SEBELUM lapangan terbang I Ngurah Rai dibangun, ahli-ahli teknik
Gajah Mada membuat model miniaturya, lengkap dengan laut dan
gelombang buatan. Risiko erosi laut lantaran terpaan gelombang
belokan dari Samudera Hindia memang sudah dibayangkan. Setelah
analisa model itu okeh, dibangunlah lapangan terbang
internasional pertama di Indonesia yang mirip Kai Tak di
Hongkong -- menjorok satu km ke laut.
Ternyata, gelombang laut di pantai Bali itu lebih dahsyat dari
dugaan sebelumnya. Pantai pasir pengapit landasan terbang ini
"terkikis sampai 5 meter setahun," tutur Adpel Ngurah Rai,
Sutarjo kepada I Nengah Wedja dari TEMPO. Mereka dari Direktorat
Landasan Ditjen Perhubungan Udara jadi garuk-garuk kepala.
Lantas dipasang banyak kerucut beton berkaki empat (tetrapod)
setinggi 1« meter sebagai benteng pelindung landasan dari
gempuran gelombang. Cara ini, kabarnya, hasil penyelidikan PT
Dwi Delta yang khusus mendalami perihal gelombang laut.
Kini, setelah tiga ribu tetrapod terpasang di situ, pengikisan
pantai terhenti. Malah "di selatan Pelabuhan Udara, pantai sudah
bertambah lebar 50 meter," ucap Sutarjo. Pihaknya masih
merencanakan menambah enam ribu tetrapod lagi. Kapan?
"Tergantung biaya," katanya.
Penambahan alat penolak erosi pantai itu dianggap masih perlu,
sebab kadang-kadang air bisa naik setinggi 3« meter. "Belum
pernah saya menjumpai pantai seperti ini," ucap seorang nakhoda
kapal laut yang kebetulan sedang turun ke darat. Namun ada
dugaan, justru bangunan menjorok seperti landasan I Ngurah Rai
itu telah membangkitkan arus balik yang begitu kuat menghantam
pantai.
Para pencari karang laut, yang nyatanya berusaha secara
besar-besaran, hadir pula di situ. Dengan menipisnya karang di
pantai, berkurang pulalah ikan hias yang berenang di perairan
pesisir situ. "Lima tahun lalu kami masih mudah menangkap ikan
hias di air dangkal untuk akuarium kami di rumah. Tapi sekarang,
ikan-ikan itu sudah menghilang," cerita seorang ibu rumah tangga
yang suaminya bekerja di kompleks Pusat Informasi Bangunan
Werdhapura, Sanur. Maklum saja karena rumahnya diamhil,
ikan-ikan itu pun mengungsi ke tempat yang lebih aman. Dan
dengan menipisnya karang, berkurang pulalah ketahanan pantai
menghadapi kikisan gelombang laut.
Betulkah begitu? "Kalau betul pengambilan karang laut itu
menyebabkan erosi pantai, mengapa pantai dekat Pura Dalem malah
tambah maju? Padahal di sampingnya orang ramai mencari karang?"
tanya Ida Bagus Ketut Beratha, Perbekel (Lurah) Desa Sanur.
Dekat pura itu memang terjadi suatu kelainan. Penambahan pantai
di situ telah mencapai 1 Ha.
"Dulu pura itu berdiri jauh di tengah laut. Tapi nyatanya kini
telah menyatu dengan daratan. 'Kan tak mungkin itu terjadi
karena karang diambil?" begitu seorang pencari karang Wayan
Bontok menimpali. "Pekerjaan ini sudah kami lakukan sejak tahun
'45. Kami tak mau merugikan pihak lain. Dan di sinilah beras
penghidup anak dan isteri kami," Wayan Kernet, seorang pencari
karang lain menyambung ucapan Bontok.
Ir. Kertiyasa, Kepala PU Kabupaten Bandung mengatakan ada
larangan mencari batu karang, tapi selalu dilanggar orang. Tahun
1976, ada sekitar 60 orang pencari batu karang diangkut ke
Pengadilan Negeri Denpasar. Mereka diberi dua pilihan: didenda
Rp 2000 seorang, atau menjalani hukuman kurungan seminggu
lamanya. Mereka memilih alternatif kedua.
Sekarang, mereka mencari batu karang lagi, tanpa ada yang
melarang. Hanya saja ada ketentuan, batu karang tak boleh dibawa
ke luar Desa Sanur. Pernah ada yang mencoba melanggar, tapi
keburu dicegat polisi. Truk yang mengangkutnya ditahan polisi
tiga hari.
Sementara pengambilan batu karang jalan terus, ombak laut terus
mengikis pantai. Siapa tahu, arus balik gelombang laut semakin
aktif menggerogoti pasir pantai Sanur untuk didrop di Ngurah
Rai. Tapi kalau ini terus terjadi, tempat kaum pelancong
berjemur santai di Hotel Bali Beach semakin sempit . . .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini