PENGGABUNGAN SMA Negeri IX dan SMA Negeri XI berlangsung Oktober
1981. Belajar di satu atap, SMA Negeri 70, para siswa (lebih
4.000) tak lagi terdengar berkelahi. Tapi sekolah itu Februari
ini mendapat musuh baru: SMA Negeri VI, yang juga terletak di
kompleks Bulungan, Jakarta Selatan.
Sejak 14 Februari, kedua sekolah itu terpaksa diliburkan. Belum
tahu sampai kapan. Masalahnya, seperti dikatakan Kepala Kanwil
P&K DKI Jakarta Louise Eliabeth Coldenhoff, "bukan sekadar
masuk saja, tapi apa langkah selanjutnya agar perkelahian tak
terulang lagi."
Perkelahian massal antarpelajar kedua sekolah itu sudah tercatat
empat kali. Bentrokan pertama terjadi 7 Februari. Lalu berlanjut
tiga hari kemudian, hari Kamis. Atas instruksi Kanwil dan saran
Kadapol Metro Jaya, kepala sekolah hari itu mengumumkan bahwa
sekolah diliburkan selama dua hari. Ternyata keesokan harinya,
banyak siswa yang berdatangan ke sekolah untuk melanjutkan
"perhitungan" dengan "musuh" mereka.
Bentrokan terakhir, yang terjadi 14 Februari, tak kalah seru
dibanding sebelumnya. Kali itu nampaknya anak SMA Negeri 70
berinisiatif menyerang. Sejak Senin pagi itu, sekitar 500
pelajar -- di antaranya terlihat putri --bergerombol di muka
sekolah. Mereka berteriak-teriak dan nampak beringas.
Melihat gelagat buruk, anak SMA Negeri VI membuat pagar betis di
sekolah mereka. Sembari memukuli pagar besi, mereka menyiapkan
batu besar kecil. Petugas keamanan, yang terus disiagakan
semenjak kerusuhan terjadi seminggu sebelumnya, segera
bertindak. Dengan tembakan peringatan dan kawalan sebuah
helikopter polisi di udara, petugas menggiring anak-anak SMA 70.
Petugas lain berjaga-jaga agar anak SMA VI tak meninggalkan
halaman sekolah.
Suasana kacau sedemikian rupa, sehingga penonton yang
menyaksikan penggiringan berkomentar, "Persis kayak Operasi
Ganesha! " Toko-toko di bilangan Blok M, Kebayoran Baru, segera
ditutup. Dan para pedagang kecil menjauhkan diri dari lokasi
kerusuhan. Namun tak urung, beberapa toko dan kedai minuman
menjadi sasaran pelajar, kacanya pecah berantakan. "Pelajar
sekarang kok buas begitu, ya?" komentar seorang ibu sambil
menggandeng anaknya. Ia urung berbelanja karena toko-toko
ditutup.
Tak jelas benar mengapa mereka berkelahi. Konon ada surat
tantangan yang dialamatkan ke SMA 70, meski banyak yang tak
yakin surat itu buatan anak SMA VI. Ada lagi yang mengatakan,
karena teman wanita mereka sering diganggu.
Menurut Coldenhoff, pihaknya kini sedang mengevaluasi masalah
keributan itu. "Saya meminta bantuan para orang tua murid untuk
mengembalikan kondisi sekolah seperti semula," katanya. Gubernur
DKI, R. Soeprapto, menilai perkelahian pelajar karena
"kelemahan" guru, di samping kondisi lingkungan yaitu lokasi
sekolah yang berdekatan. Guru, katanya, mestinya tak hanya
mengajar di depan kelas. "Mereka harus bisa menanamkan bahwa
berkelahi bukan suatu kebanggaan, tetapi hal yang harus
dihindarkan." Dia berbicara Sabtu lalu di Istana Negara, setelah
menghadiri pertemuan peserta Temu Karya Kepala BP7 se-Indonesia
dengan Presiden.
Tapi, menurut Coldenhoff, guru tak bisa disalahkan. Jumlah
mereka amat sedikit sementara beban kerja cukup berat. Banyak
yang harus mengajar di tempat lain, sambil membantu anak didik
dalam kegiatan di luar sekolah.
Soeprapto mengemukakan tiga tingkat penyelesaian. Meliburkan
sekolah, katanya, merupakan upaya jangka pendek menghindari
perkelahian. "Bila perlu tempatkan ABRI di kedua sekolah itu."
Program jangka menengah, ia mengusulkan agar di tahun mendatang
penerimaan murid baru dikurangi jumlahnya. Dan program jangka
panjang, tak lain memisahkan kedua sekolah itu.
Coldenhoff nampaknya sejalan dengan pemikiran itu. Dia tak
melihat penggabungan kedua sekolah yang berselisih -- seperti
dileburnya SMA IX dan SMA XI menjadi SMA 70 -- bisa memecahkan
persoalan.
Bila SMA 70 dan SMA VI digabung, jumlah siswa menjadi besar
sekali: sekitar 6.000. Dan sekolah dengan siswa sebanyak itu
akan menimbulkan masalah tersendiri. Bila keduanya dipisahkan,
menurut Coldenhoff, akan ada sekolah yang merasa dirugikan
(karena harus pindah) dan ada yang merasa untung. Lagi pula,
mencari lokasi untuk sekolah yang baru bukan hal mudah.
Lokasinya tak akan berkembang seperti Bulungan sekarang ini:
dekat dengan pusat perbelanjaan, gedung bioskop dan keramaian
lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini