Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Belum Berpikir Yes, Tapi Masih Ya

Tim dari bappenas meriset hambatan mahasiswa pasca sarjana indonesia di as. mahasiswa indonesia kurang bisa berdiskusi & kurang mampu mencerna kuliah dalam bahasa inggris & kurang disiplin belajar.(pdk)

16 Agustus 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA bilang mahasiswa pascasarjana Indonesia yang mendapat beasiswa ke luar negeri, dipilih secara sembarangan? Tapi Prof. Dr. Mochamad Adnan, Dekan Fakultas Pasca-Sarjana UGM, Yogyakarta, mengeluh. Berdasar pengamatannya, ternyata banyak mahasiswa kita dalam mencapai Master atau doktor di negeri orang yang tak menepati waktu. "Mereka harus molor, paling tidak satu tahun, dari jadwal yang ditentukan," katanya Senin pekan lalu, sewaktu pembukaan Program Pasca-Sarjana UGM tahun akademi 1986-1987. Padahal, seleksi untuk memperoleh beasiswa itu ketat. Ada sejumlah wawancara, tes -- baik dalam bidang ilmunya maupun kemampuan bahasa Inggrisnya. Banyak pihak, tampaknya, setuju dengan sinyalemen itu. Termasuk juga OTO (Overseas Training Office), suatu badan di Amerika Serikat yang banyak memberikan beasiswa bagi mahasiswa Indonesia, yang ingin belajar di sana. Guna mengusut hambatan itulah, terutama yang terjadi pada mahasiswa kita di Amerika, Saparinah Sadli, Juni lalu, memang mengunjungi AS. Guru besar Fakultas Psikologi UI itu berangkat sebagai Ketua Kelompok Kerja Orientasi Lintas Kebudayaan, Bappenas. Ia, bersama timnya yang terdiri enam orang, mengamati dan mewawancarai -- melakukan semacam penelitian kecil, begitulah -- para mahasiswa di sana. Psikolog Budi Matindas, salah satu anggota tim, sempat berbincang-bincang dengan sekitar 100 mahasiswa dari 30 perguruan tinggi. Mereka antara lain yang belajar di Hawaii University, Minesota University, California University, dan Alabama University. Dari mereka, diperoleh gambaran bahwa cara belaiar yang berbeda memang bisa menjadi penghambat. Di AS, si mahasiswa harus aktif, banyak bertanya, berdiskusi, dan riset sendiri di perpustakaan. Yang terakhir ini memang jarang dilakukan mahasiswa Indonesia. Di samping belum terlatih juga karena perpustakaan di sana serba komputer. Untuk mengoperasikannya, agar bisa mendapat bahan atau data yang diperlukan, memerlukan latihan sendiri. Walhasil, makin repot. Mahasiswa kita, disimpulkan oleh Budi, merasa sulit mengemukakan pikiran atau mengungkapkan ide. Bila terpaksa berbicara dalam kelas, yang keluar adalah kalimat yang berbunga-bunga hingga maksud yang ingin diutarakan menjadi kabur. Dan akibatnya, dosen beranggapan bahwa si mahasiswa belum menguasai ilmunya. "Padahal, bila berdialog empat mata, umumnya dosen berkesimpulan bahwa mahasiswa Indonesia cukup cerdas," kata Budi pula. Kerepotan yang lain adalah yang disebut rasa cemas. Selama kuliah, ternyata, banyak yang diam tapi khawatir bila kembali ke Indonesia. Sebab, para mahasiswa -- yang diwawancarai dan diobservasi ini adalah yang terutama mendapat beasiswa dari OTO -- itu kebanyakan pegawai negeri, yang sebelum berangkat ke AS sudah mempunyai jabatan tertentu. Dan telah umum terjadi sekembali dari belajar mereka malah kehilangan posisi empuk yang dulu ditinggalkan, karena tempatnya sudah diduduki orang lain. Mereka yang tak bisa mengusir rasa cemas itulah yang kemudian agak kacau kuliahnya. Di samping itu, pejabat yang kuliah banyak melahirkan lelucon-lelucon, sebagian benar, yang lain tidak. Yang benar, seperti diceritakan Budi Matindas ini. Pernah, seorang mahasiswa baru tiba di pemondokan. Kebetulan, rekannya yang sudah lebih dulu tinggal di situ adalah bawahannya di kantor dulu. Wajar, kalau si mahasiswa bawahan itu membantu mengangkatkan kopor. Yang tidak wajar adalah ketika esok harinya, si mahasiswa pejabat itu minta kamarnya diberesi. Si mahasiswa pejabat baru sadar, setelah mereka ternyata sama-sama duduk dalam ruang kuliah, dan dosennya bicara bahasa Inggris, bukan Indonesia. Menurut Mochamad Adnan, dekan dari UGM tadi, kini tercatat ada 8.000 mahasiswa asal Indonesia belajar di luar negeri. Termasuk di sini adalah yang mengambil program diploma. Sulit diketahui, berapa banyak sebenarnya mahasiswa yang waktu studinya harus molor. Tapi, berapa pun jumlahnya, itu berarti menyangkut biaya yang sangat besar. Untuk setahun masa studi, umumnya diperlukan dana sekitar US$ 18 ribu atau Rp 18 juta lebih. "Kalau setahunnya ada seribu mahasiswa yang molor, berarti 'kan Rp 18 milyar pemerintah atau si pemberi mahasiswa rugi," kata Adnan. Bagi Adnan, terjadinya keterlambatan kuncinya adalah karena si mahasiswa tak terbiasa kerja keras dan tak mempunyai disiplin yang tinggi. "Kekurangan ini yang terlebih dulu harus dibenahi," katanya. Tapi ada kesulitan pokok, yang umumnya dialami oleh mahasiswa kita. Yakni, kemampuan mencerna kuliah dalam bahasa Inggris kurang. "Mereka umumnya belum berpikir dalam bahasa Inggris," kata Budi Matindas. Akibatnya bisa ditebak, mahasiswa itu kurang cepat menangkap isi kuliah. Itu bisa dipantau ketika kesempatan bertanya diberikan oleh dosen. Mahasiswa Indonesia kebanyakan melemparkan pertanyaan yang kurang relevan dengan topik kuliah. Bukan mereka bodoh-bodoh, tapi itu tadi, mereka memang tak menangkap seratus persen yang diberikan oleh dosen. Padahal, meski kurang, bila dibandingkan dengan kemampuan bicara bahasa Inggris antara mahasiswa kita dan Jepang, "lebih baik mahasiswa Indonesia," kata psikolog dari UI itu. Tapi harus diakui, mahasiswa Jepang lebih berpikir dalam bahasa Inggris, karena itu menangkap isi kuliah dengan lebih cepat dan lebih baik. Bukti bahwa hambatan bahasa sangat berarti, mahasiswa kita yang lamban biasanya yang mengambil kuliah ilmu-ilmu sosial -- yang membutuhkan lebih banyak bahasa buat berkomumkasi. Sementara yang mengambil ilmu eksakta, "relatif lebih cepat belajarnya." Tim ini, memang belum mengajukan saran. Untuk sementara, seperti dikatakan Saparinah, guru besar psikologi itu, agar kemampuan bahasa Inggris mahasiswa sebelum berangkat ke Amerika benar-benar digembleng dulu di tanah air. "Biar tak menghabiskan waktu, juga biaya," katanya. Bukan kesimpulan yang baru, memang, tapi kok masih saja terjadi. Surasono Laporan Indrayati (Biro Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus