Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Digabung susah dipisah susah

Perkelahian massal antar pelajar SMA 70 dan SMA 6. (pdk)

26 Februari 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGGABUNGAN SMA Negeri IX dan SMA Negeri XI berlangsung Oktober 1981. Belajar di satu atap, SMA Negeri 70, para siswa (lebih 4.000) tak lagi terdengar berkelahi. Tapi sekolah itu Februari ini mendapat musuh baru: SMA Negeri VI, yang juga terletak di kompleks Bulungan, Jakarta Selatan. Sejak 14 Februari, kedua sekolah itu terpaksa diliburkan. Belum tahu sampai kapan. Masalahnya, seperti dikatakan Kepala Kanwil P&K DKI Jakarta Louise Eliabeth Coldenhoff, "bukan sekadar masuk saja, tapi apa langkah selanjutnya agar perkelahian tak terulang lagi." Perkelahian massal antarpelajar kedua sekolah itu sudah tercatat empat kali. Bentrokan pertama terjadi 7 Februari. Lalu berlanjut tiga hari kemudian, hari Kamis. Atas instruksi Kanwil dan saran Kadapol Metro Jaya, kepala sekolah hari itu mengumumkan bahwa sekolah diliburkan selama dua hari. Ternyata keesokan harinya, banyak siswa yang berdatangan ke sekolah untuk melanjutkan "perhitungan" dengan "musuh" mereka. Bentrokan terakhir, yang terjadi 14 Februari, tak kalah seru dibanding sebelumnya. Kali itu nampaknya anak SMA Negeri 70 berinisiatif menyerang. Sejak Senin pagi itu, sekitar 500 pelajar -- di antaranya terlihat putri --bergerombol di muka sekolah. Mereka berteriak-teriak dan nampak beringas. Melihat gelagat buruk, anak SMA Negeri VI membuat pagar betis di sekolah mereka. Sembari memukuli pagar besi, mereka menyiapkan batu besar kecil. Petugas keamanan, yang terus disiagakan semenjak kerusuhan terjadi seminggu sebelumnya, segera bertindak. Dengan tembakan peringatan dan kawalan sebuah helikopter polisi di udara, petugas menggiring anak-anak SMA 70. Petugas lain berjaga-jaga agar anak SMA VI tak meninggalkan halaman sekolah. Suasana kacau sedemikian rupa, sehingga penonton yang menyaksikan penggiringan berkomentar, "Persis kayak Operasi Ganesha! " Toko-toko di bilangan Blok M, Kebayoran Baru, segera ditutup. Dan para pedagang kecil menjauhkan diri dari lokasi kerusuhan. Namun tak urung, beberapa toko dan kedai minuman menjadi sasaran pelajar, kacanya pecah berantakan. "Pelajar sekarang kok buas begitu, ya?" komentar seorang ibu sambil menggandeng anaknya. Ia urung berbelanja karena toko-toko ditutup. Tak jelas benar mengapa mereka berkelahi. Konon ada surat tantangan yang dialamatkan ke SMA 70, meski banyak yang tak yakin surat itu buatan anak SMA VI. Ada lagi yang mengatakan, karena teman wanita mereka sering diganggu. Menurut Coldenhoff, pihaknya kini sedang mengevaluasi masalah keributan itu. "Saya meminta bantuan para orang tua murid untuk mengembalikan kondisi sekolah seperti semula," katanya. Gubernur DKI, R. Soeprapto, menilai perkelahian pelajar karena "kelemahan" guru, di samping kondisi lingkungan yaitu lokasi sekolah yang berdekatan. Guru, katanya, mestinya tak hanya mengajar di depan kelas. "Mereka harus bisa menanamkan bahwa berkelahi bukan suatu kebanggaan, tetapi hal yang harus dihindarkan." Dia berbicara Sabtu lalu di Istana Negara, setelah menghadiri pertemuan peserta Temu Karya Kepala BP7 se-Indonesia dengan Presiden. Tapi, menurut Coldenhoff, guru tak bisa disalahkan. Jumlah mereka amat sedikit sementara beban kerja cukup berat. Banyak yang harus mengajar di tempat lain, sambil membantu anak didik dalam kegiatan di luar sekolah. Soeprapto mengemukakan tiga tingkat penyelesaian. Meliburkan sekolah, katanya, merupakan upaya jangka pendek menghindari perkelahian. "Bila perlu tempatkan ABRI di kedua sekolah itu." Program jangka menengah, ia mengusulkan agar di tahun mendatang penerimaan murid baru dikurangi jumlahnya. Dan program jangka panjang, tak lain memisahkan kedua sekolah itu. Coldenhoff nampaknya sejalan dengan pemikiran itu. Dia tak melihat penggabungan kedua sekolah yang berselisih -- seperti dileburnya SMA IX dan SMA XI menjadi SMA 70 -- bisa memecahkan persoalan. Bila SMA 70 dan SMA VI digabung, jumlah siswa menjadi besar sekali: sekitar 6.000. Dan sekolah dengan siswa sebanyak itu akan menimbulkan masalah tersendiri. Bila keduanya dipisahkan, menurut Coldenhoff, akan ada sekolah yang merasa dirugikan (karena harus pindah) dan ada yang merasa untung. Lagi pula, mencari lokasi untuk sekolah yang baru bukan hal mudah. Lokasinya tak akan berkembang seperti Bulungan sekarang ini: dekat dengan pusat perbelanjaan, gedung bioskop dan keramaian lainnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus