Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Awan jingga, masih membunuh

Senjata bio-kimia as yang dimaksudkan untuk menghambat gerakan gerilya tentara vietnam utara & front pembebasan nasional vietnam selatan ternyata dapat membunuh manusia dan binatang.(ilm)

6 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERANG Vietnam sudah sekian tahun usai, tapi korbannya masih tetap berjatuhan, termasuk di Amerika sendiri. Senjata bio-kimia AS yang diuji keampuhannya di sana tempo hari masih membunuh orang seperti Paul Reutershan. Pemuda yang berusia 27 tahun itu meninggal di RS Norwalk, New York, 10 hari menjelang Natal. Sepuluh tahun lalu Paul mulai menerbangkan helikopter AD-AS di medan perang Vietnam. Berkali-kali dia harus terbang rendah melintasi sejenis kabut jingga, hasil penyemprotan pesawat terbang AS. Zat kimia itu -- agent orange, begitu kalangan militer Amerika menyebutnya -- disemprotkan dari udara untuk membunuh pepohonan dan semak belukar di bawah. Dengan demikian gerakan gerilya tentara Vietnam Utara dan Front Pembebasan Nasional Vietnam Selatan (FPNVS) diharapkan dapat dihambat. Tugas helikopter antara lain mendrop pasukan darat AS dan Viet-Sel untuk mengejar para gerilyawan. Ternyata di kemudian hari, awan jingga yang diharapkan membawa kemenangan bagi tentara Amerika berbalik menjadi awan maut. Tak lama setelah menyelesaikan wajib militer, Paul menderita gangguan pada perutnya. Sekitar 15 bulan lalu, pemuda itu sadar bahwa dia menderita kanker perut. Dia bukan peminum. Juga bukan perokok. Makanannya pun normal. Makanya gangguan kesehatannya diyakininya berasal dari awan jingga yang berkali-kali dihirupnya di Vietnam. Zat kimia itu, sejenis chlorinated di-oxine yang juga dikenal dengan singkatan TCDD, oleh para ahli memang diakui sangat beracun. Paul Reutershan tak sendiri. Sejumlah veteran perang Vietnam di AS juga menderita gangguan kesehatan yang serupa. Bersama-sama mereka mendirikan organisasi para korban 'awan jingga', yang mereka namakan Agent Orange Victim International. Mereka berusaha mengajukan tuntutan ganti rugi sebanyak $ 10 juta ke alamat Dow Chemical Company yang telah membuat zat pembunuh tanaman (defoilant) itu. Dow Chemical menolak tuduhan bahwa awan jingga iN berbahaya bagi manusia. Kendati demikian, maskapai trans-nasional itu membentuk suatu kelompok kerja yang khusus ditugaskan menyelidiki efek zat kimia itu terhadap manusia. Kejadian ini saja, tulis Richard Severo dalam The New York Times, menunjukkan bahwa perusahaan itu belum cukup menguji efek agent orange sebelum mengunakannya di Vietnam. Kelompok kerja itu juga menemukan suku Montagnard di pedalaman Vietnam yang tersemprot kabut jingga itu menjadi seperti terbius, batuk-batuk, terbakar kulitnya, dan menderita pening. Ada juga kematian yang tak terduga di antara anak-anak suku pegunungan itu. Para ahli di suatu pusat penelitian di Atlanta juga berusaha mencoba efek zat kimia itu pada binatang. Gejalanya hampir serupa: binatang yang disemproti kabut defoilant itu kehilangan nafsu makannya, sakit perut, dan sakit seluruh sendinya. Sementara itu, Paul mengajukan kasusnya ke Jawatan Veteran untuk minta tunjangan. Tapi para petugas urusan cacad veteran menyatakan tak dapat memberikan tunjangan yang dimintanya. Di Televisi Dari ranjang sakitnya, Paul terus berkampanye untuk organisasi korban kabut maut itu. Kakaknya, Ny. Jane Dziedzic, sampai menjelang kematian adiknya telah menerima laporan dari 1000 veteran perang Vietnam lebih yang juga menderita penyakit serupa. "Mereka semua panik, sakit, dan tak tahu apa yang harus mereka perbuat," kata Jane. "Aku telah terbunuh di Vietnam, tanpa kuketahui," kata Paul Reutershan pada ibunya yang mengunjunginya di rumah sakit. Sebelum meninggal, dia masih sempat muncul di layar televisi kabel berkat banNan seorang kawan. Kau sang veteran, dengan wajah yang sudah tak jingga lagi: "Aku tahu, waktuku di dunia ini semakin sempit. Tapi dengan wakNku yang tinggal sedikit ini aku ingin memberikan kesaksian kepada dunia luas, agar jangan sampai menderita seperti apa yang kualami sekarang." Tunangannya, Laura Tasheiko, hadir di sebelahnya ketika dia meninggal dunia. Gadis itu menuturkan saat-saat terakhir bersama orang yang dicintainya. "Suaranya sudah lemah sekali. Suhunya mungkin sudah mencapai 105ø F. Dia berkata padaku, kita harus menghentikannya. Menghentikan apa, tanyaku. Jawabnya, meracuni dunia."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus