Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Matinya seorang jawara

Saldi, jawara cikeusik, pandeglang, yang katanya kebal peluru, tewas ditembak polisi, setelah saldi membantai udin. saldi sudah membunuh 11 orang hanya karena persoalan kecil.

16 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RATUSAN penduduk bersorak girang. Saldi, 45, jawara yang katanya kebal, roboh di terjang peluru polisi, di hutan Desa Parungkokosan, Kabupaten Pandeglang, pagi awal Mei lalu. Jawara adalah sebutan bagi seorang jagoan di kawasan Banten, Jawa Barat. Pembunuh berdarah dingin itu nyaris legenda di desa-desa terpencil di Kecamatan Cikeusik, 110 km di selatan Kota Pandeglang itu. Di samping penduduknya sedikit perkampungan di sana terpencar dan dibatasi hutan lebat. Dan menurut info, Saldi memiliki sepucuk pistol Vickers dengan 12 peluru. Tak mudah melacak Saldi. Jagoan itu ditemukan ketika menyusuri jalan setapak lengkap dengan golok dan pakaian pangsi hitam. Kemudian Saldi lari, walau tembakan peringatan sudah dilepas. Akhirnya ditembak, di kedua tangan dan belikatnya. Ia masih mampu lari. Petugas yang melacak tetesan darahnya cuma menemukan sebuah helm proyek, sepasang sepatu laras dari karet, dan baju berdarah, sekitar 600 meter dari lokasi penembakan. Lima hari kemudian Saldi diketahui bersembunyi di rumah mertuanya di tengah hutan Cibaliung. Sekitar 400 pemuda, yang bangkit keberaniannya, kemudian membuat "pagar betis". Bersama petugas, mereka mengepung rumah panggung berdinding bambu berukuran 3 X 5 meter itu. Manan, Kepala Desa Parungkokosan, membujuk Saldi untuk menyerah. Ia mengancam. "Siapa yang berani mendekat akan kutembak," teriak Saldi. Manan mundur. Kemudian dari arah belakang, Saldi mendobrak dinding. Ia berusaha merebut senjata dari Serma Saefuddin, Kaditserse Polres Pandeglang. Tapi polisi itu menerjang dada Saldi, dengan peluru pistolnya. Saldi roboh. Mati. Seminggu sebelum ajalnya, suami dua istri dan ayah delapan anak yang bertubuh tinggi kekar itu menjerat Icher Udin, 28 tahun. Tetangganya yang beranak satu itu dibantai Saldi di hadapan istri korban, di halaman rumah mereka. Ia dibantu dua jasara lain, Omo, 28 tahun, dan Santaya, 30 tahun. Dua hari kemudian, mayat Udin ditcmukan sudah membusuk. Di tubuh korban ada 27 bekas bacokan. Ini gara-gara Udin menjual rumah kepada Saldi yang baru membayar uang muka Rp 30 ribu dari harga Rp 120 ribu itu. Saldi memaksa agar ia menempati rumah tersebut. Udin menolak jika belum lunas. Lalu terjadilah pembantaian pada sore itu. Udin bukanlah korban pertama. Jamir, 35 tahun, digorok di siang bolong, di depan orang banyak di desa itu. Pasalnya, hanya karena Saldi kalah main gaple. Kejadian itu empat tahun lalu itu, dan tak ada yang berani melapor ke polisi. Tapi baru setelah kematian Udin, laporan masuk ke Bupati dan Kapolres Pandeglang. Mayor Didi Widayadi, yang baru enam bulan jadi Kapolres Pandeglang, segera memimpin tim gabungan, menguber mencari Saldi. Di rumah istri mudanya, polisi menemukan dua golok bekas membantai Udin. Juga, sepucuk surat dari Santaya kepada Omo. Isinya, antara lain, menceritakan dua orang saksi yang mehhat pembunuhan itu akan dihabisi. Mistar dan Sidik, dua hansip yang menyaksikan pembantaian Udin itu, sampa saat ini tak tentu rimbanya. "Diduga sudah dibunuh oleh Santaya," kata Kapolres. Berdasar surat itu kemudian Omo diciduk di rumahnya. Dari Omo-lah terungkap cerita pembunuhan Udin. Sedangkan Santaya, saat ini masih buron. "Saldi membantai lawannya di hadapan orang banyak, supaya mereka takut melapor kepada polisi," kata Manan, kepala desa tadi. Padahal, sejak 1970, jawara itu telah menghabisi nyawa sekitar 11 orang -- umumnya karena soal kecil. Tapi bukan nyawa saja yang diminta Saldi. Bila ada gadis cantik di desa itu, ia memaksa untuk mengawininya. Saerah, 28 tahun misalnya, yang jadi istri kedua Saldi. Karena keterpaksaan itu, "Saya memang mengharap ia mati," kata ibu seorang anak itu, seperti diceritakan pada kapolres Pandeglang. Yang gembira juga menantunya yang bekerja di proyek irigasi reluklada, tak jauh dari desa itu. Ia dikenai wajib setor gajinya kepada Saldi, tiap bulan. Di tahanan Polres, Omo heran Saldi ditembus peluru dan tewas. "Saya percaya dia itu kebal. Mungkin dia sial," komentarnya. Tapi Mayor Didi Widayadi tak percaya Saldi kebal. "Buktinya, ia mati tertembak," katanya. Hasan syukur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus