Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KASUS Majalah TEMPO menonjolkan pertanyaan yang susah dan klasik. Mengapa sering terjadi kekerasan terhadap pers? Mengapa banyak orang dan organisasi massa gemar menempuh jalan kekerasan sebagai alternatif penyelesaian sengketa dengan pers? Tapi kasus TEMPO lebih unik. Dihakimi dulu, lalu dijadikan terdakwa dan sekaligus tergugat. Apa masalahnya? Masalah ini sudah berkali-kali dicoba dipecahkan oleh berbagai pihak, tapi belum pernah tuntas, yakni meletakkan persepsi masyarakat secara benar tentang hakikat kebebasan pers dan media massa pada umumnya. Di samping itu, perilaku kekerasan sudah menjadi nilai budaya baru di dalam masyarakat (violent culture). Dengan demikian, kasus kekerasan terhadap media massa setiap saat bisa terjadi.
Untuk memahami hakikat kemerdekaan pers atau media massa, orang mesti mengerti tentang rambu-rambu hukum dan etika sebagai batas kemerdekaan atau kebebasan itu. Kegagalan banyak orang memahami hal ini tentulah sangat rawan dari pengaruh berbagai istilah belakangan ini yang berkonotasi kecaman terhadap kinerja media massa. Opini publik yang buruk mengenai kinerja pers nasional telah lama terbentuk oleh berbagai istilah yang berkonotasi kritik keras terhadap media, termasuk kecaman dari Presiden Megawati, Menteri Negara Komunikasi dan Informasi Syamsul Mu'arif, dan kalangan anggota DPR. Kecaman ini meliputi antara lain "kebablasan pers", "pelintiran kata-kata" ("spinning of words"), "pemutarbalikan fakta", "character assassination", berita palsu dan provokatif dan tidak profesional ("wartawan bodrex" dan "muntaber"), dan berat sebelah atau tidak berimbang dalam pemberitaannya ("njomplang").
Soal benar-tidaknya istilah-istilah tersebut tak terlalu penting. Yang paling penting adalah pengaruhnya terhadap citra kinerja media di mata masyarakat. Dalam menyikapi kinerja media nasional, masyarakat cenderung melakukan generalisasi. Padahal tetap ada klasifikasi yang diukur dari mutu jurnalistik tiap-tiap media. Tetap ada pers yang berkualitas di samping popular press atau yellow press. Saya menggolongkan Majalah TEMPO ke dalam kelompok pers yang berkualitas.
Pemberitaan TEMPO tentang masalah Pasar Tanah Abang erat kaitannya dengan kepentingan umum dan TEMPO berupaya memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui masalah seperti itu. Dari sisi jurnalistik dan kode etik jurnalistik, pemberitaan TEMPO tersebut telah memenuhi semua teori dan prosedur yang standar. Di samping dipenuhinya rumus berita 5 W dan H, telah dilakukan wawancara dengan pihak-pihak yang berkompeten dan yang terlibat. Liputan dua pihak terpenuhi. Fakta jurnalistik itu menurut teori yang berlaku universal melenyapkan kemungkinan terjadi pencemaran nama di muka umum secara tertulis atau secara lisan yang diatur di dalam Pasal 310-311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (onrechtmatige daad). Hal itu pula yang diberlakukan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara majalah Time lawan mantan presiden Soeharto pada 2000. Ihwal yang teramat penting adalah TEMPO harus bisa membuktikan bahwa kesekian sumber informasi tersebut sungguh-sungguh telah diwawancarai. Ini pula yang diberlakukan dalam perkara majalah Time versus Soeharto. Salah satu alat bukti yang kuat adalah hasil rekaman wawancara.
Dalam menyusun dakwaan pencemaran nama baik melalui pers (delik pers), biasanya pihak penyidik mendahulukan Pasal 311 KUH-Pidana sebagai tuduhan primer. Pasal 310 dicantumkan sebagai tuduhan subsider. Padahal perbuatan nista ada pada pasal 310, dan baru setelah terdakwa tak bisa membuktikan nistanya, digunakanlah pasal 311 sebagai fitnah. Jika terdakwa menyatakan bahwa tulisannya yang menuduh orang lain melakukan perbuatan tercela atau melanggar hukum (nista) adalah untuk kepentingan umum, atau terpaksa dilakukan untuk membela diri, hakim biasanya membolehkan terdakwa membuktikan kebenaran tuduhannya (nistanya). Ketentuan itu terdapat dalam Pasal 312 (1) KUH-Pidana.
Ada masalah menarik. Bolehkah pihak yang merasa nama baiknya dicemarkan melakukan tuntutan pidana sambil melakukan gugatan perdata? Tidak ada larangan mengenai hal itu. Cuma, hal itu dapat melibatkan masalah etika. Hak jawab? Hanyalah hak, bukan kewajiban. Jadi, bergantung pada selera pihak yang merasa namanya dicemarkan. Bahkan pihak itu leluasa menggunakan hak jawab sambil melakukan tuntutan pidana dan gugatan perdata. Cuma, masalahnya, itu tadi, dapat melibatkan masalah etika.
Lalu soal tindakan menghakimi TEMPO oleh segerombolan orang yang berperilaku preman. Diduga ada korelasinya dengan pemberitaan TEMPO. Tindakan itu sulit dipisahkan dengan pemberitaan TEMPO meskipun kasus keduanya berbeda. Sidang pengadilan nanti bisa mengungkap motif main hakim ini. Kekerasan terhadap pers, apa pun motifnya, melanggar Pasal 4 ayat 2 UU Pers karena tindakan itu menghambat akses pers kepada sumber informasi yang diperlukannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo