Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berwarna putih dengan lingkar mata berwarna biru, burung itu menukik ke dasar kepunahan. Orang Bali menyebutnya ”kedis putih” alias ”burung putih”. Di habitat aslinya, di kawasan Taman Nasional Bali Barat di Kabupaten Buleleng, burung curik Bali cuma tersisa lima ekor sampai akhir tahun lalu.
Maka sebuah proyek besar penyelamatan burung ini—yang menjadi lambang Provinsi Bali—pun digelar. Dua pekan lalu, sekitar 50 orang datang ke Taman Nasional Bali Barat. Mereka antara lain terdiri atas para ahli burung, ahli lingkungan, pakar hutan, anggota Forum Konservasi Satwa Liar Indonesia, dan anggota Asosiasi Pelestari Curik Bali. Di antara peserta terlihat lima orang peneliti dari Kota Yokohama, Jepang, yang telah mengembangbiakkan curik Bali di luar habitatnya.
Rabu, 14 Februari, pukul 08.00 Wita. Tujuh mobil rombongan memasuki Teluk Brumbun, daerah yang menjadi tempat terakhir burung putih itu akan dilepaskan ke habitatnya. Taman nasional seluas 19 ribu hektare ada di teluk ini, sekitar tiga kilometer dari ujung daerah Banyuwangi.
Jarak yang dekat membuat para pencuri kayu dan penangkap curik Bali bisa menyelusup ke taman nasional itu dari jalur laut. Bila melalui Buleleng, mereka harus melintasi Teluk Lampu Merah dulu, sebelum sampai ke Teluk Brumbun. Di sini, mereka akan dicegat beberapa pos jaga.
Kondisi alam taman yang memprihatinkan turut menyumbang kepunahan si burung putih. Curah hujan di kawasan ini hanya 300 milimeter per tahun sehingga beberapa blok mengering. ”Aksi pembukaan lahan serta langkanya sumber daya air tawar ikut memperparah rusaknya habitat curik Bali,” kata Menteri Kehutanan M.S. Kaban.
Ketika pertama kali dikembangbiakkan di kawasan itu pada 1924, jumlah burung ini lebih dari 1.000 ekor dengan luas habitat sekitar 37 ribu hektare. Pada 1990, jumlahnya menyusut menjadi 100 ekor dengan luas habitat sekitar 16 ribu hektare. Pada Maret 2004, cuma tersisa 24 ekor kedis putih di sana.
Kelangkaan ini membuat harga curik Bali melejit tak terkira. Harga satu pasangnya kini di atas Rp 40 juta. Ketua Asosiasi Pelestari Curik Bali Toni Sumampaw menyebut jumlah curik Bali di seluruh Indonesia saat ini mencapai 538 ekor. Jumlah terbanyak ada di tangan penggemar burung, 350 ekor.
Untuk menyelamatkan burung yang masih satu keluarga dengan jalak Bali ini, pemerintah bersama Asosiasi Pelestari menggencarkan gerakan penangkaran ”Si Putih”. Para penangkar komersial yang berizin bersedia menyumbangkan 10 persen dari hasil pengembangbiakan selama setahun. Umpamanya, bila penangkar dapat menetaskan 40 anak curik setahun, empat ekor akan diserahkan ke taman nasional di Buleleng.
Pemerintah Kota Yokohama yang melakukan penangkaran telah menyerahkan 10 burung pada bulan lalu. Mereka juga menyumbangkan teknologi pemancar yang dipasang di ekor curik. Gunanya untuk melacak jejak serta melindungi burung tersebut dari tindak pencurian. Sepuluh unit alat pemancar diserahkan oleh pemerintah Yokohama pekan lalu.
Di Teluk Brumbun, Kepala Taman Nasional Bali Barat Hendrik Siubelan mempraktekkan pemasangan alat pemancar pada sepuluh curik hasil penangkaran. Alat ini dipasang pada bagian ekor yang diikat dengan benang halus.
Alat pemancar seberat 2,5 gram itu dilengkapi radio transmitter. Untuk mengetahui keberadaan burung di habitatnya, petugas harus memegang pesawat penerima berfrekuensi 144 MHz. Daya pancar alat ini cukup jauh, dengan radius sekitar 20 kilometer dalam kondisi udara bagus. Dalam cuaca buruk, kehadiran curik hanya bisa terpantau dalam jarak 5 kilometer.
Daya tahan baterai pemancar ini hanya enam bulan—setelah itu, tak lagi berfungsi. Tapi, kata Hendrik, ”Alat ini masih dianggap yang paling efektif sampai sekarang untuk memantau pergerakan burung langka.”
Setelah burung dipasangi alat pemancar, Hendrik memperlihatkan pesawat penerima yang didukung oleh antena sepanjang 80 sentimeter. Ketika pesawat itu dinyalakan, terdengar bunyi ”bip… bip… bip…”. Jika suara semakin keras, itu berarti posisi curik Bali mendekat ke pemantau dan sebaliknya.
Setiap curik Bali di taman itu juga dilengkapi cincin identitas. Di situ tertera asal-usul, umur, induk, jenis kelamin, serta nomor registrasi si burung. Penandaan ini bertujuan untuk mengetahui sejarah keturunannya.
Lama-lama kedis putih bisa disebut ”burung berteknologi ”. Di tubuhnya dilekatkan pula transponder. Microchip yang lebih kecil daripada biji kacang hijau ini ditanamkan pada dada curik. Di situ termuat nomor (barcode) untuk penanda identitas. Nah, bila Anda ingin melihat atau membaca data pada burung tersebut, dibutuhkan transponder reader. Lembaga konservasi di luar negeri sudah banyak yang menggunakannya. Dengan alat ini, identitas curik Bali, pola pergerakan, serta kemampuan adaptasinya dengan habitat asli akan terekam dengan baik.
Taman Nasional Bali Barat juga berupaya memperbaiki strategi konservasi. Menteri Kaban menyebutkan taman ini akan memulihkan habitat melalui penghutanan kembali dan pemulihan populasi. Selain itu, akan diatur pembukaan lahan untuk permukiman, pengamanan, dan penegakan hukum. ”Jika semua pihak mendukung, saya yakin dalam lima tahun ke depan 500 ekor curik Bali akan kembali ke habitatnya,” ujarnya.
Bip… bip… bip…. ”Lihatlah curik itu! Dia mendekat,” Hendrik berseru.
Yos Rizal S., Deffan Purnama, Rofiqi Hasan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo