GEMPA telah berhenti menggoyang Tarutung Penduduk yang mengungsi telah pulang kembali Tapi bekas-bekas gempa itu masih terlihat: kota itu porak-poranda sepcrti negeri yang baru kalah perang. Banyak rumah dan gedung miring atau ambruk dan jalan-jalan merekah. Kumah sakit umum (RSU) Tarutung, contohnya. Obat-obatan berserakan, meja lemari, dan perabot lainnya berjumpalitan. Rumah sakit itu memang sudah dikosongkan. Pasien diungsikan ke rumah sakit Balige, kota tetangga yang aman. Untung, gempa tak mampu merobohkan gedung rumah sakit yang dibangun Belanda, 1928. Itu bukan karena konstruksinya disiapkan tahan gempa. Menurut Ir. Teddy Boen, ahli gempa dari UI yang meninjau Tarutung, gdung RSU itu mampu bertahan, "Hanya karena disiplin bangunannya lebih baik dan teliti." Bangunan yang ambruk, seperti SD Inpres (11 roboh, 31 rusak berat), menurut Teddy Boen "Ternyata, karena konstruksinya tidak utuh." Rumah adat Batak yang banyak di daerah itu juga selamat karena atapnya ringan, dan bangunan terletak di atas ompak batu. Itu sesuai dengan konsep isolasi, yang sering didengungkan orang sebagai bangunan tahan gempa. Sebenarnya, setelah terjadi gempa di Sarulla, dl kabupaten yang sama, Tapanuli Utara, 1984, Gubernur Sum-Ut sudah menyurati para bupati di kawasannya, agar memperhatikan risiko gempa setiap membangun gedung. Daerah yang dianggap rawan gempa di Sum-Ut adalah Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara. Kedua kabupaten itu dianggap rawan karena dilintasi oleh patahan Semangko (Semangko Fault), yang secara visual - lebih kentara melalui foto udara - terlihat berupa lembah yang membentuk garis lurus sepanjang 1650 km. Patahan ini seakan membelah dua Pulau Sumatera, dari Teluk Semangko (Provinsi Lampung) sampai ke Banda Aceh. "Biasanya lembah itu berkelok-kelok, tapi yang ini tidak. Lurus memotong segmen kerak bumi," kata Profesor J.A. Katili, Dirjen Geologi dan Sumber Daya Alam Mineral Departemen Pertambangan & Energi. Kedua lempengan yang bertumbukan bergerak perlahan secara horisontal berlawanan arah, sekian mm sampai cm per tahun. Gerakan itu menyebabkan kerak bumi melengkung, dan sampai satu saat akan patah. "Nah, pada waktu itulah terjadi gempa," ujar Katih. Sebenarnya patahan Semangko sudah di ketahui sebelum Perang, tapi para ahlimenduga gerakannya vertikal. Baru pada suatu kongres ilmiah internasional di Tokyo, 1966, dua ahli Indonesia, Katili dan Fred Hehuwat, berhasil membuktikan patahan itu bergerak horisontal. Pengetahuan tentang gerak itu menambah khazanah untuk kepentingan ilmiah. "Kalau kerusakan yang disebabkannya sama saja," kata Katili. Lempeng sebelah timur - kalau Tarutung yang termasuk dalam zone patahan besar itu diambil sebagai contoh, berarti yang dimaksud adalah dacrah di timur Tarutung bergerak ke selatan, dan lempeng sebelah barat bergerak ke utara. Patahan (sesar) itu mempunyai kedalaman yang amat sangat. "Pada beberapa tempat sampai menembus dapur magma, hingga kedalaman 350 km," kata Fred Hehuwat, ahli sedimentologi LIPI. Menurut Fred, yang bergerak kini adalah sesar sebelah barat, sedangkan yang timur sudah tak aktif. Hehuwat mengakui, gerakan patahan Semangko tak termonitor secara sempurna. Sampai sekarang para ahli belum mengetahui seluruh wilayah sesar, yang mempunyai banyak cabang. Komponen dan karakter geraknya banyak yang masih gelap. Selain itu, stasiun pengamat gempa juga amat minim. "Idealnya untuk Sumatera 10 stasiun, yang ada baru tiga," katanya. Stasiun itu ada di Medan, Parapat, dan Padangpanjang. Kata Hehuwa lagi, "Di sesar Semangko itu masih banyak zone bayangan, yaitu daerah yang tak terjangkau oleh stasiun pengamat " Artinya, banyak kemungkinan gempa susulan yang tak teramalkan. Patahan itu bermula dari Burma, di utara, melintasi kepulauan Andaman, sampai di Sabang dan Banda Aceh. Lembah patahan yang lebarnya 1 sampai 2 km, kemudian membelah Sumatera, berujung di Teluk Semangko (Lampung), menyelinap ke palung Sunda. Tak melintasi Pulau Jawa. Sepanjang patahan adalah daerah rawan gempa. Itu terbukti dari catatan statistik. Mulai dari ujung utara, gempa terjadi di Sabang, awal 1986, kawasan Alas (masih Provinsi Aceh), 1916 dan 1921, Sarulla, Tapanuli Utara (1984), Sorik Marapi (Tapanuli Utara), 1892, Padangpanjang (1926), Kerinci aambi), 1909, sampai di Teluk Semangko (1908). Karena adanya patahan itu, serta potensi gempa yang bisa ditimbulkannya, pemerintah memang tak membangun proyek besar di kawasan itu, kecuali jembatan yang kebutuhannya memang mendesak. Proyek pembangkit listrik Asahan, misalnya, masih berjarak sekitar 100 km dari jalur itu. Getaran gempa Tarutung memang terasa ke sana tapi, menurut Katili, hal itu sudah diperhitungkan. Pembangunan terowongan bawah tanah untuk instalasi proyek itu sudah didesain untuk menahan gempa. Pada 1970, Pertamina merencanakan membangun depo minyak di Teluk Semangko. Gunanya untuk menampung minyak mentah dari Timur Tengah untuk diolah di kilang Cilacap. Teluk Semangko dipilih karena letaknya amat strategis, dan lautnya dalam, mudah didatangi kapal tanker. Karena daerah itu rawan gempa, pada 1977 Pertamina mengurungkan proyek itu dan menggantinya dengan depo terapung, berupa dua buah kapal (salah satunya kapal Burmah Enterprise, berbobot 450.000 ton) yang diapungkan di perairan lepas pantai Teluk Semangko. Sekalipun tak ada proyek besar, celakanya patahan yang menyisir sejajar Bukit Barisan itu melintasi kota-kota yang padat penduduk. Misalnya Banda Aceh, Takengon (di Provinsi Aceh), Tarutung, Padangsidempuan (Sum-Ut), Bukittinggi, Padangpanjang (kota yang pekan lalu ditimpa musibah tanah longsor), Lubuksikaping, Solok (Sum-Bar), Kapahiang Ranau (Jambi), Liwa dan Teluk Semangko (Lampung). Amran Nasution, Laporan Sayadi & Didi Sunardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini