 3 meter kubik atau 3.000 liter. Sebelumnya, ia dan keluarganya memakai air tanah yang disalurkan pengembang hunian dengan biaya Rp 200 ribu per bulan. Karena kualitas airnya buruk, berwarna kuning dan mengandung besi, Simon menghentikan pemakaian. "Tidak bisa dipakai masak dan minum, baju putih juga jadi kekuningan," tuturnya. Sementara itu, air tanah dari sumur sendiri tidak memadai.
Kini kapasitas penampungan air hujannya berkembang menjadi 10 meter kubik lebih. Dia mengubah atap huniannya menjadi seperti tanda centang agar lebih banyak air hujan dari atap yang bisa masuk ke penampungan. Simon memasang tandon-tandon air berkapasitas 500-1.000 liter dari lantai atas hingga bawah tanah. Di rumah toko berlantai tiga itu, Simon tinggal bersama empat anggota keluarganya dan seorang pegawai toko. "Stok air bisa dipakai untuk tiga-empat minggu," ucapnya.
Simon Yudistira Sanjaya dan alat memanen air hujan buatannya di, Bandung. Jawa Barat, 28 Juni 2022/Tempo/ANWAR SISWADI
Kamar mandi di lantai dua, misalnya, sesak oleh ember, tong, serta instalasi paralon. Di luarnya yang berupa lorong selebar 1 meter, berbaris rapi 15 ember bekas cat, galon, juga tong sampah berbahan plastik. Ada juga sekitar 30 jeriken dan tong yang makin menyempitkan ruangan. Semua wadah itu penuh berisi air hasil panen dari hujan. "Dua hari kemarin hujan terus," kata Simon. Selain itu, ia membuat sumur air tanah untuk mengantisipasi musim kemarau.
Simon baru mulai mengoperasikan instalasinya ketika turun hujan sedang dan lebat. Setelah 10 menit turun hujan, barulah dia membuka keran penampung. Jeda awal itu ditujukan untuk menyilakan air hujan membersihkan atap dari segala kotoran seperti debu atau material lain untuk mengurangi endapan. Air hujan di atap itu mengucur ke talang, lalu disalurkan rangkaian pipa ke tempat penampungan. Total biaya instalasi untuk memanen air hujan milik Simon sebesar Rp 10 juta.
Menurut dia, sistem serupa bisa diterapkan pada rumah hunian dengan kapasitas 1-2 meter kubik. Simon tidak menyarankannya untuk pemakaian skala komunitas karena kebutuhan per rumah atau keluarga beragam. Idealnya, setiap rumah dirancang dengan tempat penampungan air hujan yang bisa ditempatkan di bawah tanah atau pekarangan.
Sementara itu, Pemerintah Kota Bandung punya upaya lain untuk menampung air hujan lewat program Drumpori. Awalnya dipasang 600 unit drum yang tersebar di enam wilayah sejak 2019. Lokasinya di area permukiman, juga di sisi jalan raya. Sampai medio 2022, total drum bertambah sebanyak 4.186 unit. "Dengan air hujan diresapkan, mengurangi banjir. Di musim kemarau ada simpanan air, " tutur Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga Kota Bandung Didi Ruswandi, Selasa, 28 Juni lalu.
Ide Drumpori muncul dari warga Bandung yang juga pegiat lingkungan, Rahim Asyik Budi Santoso. "Dia cerita punya pengalaman bikin Drumpori selama tiga-lima tahun," ujar Didi. Rahim memakai drum aspal bekas yang sekelilingnya dibuat sekitar 10 lubang, lalu ditanam di tanah. Bagian atasnya diberi penutup berpori untuk jalan masuk aliran air. Menurut kalkulasi Didi, Kota Bandung memerlukan setidaknya 500 ribu drum.
Aturan tentang resapan air, menurut Didi, ada di Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Di daerah permukiman, caranya adalah membuat sumur resapan atau waduk. Peraturan daerah Kota Bandung, Didi menambahkan, juga mengatur pengelolaan air di bangunan dan tentang bangunan gedung hijau. "Di izin mendirikan bangunan sudah diwajibkan ada sumur resapan," ucap Didi.
Di Kota Bandung, gerakan menabung air hujan berjalan mulus dengan adanya dukungan regulasi dari pemerintah kota. Menurut Zulkifli, untuk memaksimalkan gerakan panen air hujan, Kota Ternate memerlukan regulasi berupa peraturan daerah atau peraturan wali kota yang dapat mewajibkan perkantoran memasang instalasi pemanfaatan air hujan. Ia berharap regulasi itu juga dapat menjadi landasan untuk mengelola air dan mengkonservasi air tanah.
Lisda Ariani Simabur, pengajar di Universitas Terbuka Ternate yang meneliti Gemma Camtara, menemukan gerakan yang digagas Zulkifli tersebut ternyata memberi cara pandang baru kepada warga Kecamatan Ternate Utara terhadap potensi air hujan sebagai sumber air bersih. Di sisi lain, gerakan ini bisa menyadarkan masyarakat untuk terus menjaga air tanah dengan menghindari pemakaian air secara berlebihan.
BUDHY NURGIANTO (KOTA TERNATE), ANWAR SISWADI (KOTA BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo