Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Di Penampungan, Mereka Berjejal

Satwa langka hasil razia bertumpuk di tempat penampungan. Tak mudah memindahkannya ke lembaga konservasi dan alam bebas.

13 April 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Panas udara di Dusun Paingan, Kulonprogo, Yogyakarta, membuat Lena betah berbaring malas. Ketika petugas Pusat Penyelamatan Satwa Liar Yogyakarta (PPSJ) memberikan irisan-irisan semangka, siamang berumur dua tahun ini juga bergerak lamban, meraih buah merah manis berair itu dan memasukkannya ke mulut. Usai makan, ia beringsut ke sudut yang paling dingin, berbaring dan menutup kelopak matanya.

Lena adalah satu di antara 26 satwa langka penghuni PPSJ. Mereka hasil razia yang digelar Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta akhir Maret lalu. Puluhan hewan yang dilindungi undang-undang digaruk dari berbagai hotel dan pemilik perorangan di Kota Gudeg. Sejak itulah tempat penampungan di lahan seluas 13,9 hektare yang baru beroperasi sejak 18 Maret lalu ini terisi aneka jenis satwa hasil razia. Selain Lena, antara lain ada burung elang, uwa-uwa, dan seekor buaya capit senyulong.

Di PPSJ, satwa hasil razia bisa tinggal nyaman. Kandang-kandang amat lapang karena penghuninya masih sedikit. Keadaan ini membuat PPSJ lebih mirip bakal kebun binatang ketimbang tempat penampungan. Makanan juga tak jadi soal. Kebutuhan buat hewan langka tercukupi. Selain itu, dua dokter hewan tiap hari rutin melakukan pemeriksaan dan mengecek makanan hidup buat penghuni PPSJ.

Berbeda dengan kondisi kandang di PPSJ Yogyakarta, Pusat Penyelamat Satwa (PPS) di Tegal Alur, Tangerang, memiliki kandang yang isinya berdesakan. Luas arealnya juga kecil saja, 3.000 meter persegi. Padahal di sini sudah ada 70-an jenis satwa yang terbagi dalam tiga kelas: mamalia, reptilia, dan aves. Keadaan makin sesak setelah ada razia. "Tiap kali razia, kandang-kandang selalu penuh," kata Yunus Makasau, penyidik di BKSDA DKI Jakarta yang rajin menggelar razia.

Lebih buruk lagi, tak semua hewan bisa segera meninggalkan PPS. Mestinya, menurut Edi Sensudi, Kepala PPS Tegal Alur, paling lama hewan berada di sini satu atau dua bulan. Namanya juga sementara. Sesudah itu, hewan-hewan harus diserahkan ke lembaga konservasi lain (translokasi) seperti kebun binatang, taman margasatwa, taman nasional, atau taman safari. Yang ideal, tentu mengembalikan hewan ini ke habitatnya (retroduksi).

Kenyataannya, baik translokasi maupun retroduksi tak mudah dilakukan. Keduanya memerlukan persiapan lama. Sebab, hewan-hewan ini sudah terbiasa hidup dalam kerangkeng yang dijejali makanan. "Amat bergantung pada manusia," kata Yunus. Padahal di alam liar mereka mesti mencari makan sendiri dan harus waspada terhadap predator. "Kalau sembarangan dilepas, bisa langsung mati atau ditangkap pemburu lagi," Yunus menambahkan.

Agar hewan siap, lebih dulu harus masuk lokasi persiapan. Menurut Edi, sering lokasi ini justru belum siap menerima kiriman hewan dalam jumlah banyak. Di Indonesia, menurut Willie Smits dari Gibbon Foundation, saat ini ada tak kurang dari 11 lokasi persiapan, di antaranya di Cikananga, Sukabumi, untuk jenis kucing besar seperti harimau dan singa, di PPS Yogyakarta untuk reptilia, Wana Riset Semboja di Kalimantan Timur untuk orangutan Kalimantan dan Bengkulu untuk orangutan Sumatera. Tapi, memindahkan hewan ke berbagai lokasi persiapan butuh biaya besar. Ini masih ditambah lagi, setiap upaya pengangkutan—apalagi yang jauh—selalu berisiko bagi kesehatan hewan.

Berbagai kondisi itu membuat laju translokasi dan retroduksi amat lamban. Di sisi lain, berbagai operasi penyelundupan satwa langka justru gencar dijalankan. Maka, bertumpuk-tumpuklah ribuan hewan hasil razia di tempat penampungan Tegal Alur.

Hewan itu kemudian berada di tempat penampungan lebih lama dari semestinya. Kini, penghuni paling "senior" di Tegal Alur adalah 2.930 ekor kura-kura sungai. Binatang dilindungi yang biasa berenang bebas di sungai-sungai Sulawesi dan Maluku ini sudah tiga tahun berada di Tegal Alur. Lembaga konservasi seperti kebun binatang tak begitu tertarik mengambil hewan ini karena tak terlalu menarik minat pengunjung. Selain itu, kondisi keuangan kebun binatang di Indonesia, yang umumnya tak begitu baik, akan menyulitkan kalau harus menambah koleksi hewan baru.

Situasi begitu membuat kondisi hewan di tempat penampungan Tegal Alur gampang stres dan mudah terkena atau saling menularkan penyakit. Meski sudah disiagakan dokter hewan selama 24 jam, kematian selalu datang menghampiri hewan di tempat penampungan. Yang paling baru, ada seekor musang, tiga bajing terbang dada putih, dan empat kelelawar kecil abu-abu. Satwa-satwa ini hasil tangkapan atas upaya penyelundupan 200 ekor binatang akhir Maret lalu ke Kuwait.

Selain translokasi yang lamban, stres, dan penyakit, masih ada ancaman lain bagi hewan hasil razia. Bahaya ini justru berasal dari tangan-tangan petugas yang mau untung sendiri.

Willie Smits punya pengalaman tentang hal itu di Surabaya. Suatu hari di awal tahun, datang petugas BKSDA yang menyita orangutan milik Doni (bukan nama sebenarnya). Doni pun pasrah dan merelakan binatang yang dibelinya dari seorang pedagang di Surabaya. Sorenya, Doni melihat-lihat koleksi hewan lain di pedagang yang sama. Ia berniat mencari piaraan lain yang bisa ia pelihara tanpa ditangguk razia. Ia kaget ketika melihat sesosok orangutan di balik jeruji milik si pedagang. Ia tak silap, karena ia sudah mengenal dan amat akrab dengan orangutan miliknya itu. Kejadian seperti ini bukan mustahil terjadi di tempat lain. "Tapi, membuktikannya teramat sulit," kata Smits.

Itu sebabnya, untuk mencegah berbagai kebocoran di PPS Tegal Alur, lalu-lintas hewan didokumentasi dengan cermat. Bahkan hewan yang mati pun akan divisum untuk kemudian dimusnahkan. "Selama ini tak ada petugas kami yang nakal," kata Edi Sensudi, Kepala PPS Tegal Alur. Smits, yang malang-melintang di Indonesia sejak 20 tahun lalu, membenarkan. "Sejauh pengetahuan saya, tidak ada," katanya tentang kemungkinan ada petugas PPS yang menjual hewan hasil razia.

Berjejalnya hewan hasil razia di lokasi penampungan tentu membutuhkan biaya besar buat perawatan. Jika tidak diperlakukan dengan baik, bisa-bisa lokasi penyelamatan berubah menjadi kuburan satwa langka. Untunglah, Gibbon Foundation menyuntikkan dana amat besar buat kegiatan ini. Di Tegal Alur, setiap bulannya perlu dikeluarkan biaya Rp 40 juta-60 Juta. Dana seluruhnya ditanggung Gibbon. Demikian pula duit buat pembangunan PPS Yogyakarta, biaya tiap bulannya berasal dari pundi-pundi Gibbon.

Bahkan dalam kegiatan razia yang kerap digelar di berbagai daerah di Jawa, dana operasi dikucurkan oleh Gibbon. Tak aneh, untuk tahun lalu, menurut Smits, yayasannya menghabiskan anggaran Rp 30 miliar. Untuk tahun ini, dana yang siap disuntikkan kurang-lebih sama.

Terlepas dari berbagai kekurangan dalam penanganan satwa hasil razia, baik Gibbon maupun BKSDA tak pernah jera mengerjakannya. Bahkan bulan Juli ini akan digelar operasi besar-besaran dalam skala nasional. Efektivitas berbagai razia ini, menurut Yunus, sudah terasa di beberapa tempat penjualan hewan langka di Jakarta.

Wartawan TEMPO yang mengamati berbagai tempat penjualan satwa di Jalan Barito dan Pasar Pramuka melihat para penjual kini tak berani terang-terangan memajang hewan koleksi langkanya. Mereka juga lebih berhati-hati kalau ada calon pembeli yang menanyakan hewan langka.

Syarifudin, seorang penjual burung di Pasar Pramuka yang kerap menyediakan elang bondol dan beruang madu, mengaku hanya mau membawa barang kalau sudah ada pembeli. "Kalau dipajang, bisa kena razia. Barang hilang, uang ludes, Mas," ujarnya. Ia pun mengaku, akibat banyaknya razia, frekuensi penjualan hewan ini menurun drastis. "Saya enggak berani ambil kalau belum ada yang pesan."

Namun, perkembangan itu belum diikuti penegakan hukum yang baik. Menurut Yunus, berkali-kali pihak BKSDA menangkap basah pelaku penyelundupan dan penjual satwa langka. Tak satu pun yang diproses pengadilan. "Berkas-berkasnya terhenti pada proses penyidikan," kata Yunus, getir.

Agus Hidayat, Ayu Cipta (Tangerang), Heru C. Nugroho (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus