IDA Iasha, artis cantik, yang akhir bulan lalu menghebohkan karena terpaksa dikeluarkan Imigrasi dari Indonesia, pekan ini, sudah bisa duduk santai di rumahnya. Sebab, Kartu Izin Masuk Sementara (KlMS)-nya, yang dicabut pihak Imigrasi bulan lalu, sudah dikantungi wanita Indo-Belanda itu kembali. "Sekarang suami saya - Eddy Syahputra, WNI asli - lagi mengurus Surat Tanda Melapor Diri (STMD) dari polisi," kata Ida, yang kini menghindar bertemu wartawan. Kecuali STMD, kata Ida, 24, ia juga lagi mengurus surat melepaskan kewarganegaraan asalnya di Kedubes Belanda. Surat itu diperlukan Ida untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. "Kalau surat WNI saya keluar nanti, saya akan tampil kembali di depan umum," ujar pemeran utama sejumlah film Indonesia itu (lihat Pokok & Tokoh). Jumat tiga pekan lalu ia terpaksa diberangkatkan secara rahasia oleh pihak Imigrasi ke Singapura, setelah terbongkarnya kedok Ida sebagai orang asing yang bekerja - menjadi artis film - di Indonesia tanpa izin. Dirjen Imigrasi Soelarso tidak membantah pemberangkatan Ida ke Singapura itu diatur oleh instansinya. Tapi ia membantah keras bahwa biaya keberangkatan Ida bersama mertuanya, Kolonel (purnawirawan) Syarief Hasyim dan istri, dibiayai Imigrasi. "Dari mana uangnya? Tidak ada anggaran untuk itu," katanya. Dirjen juga membantah berita TEMPO (Hukum, 2 Mei) yang menyebutkan bahwa sehari setelah dikeluarkan dari Indonesia Ida sudah memperoleh KIMS beserta visa masuknya kembali ke Indonesia. "Karena ia hanya di-exit permit only (EPO) dan tidak masuk daftar hitam, ia memperoleh kembali visa masuk ke Indonesia. Tapi KIMS-nya baru diurusnya di Jakarta," ujar Soelarso. Namun, kasus Ida - orang asing yang bekerja di sini tanpa izin - bukanlah hal baru. Menurut laporan wartawan TEMPO di berbagai daerah, selain sudah terjadi lama kasus serupa itu jumlahnya tak sedikit. Mereka bahkan bekerja di Indonesia tanpa KIMS dan hanya memanfaatkan visa wisata (yang berlaku dua bulan), visa turis (30 hari), dan visa kunjungan (28 hari). "Kalau masa berlaku visa itu habis, mereka pergi ke Singapura untuk mendapatkan visa baru dan masuk lagi ke Indonesia," kata Kakanwil Departemen Kehakiman Sumatera Utara, M. Dimyati, beberapa waktu lalu. Akibat praktek semacam itu, kata sebuah sumber TEMPO, banyak perusahaan, terutama di Jakarta, bisa dikendalikan oleh orang asing, bahkan milik orang asing, walau formalnya milik dan dikelola orang Indonesia. "Ada perusahaan kontraktor bangunan yang 60% tenaga insinyurnya dari Singapura," kata sumber itu. Di Bali, menurut sumber TEMPO di Kanwil Imigrasi, praktek semacam itu juga tidak kurang. Konon, banyak orang asing dari Eropa dan Amerika yang membuka usaha terselubung, dengan cara memakai orang Indonesia - biasanya wanita yang merangkap pacarnya - untuk dijadikan kedok usahanya. Kegiatan bisnis orang asing itu, katanya, meliputi industri makanan, pakaian jadi, bahkan kerajinan. "Banyak sekali orang asing yang membuka usaha secara terselubung di sini," ujar sumber TEMPO itu. Di Jawa Barat lain lagi ulah orang-orang asing yang datang ke sana. Menurut Koordinator Imigrasi Kanwil Kehakiman Jawa Barat, Arsyad Suhandi, ada "model" orang-orang asing pensiunan menetap secara gelap di daerah itu - dan kawin dengan mojang Parahiangan. Salah seorang dari 10 orang asing semacam itu yang ketahuan adalah seorang Belanda berusia 60 tahun yang kawin dengan gadis berusia 22 tahun di Tasikmalaya. Si Belanda setiap bulan menerima uang pensiunnya Rp 900 ribu melalui Kedubes Belanda di Jakarta. "Uang sebanyak itu di negerinya hanya cukup untuk menyewa sebuah flat, tapi di sini ia bisd hidup tenang dan beristri baru," ujar Arsyad. Setiap visanya habis, si Belanda tadi kembali ke Singapura dan meminta visa balik ke Indonesia. "Biasanya orang semacam itu tidak akan ketahuan kalau rukun saja dengan Istrinya, tapi baru terbongkar kalau merka cekcok," tambah Arsyad. Dan Si Belanda memang baru ketahuan setelah istrinya melapor ke polisi. "Kalau dulu orang asing yang masuk ke sini untuk wisata atau turis diteliti, misalnya berapa mereka bawa uang ke Indonesia, sekarang ketentuan itu dihapuskan," kata Arsyad . Kata Kepala Bidang Imigrasi Kanwil Departemen Kehakiman Sumatera Utara, Moesnal Afandi, "Pengawasan mereka di Indonesia merupakan wewenang polisi." Moesnal, setiap bulannya menerima kedatangan sekitar 4.000 orang asing melalui Bandara Polonia, Medan. Pada 1983, pihak Imigrasi di Sum-Ut itu pernah juga tercatat mendeportasikan 11 orang Singapura yang bekerja sebagai tenaga ahli berbagai restoran di Medan dengan memanfaatkan visa turis. Kesulitan pengawasan orang asing semacam itu juga diakui oleh Koordinator Imigrasi Jawa Barat. "Mereka yang masuk ke sini, ibarat batu nyemplung ke kali. Kita cuma tahu kapan dan lewat mana masuknya. Tapi di mana dia tinggal, apa yang dilakukannya, sulit diketahui," kata Arsyad Suhandi. Kalaupun bisa diketahui, katanya, semata lantaran kebetulan, atau ada orang lain yang melaporkan ke polisi. Mereka yang bernasib sial begitu di Jawa Barat, tambah Arsyad, pada tahun lalu, sekitar 10 orang. Dirjen Imigrasi, Mayjen Soelarso, memahami kesulitan bawahannya dankemungkinan banyaknya orang asing yang beker)a secara diam-diam di Indonesia. "Tapi kalau ada yang melaporkan, pasti kami usir dari Indonesia," ujar Soelarso. Kecuali Ida, katanya, yang juga diusir dari Indonesia dengan status EPO adalah seorang pelatih bulu tangkis. "Dia tidak dimasukkan daftar hitam atas permintaan KONI, karena itu ia boleh masuk lagi ke Indonesia," kata Soelarso. Tapi jumlah yang ketahuan itulah yang hanya bisa dihitung dengan jari dibanding ribua lain orang asing yang tidak ketahuan bekerja di sini. Tapi bukankah pihak Imigrasi bisa curiga bila setiap dua bulan ada orang asing yang kembali ke Indonesia dengan alasan wisata, padahal baru saja berangkat dari sini. "Mereka curiga, tapi petugas di lapangan udara itu gampang diatur," ujar seorang sumber TEMPO. Nah, kalau sudah begii, persoalan mudah memang bisa menjadi repot.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini