Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bangunan hunian liar mulai memadati bantaran Sungai Mahakam di RT 11 Harapan Baru, Kecamatan Loa Janan Ilir, Samarinda, Kalimantan Timur. Seperti yang terlihat pada Rabu pagi, 4 Januari 2023, lalu, hunian berupa rumah panggung dari papan kayu dengan ruang jamban yang terpisah, langsung di atas badan air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di antara deretan hunian itu adalah yang ditinggali Umi Kalsum, 39 tahun, ibu rumah tangga dan istri seorang nelayan. Saat disambangi, Umi langsung terlihat gelisah. “Kami mau digusurkah?” ujarnya saat ditanya status bangunan yang disebutnya rumah itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain tinggal liar, Umi dan warga lainnya pemilik jamban 'helikopter' termasuk yang selalu disorot perihal pencemaran Sungai Mahakam. Apalagi kalau bukan karena jambannya itu yang langsung membuang kotoran ke sungai. Sejatinya, kotoran ditampung dalam septic tank untuk kemudian diangkut ke pusat pengolahan limbah.
“Tapi saya kan tidak sendirian (yang buang air besar ke sungai),” kata Umi. Sama seperti dirinya antara lain adalah Maipah, 39 tahun, juga ibu rumah tangga. Dia juga tak punya septic tank di rumahnya kendati jamban sudah menggunakan toilet jongkok. “Saya mau tinggal di darat, tapi enggak ada dana,” kata Maipah.
Kondisi jamban salah satu warga di pinggir Sungai Mahakam di RT 11 Harapan Baru, Kecamatan Loa Janan Ilir, Samarinda, pada Rabu pagi 4 Januari 2023. Sumber: Istimewa
Umi pantas cemas karena Wali Kota Samarinda Andi Harun telah menyatakan pembongkaran wilayah permukiman di pinggir sungai. Tak hanya alasan pengendalian pencemaran Sungai Mahakam oleh limbah domestik, tapi juga pengendalian bencana banjir.
Rachman Putra, 33 tahun, warga Kota Samarinda yang lainnya mengungkapkan kalau sekarang ini setiap kali hujan lebat lebih dari tiga jam, ada beberapa titik di kota Samarinda yang akan terjadi genangan air yang bertahan selama 2 jam - 3 jam. Diakuinya, faktor pemicu banjir Samarinda ini sangat kompleks, bisa karena kurangnya resapan air akibat pertambangan, drainase yang buruk, sampah, hingga permukiman di bantaran sungai.
Dukungan untuk Relokasi Warga Bantaran Mahakam
Iwan Ramdan, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Mulawarman, mengatakan belum menemukan hasil penelitian yang secara spesifik menganalisis kontribusi limbah rumah tangga (termasuk kotoran manusia) terhadap penurunan kualitas air Sungai Mahakam. "Namun, kontribusi variabel limbah rumah tangga terhadap pencemaran Sungai Mahakam tidak bisa dianggap kecil,” kata Iwan.
Iwan juga setuju selain pencemaran, masalah lain di Mahakam dan sungai-sungai lainnya di Samarinda adalah penyempitan dan pendangkalan aliran sungai. Dengan begitu, dia juga mendukung penertiban atau penataan sepanjang bantaran sungai yang disebutnya merupakan upaya memaksimalkan aliran air supaya banjir bisa berkurang--selain lewat pengerukan.
“Jadi penggusuran rumah di pinggir kali adalah salah satu upaya penanggulangan banjir," katanya sambil menambahkan, "Jika dilihat dari upaya pengurangan cemaran air sungai akibat limbah rumah tangga bisa juga, karena warga di bantaran sungai biasanya langsung membuang limbah rumah tangganya ke sungai.”
Selain untuk mengurangi banjir, pembongkaran permukiman di bantaran sungai juga bagian dari upaya Pemerintah Kota Samarinda menciptakan kota yang bersih, nyaman, aman dan sehat untuk dihuni penduduk sesuai target mendirikan Kabupaten Kota Sehat (KKS). Target ini diatur lewat Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 2005 dan Nomor:1138/Menkes/PB/VIII/2005 tentang Penyelenggaraan Kabupaten/Kota Sehat.
"Saat ini, pemerintah pusat sedang mematangkan aturan tersebut ke tingkat lebih tinggi, yakni Rancangan Peraturan Presiden Kabupaten Kota Sehat," kata Maryam Amir, Wakil Ketua Forum Kota Sehat Samarinda.
Peluang dan Tantangan Bikin Septic tank
Maryam menjelaskan, Forum sedang fokus kepada target percepatan ODF (Open Defecation Free) atau setop buang air besar di pinggir kali. Menurutnya, permasalahan ini telah menjadi salah satu tantangan terbesar Kota Samarinda yang wilayahnya banyak dialiri sungai, salah satunya Sungai Mahakam yang panjangnya 920 kilometer.
Untuk mengatasi tantangan warga yang masih buang air besar sembarangan, cara yang ditempuh Pemerintah Kota Samarinda antara lain mengucurkan bantuan membuat jamban, baik untuk individu maupun komunal. Tapi membuat jamban saja tidak cukup, harus disertai septic tank, individual ataupun komunal.
Tanpa septic tank, Maryam mengatakan, "tak sampai setahun lumpur tinja sudah penuh karena tidak ada penyerapan. Ada juga warga yang pakai drum plastik atau gentong (sebagai septic tank)."
Menurutnya, Pemerintah Kota Samarinda telah menyediakan jasa sedot lumpur tinja, tetapi masih berbayar. Berdasarkan harga pada 2019, per satu kali sedot WC biayanya Rp 500 ribu, di mana harga ini pun sering didiskon 50 persen. Kendati begitu, hal ini kerap dirasa cukup memberatkan.
Maryam mengingat, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat juga pernah turun tangan membantu membuatkan septic tank komunal. Ada beberapa septic tank yang diperuntukkan bagi sekitar 200 KK, tetapi struktur tanahnya selalu ada penurunan (tidak keras) dan WC warga ada yang lebih rendah sehingga tidak bisa masuk ke septic tank komunal.
Menggandeng Tentara sampai PKK
Permasalahan lain yang dihadapi Pemerintah Kota Samarinda dalam mewujudkan KKS adalah pengentasan permukiman tidak layak huni di pinggir kali. Untuk mengatasi tantangan ini, Pemerintah Kota Samarinda di antaranya melakukan pembongkaran seperti yang dilakukan di pinggiran Sungai Karang Mumus.
Terkait hal ini, Forum Kota Sehat Samarinda bekerja sama dengan sejumlah stakeholder, salah satunya TNI. Mereka yang kena gusur, pemilik tanah bersertifikat, di antaranya di relokasi ke Kecamatan Samboja. Diakui Maryam, sebelum pembongkaran memang ada penolakan dari warga yang tinggal di pinggir sungai, tetapi upaya pembongkaran tetap dijalankan. Ada pula sejumlah warga yang dengan sukarela pindah.
Untuk mewujudkan KKS, selain bekerja sama dengan TNI, Pemerintah Kota Samarinda juga menggandeng PKK, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa, HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan), dan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat. Para stakeholder tersebut menandatangani komitmen bersama sebagai bentuk tanggung jawab sehingga tidak sekadar memburu penghargaan sebagai Kota Sehat.
”Penghargaan itu hanya sebagai bukti kalau pemerintah berhasil. Mindset harus diubah,” kata Iwan.
Menurut Iwan, agar Ranperpres Kabupaten Kota Sehat ini tidak sekadar peraturan berlaka, maka perlu dilakukan evaluasi dan fokus pada peningkatan kerja sama lintas sektor hingga lintas program. Bukan hanya itu, Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) juga harus banyak dilibatkan dalam membuat program dan evaluasi per program, supaya lebih bagus dan komprehensif.
Sedangkan terkait tantangan mengatasi segelintir warga yang masih buang air besar sembarangan, Iwan mengakui karakteristik masyarakat memang agak unik. Solusinya, bisa lewat edukasi. Untungnya, saat ini sarana dan prasarana di Samarinda sudah cukup bagus dari aspek drainase.
Prioritas lain dalam tatanan penyelenggaraan KKS adalah Pasar Sehat. Perihal ini, Maryam mengakui pasar-pasar di Kota Samarinda masih belum ada yang zero PKL (pedagang kaki lima) dan preman. Namun, sudah ada satu pasar yang mendapat penghargaan dari Kementerian Perdagangan karena penataannya sudah bagus, meski ada PKL di sekitarnya. Setidaknya, ini menjadi secercah harapan.
Pasar yang mendapat penghargaan itu adalah Pasar Merdeka, yang terletak di Jalan Merdeka Kelurahan Sungai Pinang Dalam atau sekitar 5 menit dari jantung Kota Samarinda. Sampah di Pasar Merdeka sudah ada sistem pengolahannya yang dijadikan pupuk kompos. Program ini bekerja sama dengan karder yang mengambil sampah organik dan mengolahnya untuk menjadi pupuk.
”Dari sembilan tatanan yang ada (dalam KKS), setiap poin ada ujiannya tetapi kami berusaha meminimalkannya (tantangan)," kata Maryam sambil mencontohkan tatanan lainnya, antara lain, masalah anak jalanan, kami siapkan tempat bermain anak dan sanksi pada pelaku kekerasan terhadap anak.”
Pada 2023 ini, Maryam tak bisa mengesampingkan keinginan agar Samarinda bisa mendapatkan penghargaan Swasti Saba, tetapi dia menyadari mewujudkan kota sehat bukanlah perlombaan. "Evaluasi perlu terus dilakukan agar tahu di mana letak kekurangan."