BAGIAN kepala menghitam, mata menguning, dan perut jadi merah. Dengan bentuk rusak itu, ribuan ikan konon mengambang di pelabuhan Tanjungpriok. Mula-mula awal Agustus lalu. Kemudian dikabarkan juga awal pekan ini. Berita pun meluas dengan cepat: ada keracunan ikan di Teluk Jakarta. Dan orang Jakarta -- terutama pemakan ikan cemas. Sudahkah Teluk Jakarta kena racun begitu dahsyat, hingga ikan-ikan di kawasan itu tak bisa lagi dikonsumsi? Mula-mula, tanda-tanda menunjukkan keadaan itu. Harian Merdeka mengungkapkan, ribuan ikan yang mengambang itu terdiri dari berbagai jenis: baik ikan kecil yang hidup dekat dengan permukaan maupun ikan besar yang biasanya bermukim di dasar laut. Semuanya menunjukkan ciri yang sama: bagian perutnya hancur dan di sekitar tubuh ikan terdapat buih berwarna kecokelatan. Berita tak cuma meluas di dalam negeri. Kantor berita Reuter mengabarkan pula perihal kematian ikan secara masal itu dan menegaskannya sebagai keracunan logam berat merkuri (Hg). Mengutip pendapat seorang pejabat Lembaga Oseanologi Nasional (LON), kantor berita asing itu yakin Teluk Jakarta telah tercemar logam berat. "Kondisi ikan-ikan yang mati," tulis Reuter, "menunjukkan adanya kontaminasi berat yang sangat berbahaya." Berbahaya? Sampai beberapa hari, sebenarnya tak satu pun kesimpulan yang pasti bisa ditarik, apa yang menyebabkan ribuan ekor ikan menemui ajal. Sejumlah pejabat yang berwenang dikabarkan sudah turun ke lapangan, tapi belum ada sepotong pun kesimpulan perkiraan yang diumumkan. Tak berarti tak ada tindakan. Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara, Dr. Ketut Brata Punia, mengambil aksi cepat. Ia mengimbau penduduk agar tidak memakan ikan-ikan yang mengambang secara misterius itu. Ia mencemaskan keracunan merkuri. Ini tampaknya langkah sendirian. Sebab, Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Prof. A.A. Loeddin pejabat di atas Ketut Brata Punia, agaknya kurang sependapat. Ia mengemukakan perkiraannya: kematian ikan-ikan itu akibat pendinamitan, suatu usaha untuk menangkap ikan secara gampang. Toh orang kebanyakan curiga pada pencemaran limbah industri. Harian Sinar Harapan, misalnya, melalui beberapa pemberitaannya yang berturut-turut, menyerang beberapa pabrik besar di lingkungan Teluk Jakarta sebagai penyebab keracunan. Harian itu mengungkapkan pula, di pantai Bekasi, sekitar 15 km dari Tanjungpriok, juga ditemukan ikan mengambang. Fakta ini menunjukkan, kemungkinan pendinamitan menjadi tak masuk akal, melihat luasnya areal, yaitu sepanjang sudut timur Teluk Jakarta. Ikan-ikan memang pada mati, hampir sepanjang Teluk Jakarta. Karnawi, seorang nelayan yang bekerja di sepanjang Teluk Jakarta, mengutarakan bahwa sejak 1 Agustus ia melihat ikan mati mengambang sampai hampir mendekati Muara Angke di sisi barat. Selama sekitar tiga hari, ikan-ikan itu mengapung dan bertambah banyak. "Saya nggak mau ambil, karenanya baunya busuk, warnanya biru dan sudah hancur," ujar nelayan asal Brebes itu pada Gatot Triyanto dari TEMPO. Namun, di muara Kalibaru di Cilincing, beberapa pemuda tak sehati-hati Karnawi. Mereka menangkap ikan-ikan mengambang yang pingsan, lalu membakar, dan kemudian menyantapnya. Akibatnya mereka mencret. "Sejak sekitar 31 Juli lalu, memang ada beberapa anak di sini yang keracunan," ujar Tri Sukmono, seorang pengusaha pengasinan ikan di Kelurahan Kalibaru. Toh keracunan itu tak menimbulkan korban mati. "Mereka hanya mencret-mencret selama tiga empat hari, tak ada gejala mengkhawatirkan seperti pusing kepala atau lainnya," kata Sukmono lagi kepada TEMPO. Selang seminggu setelah secara masal ikan pada mati di beberapa tempat Teluk Jakarta, masih juga simpang siur penyebabnya. Ini membuat berbagai kesimpulan kemudian mengalir sampai ke dugaan adanya pencemaran logam berat, khususnya merkuri dan alumunium. Pencemaran logam berat di Teluk Jakarta adalah sebuah masalah lama yang telah berulang kali muncul ke permukaan. Pencemaran ini praktis diakui semua lembaga penelitian, baik resmi maupun tidak resmi. Tapi terdapat perbedaan yang sangat bervariasi dalam menentukan tingkat bahayanya. Pangkalnya adalah industri-industri yang berjajar rapat di sepanjang 17 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta, maupun di tepi Teluk Jakartanya sendiri. Seorang pencinta lingkungan, Dr. Meizar B. Syafei, meneliti pasal keracunan logam berat ini sejak tahun 1979. Sampai kini menurut Meizar, ada 14 anak dan 10 orang dewasa yang meninggal dunia karena keracunan itu. Semua korban itu bermukim di sekitar Muara Angke dan Kramat Luar Batang. "Untuk tahun ini saja, sudah bertambah menjadi tiga orang lagi, dua anakanak dan seorang dewasa," kata dokter itu. Berdasar data-data klinis, Meizar yakin, penderita keracunan logam berat di Teluk Jakarta sama dengan korban keracunan merkuri di Teluk Minamata, Jepang, antara tahun 1953 dan 1960. Korban keracunan di Minamata ini memang dramatis dan mengguncangkan. Korban-korban yang di Teluk Jakarta yang ditunjukkan Meizar, alhamdulillah tak sejauh itu. Toh, sebagian besar menunjukkan cacat mental. Muhammad Idris, 12, misalnya, memang masih bisa menonton televisi. Tapi penduduk Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, ini sehari-hari tak berdaya sama sekali: tak ada pekerjaan yang bisa dilakukannya sendiri. Tangan dan kakinya juga mirip dengan korban keracunan merkuri. Ida, yang tinggal beberapa rumah dari kediaman Idris, punya keadaan lebih parah. Ia praktis tak bisa bereaksi sama sekali. "Kalau ada lalat menempel di matanya, ia diam saja," ujar Meizar. Keadaan Ida memang mirip dengan tanaman hidup. Melihat tanda-tanda di Teluk Jakarta tahun 1983, Meizar mengundang Prof. Masazumi Harada yang melakukan penelitian Minamata dan menemukan sebagian besar kasus keracunan merkuri di teluk itu. Harada tertarik untuk meneliti kasus-kasus di Teluk Jakarta. Untuk itu ia mengambil beberapa contoh rambut guna diteliti dalam untuk mencari kesimpulan sejauh mana tingkat keracunan terjadi. Ternyata, hasilnya, tingka keracunan merkuri di Teluk Jakarta jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan kontaminasi Teluk Minamata di Jepang. Namun, tak berarti Teluk Jakarta tidak tercemar. Toh tak berarti semua kasus keracunan di teluk itu adalah akibat kontaminasi logam berat. Juga dalam kasus kematian ikan secara masal yang kini terjadi. "Bukan, bukan keracunan logam berat," ujar Dr. Kasijan, kepala penelitian dan pengembangan LON. Hal yang sama diutarakan pula oleh Soemaryo Wijoyo, Kepala Dinas Perikanan DKI. "Keracunan logam berat terjadinya kumulatif, tidak mendadak," katanya. Kedua pejabat itu sama-sama mengutarakan, keracunan ikan di Tanjungpriok dan Bekasi itu tiba-tiba meninggi pada suatu saat. Lalu apa penyebab keracunan itu? Kedua lembaga itu menyatakan tidak tahu. Di tengah kesimpangsiuran itu, yang hampir dua minggu lamanya, diam-diam Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Prof. Emil Salim, menurunkan tim untuk melakukan penyelidikan. Selain menuju lokasi terjadinya kematian masal ikan, KLH juga menghimpun seluruh data penelitian yang sudah dilakukan. Khususnya, dari Pusat Penelitian, Pengembangan Perkotaan dan Lingkungan (P4L) DKI. Emil Salim dalam keterangannya minggu ini menegaskan kematian ikan secara masal di beberapa tempat di Teluk Jakarta bukan karena keracunan logam berat. Berdasar laporan yang didapat dari para nelayan, awal kematian ikan-ikan itu tepatnya 29 Juli lalu. "Ketika itu, ditemukan sejumlah ikan yang mabuk kemudian mati, tepatnya di pertambakan Sampur, ujar Menteri. Pertambakan ini terletak di muara Kalibaru. Sesudah itu, ditemukan pula bangkaibangkai ikan di Muara Karang. "Kematian ikan yang terakhir yang dijumpai, yaitu di sekitar muara Sunai Bekasi," ujar Emil lagi. Langkah pertama penelitian yang dikoordinasikan KLH adalah mencari sebab kematian ikan berdasar sampel-sampel ikan yang didapat. Yang diteliti, apakah ikan-ikan itu mati akibat gejala fisik, seperti akibat ledakan, atau akibat keracunan bahan-bahan kimiawi, atau akibat aspek biologis, misalnya terkena penyakit dan kekurangan oksigen. Hasil penelitian menunjukkan, kematian terbukti bukan karena faktor fisik. Tak ada cedera akibat ledakan, juga jejak-jejak perubahan arus panas dan dingin yang membunuh. Juga tak tampak kematian akibat faktor biologis. Maka, yang tersisa, yang tampak jelas pada penelitian adalah keracunan kimiawi. Keracunan kimiawi ini didukung penelitian di kawasan lingkungan tempat ikan-ikan itu bermatian. Berdasarkan hasil penelitian, baik dengan sampel ikan yang mati, ikan yang hidup, lumpur dan air laut sepanjang lokasi Sampur sampai pantai Marunda ditemukan kadar natrium dan fenol yang "menarik perhatian". "Kadarnya jauh lebih tinggi dari normal," ujar Menteri. Kandungan natrium memang ada pada ikan yang mati sebesar 4.500 ppm (bagian per satu juta dalam 1 liter). Ini fatal bagi hewan laut itu, sebab batas ambang aman, unsur kimia anorganik ini, bagi ikan adalah 650 ppm. Kandungan fenol pada ikan ditemukan 0,04 ppm, yang berarti dua kali di atas batas ambang amannya 0,02 ppm. Natrium dikenal sebagai salah satu unsur soda, dan fenol senyawa kimia oraganik yang banyak digunakan untuk pestisida. Bahaya unsur kimiawi itu praktis tak ada bagi manusia. Tapi bagaimana kandungan logam beratnya? Memang didapatkan pula kandungan merkuri, NH3 Pb, dan sianida. "Namun, tidak tergolong keracunan berat," jawab Menteri. "Itu dapat dibuktikan dengan gejala yang timbul di masyarakat yang mengkonsumir ikan, hanya mencret-mencret." Yang jadi soal kemudian ialah dari mana datangnya natrium dan fenol yang kemudian menimbulkan kematian beribu-ribu ekor ikan ini. Emil Salim bersama stafnya belum bisa menunjuk sebab yang khusus. "Diduga, sumber pencemaran datang dari laut, bukan dari darat," jawab Emil. Dan pencemaran dari laut ini muncul secara mendadak, dalam kadar tinggi. Masih belum bisa ditentukannya sumber pencemaran dengan sendirinya masih menimbun misteri di sekitar kematian ikan secara masal di Sampur dan Bekasi itu. Dan malapetaka itu mungkin juga bukan kecelakaan yang terjadi sekali-sekali, melainkan karena pencemaran Teluk Jakarta oleh kumpulan industri besar-kecil, yang berjajar rapat di sekitar kawasan itu. Agus Purnomo, Direktur Walhi (Wahana Lingkungan Hidup), sebuah kelompok pencinta lingkungan, berpendapat bahwa sumber pencemaran bisa saja limbah industri yang dibuang di tengah laut pada hari-hari tertentu. Agus, berdasar penyelidikannya, menemukan ada petugas yang membuang paket-paket limbah industri di pantai Marunda. "Ini memang problem industri," kata Agus. "Setelah tempat pembuangan penuh, sampah-sampah itu mau dibuang ke mana lagi kalau tidak ke laut?" katanya. Ikan-ikan yang masih juga mengambang mati sampai Senin pekan ini menandakan, Teluk Jakarta memang dalam bahaya. Jim Supangkat Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini