MENJAWAB tanggapan Juwono Sudarsono (JS), Winarno Zain (WZ), dan Kwik Kian Gie (KKG), ada dua masalah yang mau saya kemukakan. Pertama, masalah logika intern kapitalisme dan kedua, masalah (penguasa) negara dan (pengusaha) swasta. Logika Intern Kapitalisme Aspek logika intern kapitalisme yang dipersoalkan JS dan KKG adalah unggulnya orang yang kuat modal dalam persaingan bebas. JS menyatakan, hal ini mungkin benar di Eropa pada awal abad ke-20, tapi sekarang tidak lagi. "Ragam kapitalisme internasional dewasa ini adalah sedemikian rupa sehingga pelipat ganda kemajuan progresif bukan lagi modal, melainkan jasa informasi, pengolahan data, dan transaksi keuangan yang tak kenal batas-batas kedaulatan negara," tulis JS. Barangkali, yang berubah bukanlah prinsip bahwa yang unggul adalah yang kuat modalnya, tapi pengertian modal itu sendiri. Modal tidak lagi terbatas pada uang, tanah, atau pabrik saja, tapi juga meliputi penguasaan informasi, kesanggupan mengolah data, dan sebagainya. KKG menolak masih berlakunya prinsip yang mengatakan bahwa yang bermodal kuat yang akan menang. Dia memberi contoh Kemchick Bob Sadino dan pedagang kaki lima penjual buah segar di dekat Jalan Barito, Jakarta. Kemudian KKG menyebut anak-anak para kapitalis baru yang ngawur dalam memakai modalnya yang besar. "Small is beautiful", kata KKG. (Dia lupa menambahkan bahwa "Big is powerful"). Kalau yang diperbandingkan adalah pemilik modal kecil yang efisien dengan pemilik modal besar yang ngawur, maka jelas yang pertama yang menang. Tapi, bagaimana kalau pemilik modal kecil yang efisien harus bertanding dengan pemilik modal besar yang juga efisien. Saya kira, Kemchick ataupun penjual buah dekat Jalan Barito tidak akan berumur panjang, kalau ada pemilik modal besar dalam usaha sejenis mau menghancurkan mercka. Kehangatan dan keramahan Bob Sadino dengan mudah dapat dibeli oleh sebuah perusahaan besar -- kalau perlu lebih hangat dan lebih ramah. Kalaupun mereka tetap bertahan, ini memang mungkin karena faktor "small"-nya. Artinya, karena mereka terlalu "small" untuk mengusik kaum pemilik modal raksasa. Aspek lain dari kontradiksi intern kapitalisme adalah melebarnya kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Tapi, pada saat ini saya kira tidak ada ahli ilmu sosial yang percaya bahwa kontradiksi ini begitu sederhana dan begitu otomatis, sehingga bila dibiarkan begitu saja pun akan terjadi sebuah revolusi sosial dan sistem kapitalisme selesai. Kecuali, kalau "ahli" ilmu sosial ini keterlaluan bodohnya. Jadi, agak berlebihan bila JS masih harus berpetuah bahwa "kenyataan sebenarnya jauh lebih rumit". Negara dan Swasta Salah satu faktor penting yang membuat kontradiksi intern kapitalisme menjadi tidak sederhana adalah peran negara. Ketiga komentator tampaknya punya asumsi yang kuat bahwa negara dan pengusaha swasta merupakan dua hal yang berbeda dan terpisah. Kalaupun terjadi keterkaitan (istilah KKG: kolusi), maka hal ini merupakan sesuatu yang tidak konsepsional. Saya ingin menyatakan bahwa kolusi antara negara dan pengusaha swasta dalam sistem kapitalisme bukan sesuatu yang insidental, tapi bersifat mendasar. Sistem kapitalisme merangsang orang untuk berlomba mengumpulkan harta. Bagi pengusaha, hal ini memang tujuan hidupnya. Hal ini pun benar bagi penguasa negara, meskipun bukan tidak ada perbedaan. Pengusaha swasta, dengan menggunakan modalnya (berupa penguasaan terhadap alat produksi), berusaha meraih laba sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Negara, melalui kekuasaan politiknya, berusaha menjaga kelestarian sistem ini untuk jangka waktu yang selama-lamanya. Karena itu, pengusaha swasta kurang peka terhadap kemungkinan keresahan sosial, sedangkan negara sebaliknya. Perselisihan antara pengusaha swasta dan penguasa negara dapat dijelaskan dengan kerangka uraian di atas, meskipun mereka sebenarnya mengarah ke tujuan yang sama. Adanya keraguan JS tentang ketepatan menamakan sistem yang ada di Indonesla sebagai kapitalis, dengan menunjuk adanya komitmen ideologi negara terhadap hajat rakyat banyak, bagi saya merupakan argumentasi yang lemah. Dalam sistem kapitalisme bukan saja dimungkinkan, tapi diharuskan bahwa negara berusaha memperkecil kesenjangan kaya-miskin. Yang tidak dapat dilakukan adalah menghilangkannya sama sekali. Sebab, membiarkan sekelompok orang menjadi berharta dan yang lainnya tinggal miskin merupakan motor yang menggerakkan sistem kapitalisme. Meskipun, kontradiksi ini juga yang pada akhirnya membawa kapitalisme ke liang kuburnya. Demikian juga dengan peran dominan dari negara di sektor ekonomi. Ini bukan sekadar etatisme, seperti yang dikatakan WZ. Kapitalisme di negara-negara yang sedang berkembang (NSB) selalu diikuti dengan etatisme. Ini dimungkinkan karena biasanya kaum pengusaha di NSB lemah, sehingga negara harus menggantikan mereka dalam melakukan investasi-investasi ekonomi. Hasilnya, negara jadi berperan ganda, di bidang politik dan ekonomi. Dengan menguasai kedua sektor ini, etatisme tidak dapat dihindari. Terutama kalau organisasi politik kerakyatan juga lemah. Nah, dalam rangka kapitalisme plus etatisme ini, terjadilah kolusi antara penguasa negara dan pengusaha swasta. Penguasa negara membutuhkan pengusaha swasta untuk membantunya mengumpulkan harta. Pengusaha swasta membutuhkan penguasa negara untuk melindungi mereka. Juga untuk menciptakan fasilitas-fasilitas bagi usaha mereka. Inti tulisan saya pada TEMPO 26 Juli 1986 hanyalah pernyataan secara sarkastis bagaimana kapitalisme menggejala di Indonesia. Di satu pihak, terdapat pemerintah yang, menurut saya, tidak memiliki program jelas dalam melaksanakan kapitalisme yang diperlunak. Konsep ekonomi campuran masih terlalu luas, demikian juga strategi yang dirumuskan di GBHN, sehingga hampir apa pun yang dilaksanakan dapat dinyatakan sesuai dengan GBHN. Inilah yang saya sebut sebagai ekonomi yang kaget-kagetan, banyak improvisasinya, meski tetap dalam jalur kapitalisme. Di pihak lain, terdapat pengusaha swasta yang hipokrit. Hanya berani bersaing kalau dia yang menang. Kalau tidak, dia menjerit minta perlindungan pemerintah sembari menjilat kembali ludah yang membela prinsip persaingan bebas. Tapi, dalam hal ini barangkali KKG benar. Ini bukan hipokrit, tapi memang merupakan sifat seorang kapitalis sejati. Ini menunjukkan "pintarnya kapitalis" (istilah KKG). Tujuan menghalalkan segala cara. Watak beginikah yang kita inginkan untuk bangsa Indonesia? Kemudian, menurut KKG, dalam kasus pasar swalayan saya membela kepentingan pengusaha kecil melawan pengusaha besar plus konsumen yang terdiri dari rakyat jelata. Saya terkejut terhadap kesimpulan KKG ini. Saya tanyakan kepada rekan-rekan saya adakah kesan seperti itu pada tulisan saya? Mereka semuanya berkata tidak. Rupanya, diperlukan lulus dulu dari program M.B.A. Prasetiya Mulya untuk mencapai kesimpulan secanggih yang ditarik KKG. Komentar lain yang menarik adalah pendapat KKG bahwa lebih baik menjadi seorang buruh perkebunan besar daripada petani pemilik tanah yang kecil. Sebagai buruh, gaji tetapnya jadi tiga kali lipat, katanya. Ditambah lagi ada sekolah dan poliklinik gratis. KKG lupa menyebutkan, sebagai buruh dia bisa di-PHK-kan. Bila ini terjadi, semua yang disebutkan itu menguap ke udara tanpa bekas. Dengan logika yang sama, KKG tentunya akan menyimpulkan juga bahwa sebaiknya kita kembali ke zaman "normal", ketika bangsa ini menjadi hamba-hamba penjajah tapi hidup lebih sejahtera. Jawaban ini akan saya akhiri dengan pernyataan dukungan terhadap seruan JS agar kita berani melakukan bongkar pasang konsep-konsep lama untuk menjelaskan perkembangan baru. Saya kira dalam polemik yang sekarang ini, adanya benturan pendapat yang membuat orang jadi kritis merupakan hal yang penting, di samping usaha mencari kebenaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini