Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebanyak 149 pekerja Indonesia diduga meninggal karena perlakuan tidak manusiawi di Malaysia.
Bagaimana Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menangani kasus ini?
Bagaimana pula BP2MI mengatasi sindikat pengiriman pekerja migran ilegal?
PEKERJA migran menjadi topik perbincangan hangat setelah ada laporan pekerja yang meninggal dan mengalami penyiksaan selama berada di rumah detensi imigrasi di Sabah, Malaysia. Tim Pencari Fakta Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) mendapatkan data 149 pekerja migran Indonesia diduga meninggal karena perlakuan tidak manusiawi tersebut. Koalisi kemudian menggelar demonstrasi di depan Kedutaan Besar Malaysia sebagai protes.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani tak mendapat laporan langsung mengenai kasus tersebut. Namun ia mengakui adanya praktik tidak manusiawi itu dari pemeriksaan terhadap pekerja migran yang dideportasi dari Malaysia. “Pemerintah harus segera mengambil langkah untuk membicarakan masalah ini atau memaksa Malaysia duduk bersama,” katanya dalam wawancara secara daring dengan wartawan Tempo, Abdul Manan, pada Jumat, 1 Juli lalu. Dia meminta klarifikasi Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benny menyatakan perlakuan tidak manusiawi terhadap pekerja migran ini bukan hal baru dan banyak terjadi. Dari data BP2MI, banyak kasus yang menimpa mereka yang berangkat secara tidak resmi atau ditempatkan secara ilegal. Sejak memimpin organisasi ini dua tahun lalu, ia berusaha memerangi sindikat penempatan pekerja migran ilegal itu. Berikut ini petikan wawancaranya.
Dari mana Anda mendapat laporan mengenai kasus pekerja migran Indonesia di Malaysia?
Saya justru mendapatkannya dari berita. Kebiasaan saya, setiap kali ada masalah, misalnya mendapat kabar dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau hotline kami atau berita, saya bagi ke direktorat di BP2MI untuk ditindaklanjuti. Dalam kasus itu, saya ambil langkah bertemu dengan pejabat Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta pada Kamis pagi (30 Juni 2022). Setelah itu, saya menemui satu organ KBMB, yaitu Solidaritas Perempuan.
Apa yang disampaikan pejabat Kedutaan Malaysia?
Soal angka 149 (pekerja Indonesia yang diduga meninggal di Sabah) itu diakui ada kesalahan pihak Malaysia. Angka 149 itu jumlah keseluruhan tenaga kerja asing yang meninggal. Dari Indonesia 18. Pertanyaannya, mau 149 atau 18, itu diakibatkan kekerasan atau bukan? Itu butuh investigasi. Malaysia tidak mengakui (mereka meninggal) karena kekerasan. Duta Besar RI di Malaysia, Hermono, juga menyatakan mereka meninggal karena penyakit bawaan atau Covid-19.
Saya katakan ke koalisi LSM, menurut data BP2MI, dari 2020 sampai awal Juni 2022, 848 (pekerja Indonesia) meninggal dari Malaysia dan yang sakit 2.027 orang. Ini menjadi tanggung jawab BP2MI setelah pekerja tiba di Tanah Air. Mandat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia juga penting disampaikan. Sebab, dalam persepsi publik, seolah-olah di mana pun pekerja migran berada dan apa pun masalahnya, itu tanggung jawab BP2MI. Kan, pembagian tugasnya jelas. Selama mereka di luar negeri, yang disebut warga negara Indonesia, yang di dalamnya ada pekerja, pelajar, dan mahasiswa Indonesia, itu tanggung jawab perwakilan RI.
Dalam kasus Sabah, itu tanggung jawab Kementerian Luar Negeri?
Yang kami tangani yang mengalami masalah ekonomi, sosial, hukum, atau yang disebut “pekerja migran terkendala”, setiba mereka di Indonesia. Misalnya ada jenazah dari luar negeri dikirim oleh perwakilan. Tiba di Tanah Air, itu jadi tanggung jawab kami sampai diantar ke rumahnya. Begitu juga kalau overstay, diputus sepihak oleh majikan, atau menghadapi masalah ekonomi atau hukum. Kalau dia di luar negeri, ditangani Kementerian Luar Negeri dalam penyediaan pengacara selama menghadapi proses hukum sampai selesai.
Banyak pekerja migran yang dipulangkan karena berangkat tidak resmi. Itu juga tanggung jawab BP2MI?
Kalau BP2MI ketat pada definisi "pelindungan". Dalam undang-undang tadi kan disebut pekerja migran Indonesia. Itu dasarnya adalah yang dulu berangkat secara resmi, yang namanya tercatat di sistem komputerisasi BP2MI. Faktanya, yang masuk kategori pekerja migran terkendala itu 90 persen yang dulu (berangkat) tidak resmi atau unprocedural. Makanya kami jadi repot di lapangan.
Anggaran kami hanya Rp 300 miliar per tahun, 64 persen untuk belanja pegawai. Kami punya 23 unit pelaksana teknis di 23 provinsi dengan hampir 1.000 aparatur sipil negara. Tiba-tiba ada (pekerja) yang berangkat tidak resmi mendapat masalah di luar negeri, bebannya ke BP2MI. Hampir tiap tahun. Bulan keenam ini anggaran kami untuk perlindungan habis. Rumah sakit sudah menagih. Utang kami ke Rumah Sakit Polri mendekati Rp 2,5 miliar. Itu utang dari kegiatan tahun sebelumnya,
Ini yang mendorong pada akhir Juni kami mengadakan diskusi kelompok terfokus dengan tema "PMI Unprocedural Tanggung Jawab Siapa?". Kalau harus jadi beban BP2MI, ya, enggak jadi masalah juga, tapi dukungan anggaran dan politik anggarannya harus jelas. Selama ini anggaran pelindungan pekerja migran ditarik ke perwakilan. Pekerja migran yang tercatat di sistem komputerisasi kami 4,4 juta, sementara yang tak resmi 4,6 juta (menurut data Bank Dunia).
Bagaimana dengan dugaan perlakuan tidak manusiawi itu?
Saya tidak pernah mendapat informasi tentang peristiwa seperti yang diadukan KBMB. Namun, selama dua tahun pengalaman menjemput para pekerja migran yang dideportasi dari Malaysia, saya tanyai mereka. Sebetulnya yang disampaikan KBMB itu bukan hal baru. Mereka (pekerja migran) kadang mendapat kekerasan fisik dan verbal. Mereka sering mendapat penghinaan secara personal, termasuk terhadap negara, oleh oknum-oknum di detensi Malaysia. Kemudian (mereka mendapat) fasilitas yang tidak layak, misalnya kamar yang tidak memadai. Biasanya hanya untuk 10 orang, bisa diisi 20 atau 30 orang. Anak-anak kecil juga dicampur dengan orang dewasa. Makanan dan minuman di luar standar. Air mandi, sanitasi, di daerah tertentu di Sabah, menyebabkan penyakit kulit. Juga ada hal yang kami sebut “perampokan”. Harta pekerja migran yang masuk detensi, seperti telepon seluler, gelang dan kalung emas, serta uang disita petugas.
Apa yang kemudian dilakukan BP2MI?
Saat di luar negeri, lead-nya ada di Kementerian Luar Negeri melalui perwakilan, KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia), KJRI (Konsulat Jenderal Republik Indonesia), atau konsul. Bila tiba di Tanah Air (mereka) menjadi tanggung jawab BP2MI. Dari Kedutaan Malaysia, saya langsung ke Solidaritas Perempuan. Tawarannya ada dua dari pertemuan di sana. Pemerintah harus segera mengambil langkah untuk membicarakan masalah ini atau memaksa Malaysia duduk bersama. Menurut saya, tak sekadar meminta konfirmasi, tapi (pemerintah) meminta pertanggungjawaban Malaysia. Keberanian inilah yang (perlu) ditunjukkan Indonesia. Tapi kan itu bukan domain BP2MI. Dalam kontrak perjanjian antarnegara dalam hal penempatan pekerja migran, itu ada di Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Ketenagakerjaan. Saya sepakat dengan KBMB: ajak Malaysia duduk bersama membicarakan masalah ini, minta pertanggungjawaban. Saya meyakini peristiwa ini terjadi, kecuali soal jumlah. Kita jangan terjebak pada jumlah karena satu jiwa anak bangsa itu sangat berharga, menyangkut harga diri bangsa Indonesia. Ini bisa jadi pintu masuk, selain meningkatkan bargaining position dengan Malaysia.
Berapa banyak pekerja yang mengalami kendala di Malaysia?
Ada 780 ribu pekerja migran Indonesia di Malaysia yang tercatat resmi. Dari berbagai sumber yang layak dipercaya, kurang-lebih ada 2 juta. Yang kami tangani 848 yang meninggal, 2.027 yang sakit. Mereka 90 persen justru tidak ada dalam sistem komputerisasi kami. BP2MI akhirnya menangani yang sesungguhnya dulu tidak berangkat secara resmi. Di satu sisi, ini menjalankan mandat undang-undang. Problemnya, anggaran kami tidak mendapatkan dukungan kuat untuk menangani masalah tersebut.
Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Rhamdani, di Command Center, Kantor BP2MI, Jakarta, 2 Juli 2022/TEMPO/ Febri Angga Palguna
Apa tidak memungkinkan meminta tambahan ke pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat?
Kami sudah beberapa kali mengikuti rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPR dan menyampaikan masalah ini. DPR tentu memberi dukungan penuh dan jadi kesimpulan tiap RDP. Mungkin nasib saja yang belum berpihak kepada BP2MI. Itu baru soal penanganan pekerja migran yang mengalami kendala. Belum tugas pencegahan. Kalau tak ingin itu terus terjadi, pencegahannya terutama dari hulu, jangan sampai ada penempatan ilegal.
Bagaimana mengatasi penempatan ilegal ini?
Atas nama kemanusiaan, yang dilakukan BP2MI ini modal nekat. Anggaran tak punya. BP2MI bukan penegak hukum. Dalam konteks pencegahan perdagangan manusia, ada satuan tugas yang disahkan presiden. Sejak 2021, negara ini dalam keadaan darurat penempatan pekerja migran ilegal. Ini bisnis kotor, dikendalikan segelintir orang, sindikat mafia dan bandit. Sialnya, bisnis kotor dan sindikat ini dibekingi atribusi kekuasaan di negara ini. Saya bicara ini oknum Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian RI, keimigrasian, kedutaan besar, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Ketenagakerjaan, dan BP2MI.
Bagaimana modus penempatan ini?
Ini kerja sistematis dan terorganisasi. Tidak mungkin kelompok masyarakat tertentu bisa mengendalikan kejahatan internasional, dari perekrutan di desa, bagaimana calo yang jumlahnya banyak diorganisasi, menjadikan setiap warga desa sebagai mangsa dengan iming-iming pekerjaan dengan gaji besar, semua biaya ditanggung, hingga diberangkatkan dengan cepat. Padahal uang yang dikeluarkan sindikat ini diakumulasi dan dijadikan utang dan menjadi beban pekerja. Akhirnya pekerja tersandera dan harus membayar dari potongan gaji setiap bulan. Ini kejahatan serius.
Saya selama dua tahun memimpin langsung melakukan penggerebekan 24 kali. Terakhir tiga bulan lalu. Sebanyak 1.600 orang selama dua tahun kami selamatkan. Soal sindikat ini pernah saya sampaikan kepada Presiden saat saya dilantik pada 15 April 2020 bahwa, jika diperkenankan, saya ingin memimpin untuk melawan sindikat ini dengan membentuk satuan tugas. Jawaban Presiden, "Oke, sikat mereka sampai tuntas."
Bagaimana proses hukum terhadap pelakunya?
Kurang-lebih 100 kasus yang sudah masuk pengadilan. Kami berkoordinasi dengan kepolisian. Alhamdulillah, ada beberapa calo masuk proses hukum dan divonis. Misalnya Nurbaeti dan Titin Marsini di Jawa Barat, sudah divonis tiga bulan lalu. Ini orang biasa tapi bisa mengendalikan perdagangan manusia. Ini kejahatan terorganisasi. Tidak mungkin dia sendiri.
Adakah anggota TNI dan Polri yang diproses hukum?
Pernah dengar kapal tenggelam di sekitar Johor Bahru, Malaysia, yang 21 orang meninggal, lima atau enam bulan lalu? Saya turunkan tim investigasi, menunjuk Deputi Bidang Penempatan dan Pelindungan Kawasan Eropa dan Timur Tengah BP2MI Inspektur Jenderal Polisi Achmad Kartiko. Menariknya, dari hasil investigasi ini ada keterlibatan TNI Angkatan Laut dan Angkatan Udara serta kepolisian. Saya kirim surat kepada Kepala Polri dan Panglima TNI. Kapolri menyampaikan komitmennya bahwa tidak ada toleransi terhadap perdagangan manusia dan penempatan ilegal. Kapolri mengambil tindakan tegas. Panglima TNI sama dan ada tindakan tegas terhadap oknum yang kami laporkan.
Apa sanksi untuk perusahaan yang terlibat penempatan ilegal?
Penghentian dan pencabutan izinnya bukan kewenangan BP2MI. Selama dua tahun ini bisa lebih dari 20 yang (kami) minta dicabut. Kami merekomendasikan pencabutan ke Kementerian Ketenagakerjaan, walaupun kadang putusannya mengecewakan, yaitu hanya sanksi tiga bulan. Kalau begini terus, tidak pernah lahir efek jera. Kejahatan akan terus berlangsung.
Berapa anggaran yang dibutuhkan BP2MI untuk dapat bekerja maksimal?
Saya mengusulkan minimal tambahan Rp 600 miliar, yang kemudian dikurangi jadi Rp 450 miliar. Itu sudah kami sampaikan ke DPR. Selama ini Rp 300 miliar setiap tahun. Tidak ada penambahan. Jadi kami usulkan Rp 750 miliar untuk 2023. Idealnya, saya ingin membebaskan biaya penempatan, dari paspor hingga karantina, sesuai dengan mandat undang-undang. Saya paham pekerja migran adalah mereka yang tiap tahun ke luar negeri, jumlahnya 277 ribu dalam kondisi normal. Kalau 277 ribu itu dibiayai, total butuh Rp 8,1 triliun per tahun. Itu investasi kecil negara dibanding sumbangan devisa setiap tahun dari mereka yang sebesar Rp 159,6 triliun.
Pekerja migran dipuji sebagai pahlawan devisa, tapi komitmen anggaran untuk mereka kecil.
Negara ini berutang besar kepada pekerja migran. Saya, selama diberi kepercayaan, ingin membayar utang itu semampu saya, seperti sebelumnya dilakukan Pak Jumhur Hidayat dan Nusron Wahid. Jika belum lunas, pejabat berikutnya yang membayar utang itu. Caranya, menjadikan pekerja migran orang naratetama (VVIP). Dalam pembiayaan kami belum mampu membebaskan, (tapi) minimal dengan pinjaman dari bank pemerintah agar tak terjebak ijon rente. Dalam setiap acara pelatihan dan pelepasan, ada glorifikasi. Ibarat melepas atlet Olimpiade. Kami siapkan lounge di bandar udara, yang sebelumnya hanya dinikmati orang kaya. Masuk imigrasi, mereka diberi fast track, yang biasanya hanya untuk menteri, anggota DPR, dan diplomat pemegang paspor warna hitam dan biru. Saat berangkat, diberi kredensial. Itu surat yang selama ini diberikan kepada duta besar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo