Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Zulkifli, bekas Camat Ternate Utara, mendapat Kalpataru berkat pembangunan instalasi pemanfaatan air hujan.
Krisis air bakal terjadi di berbagai daerah di Indonesia, terutama di Jawa.
Pemerintah harus mengantisipasi krisis air dan memenuhi hak asasi masyarakat atas air.
ANUGERAH Kalpataru bagi Zulkifli, bekas Camat Ternate Utara, Maluku Utara, jangan berhenti pada seremoni belaka. Pemerintah harus memfasilitasi dan mendukung penuh setiap inisiatif penyediaan air bersih bagi masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zulkifli menerima penghargaan bagi pelestari lingkungan itu karena memprakarsai pembangunan instalasi pemanfaatan air hujan untuk mengatasi krisis air bersih di daerahnya sejak tujuh tahun lalu. Kini telah ada 42 instalasi di tujuh kecamatan di Ternate yang memenuhi kebutuhan air bersih warga setempat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kota Ternate menghadapi masalah kekurangan air bersih yang serius. Air tanah di kota pulau itu tak lagi bisa dikonsumsi karena tercemar air laut. Jika tidak ada terobosan, Satuan Kerja Pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum Provinsi Maluku Utara memperkirakan kota itu benar-benar akan mengalami krisis air bersih pada 24 tahun mendatang. Solusi sementara yang paling mungkin saat ini adalah menadah air hujan, seperti yang dilakukan Zulkifli. Pemerintah daerah perlu segera bertindak, misalnya dengan memperluas instalasi pemanfaatan air hujan dan upaya konservasi air lain.
Apa yang terjadi di Ternate dapat pula dialami daerah lain. Memang, cadangan air tanah di Indonesia masih cukup besar. Pada 2016, potensi air tanah sekitar 691,3 miliar meter kubik per tahun dan baru 32 persen yang digunakan. Namun ketersediaan air ini tidak merata. Pasokan air berlebih, misalnya, ada di sebagian wilayah Papua, Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Sisanya dalam kondisi kekurangan air.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional memprediksi, pada 2045, cadangan air bersih di wilayah Jawa, Sumatera bagian selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi bagian selatan sudah pada tingkat kritis. Jakarta bahkan akan mengalami kelangkaan mutlak, ketika air yang tersedia kurang dari 500 meter kubik per kapita per tahun.
Keadaan ini seharusnya menjadi lonceng peringatan keras bagi pemerintah bahwa krisis air sudah di depan mata. Namun sejauh ini langkah pemerintah untuk menyelamatkan pasokan air jauh dari cukup. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mencatat, hingga 2014, pasokan air baku untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat baru mencapai 66,35 persen. Upaya pemerintah membangun fasilitas penampung air (termasuk bendungan, embung, dan situ) baru memenuhi 2,5 persen dari kebutuhan ideal suatu negara, yakni 1.975 meter kubik per kapita per tahun.
Kondisi ini diperburuk oleh berubahnya peruntukan lahan, seperti embung dan situ, menjadi perumahan atau infrastruktur lain. Kawasan resapan air menyusut atau malah hilang. Pemerintah juga tak mengontrol penyedotan air tanah. Penggunaan sumur bor yang tak terkendali di daerah dekat laut, seperti Jakarta dan Ternate, menyebabkan intrusi air laut sehingga air tanah tak layak lagi dikonsumsi.
Putusan Mahkamah Konstitusi pada 2015, yang membatalkan Undang-Undang Sumber Daya Air, menegaskan bahwa pemerintah wajib menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi masyarakat atas air. Faktanya, masih banyak masyarakat yang terpaksa membeli air minum dari perusahaan swasta karena tak memiliki akses terhadap air bersih.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo