SABTU, 15 Juli 1978, gunung Anak-Krakatau akan meletus.
Begitulah ramalan seorang turis Perancis, Alain Ventre yang
mengunjungi pulau vulkan itu, pertengahan April lalu.
Mungkin karena dianggap menimbulkan kepanikan di antara
turis-turis di Pantai Carita, Banten, dibarengi tingkah lakunya
yang rada ganjil, fihak polisi telah mencabut visa orang ini dan
menyuruhnya angkat kaki dari bumi Indonesia. itu terjadi akhir
April lalu.
Ternyata, ramalan Ventre meleset -- walaupun ada juga sejemput
kebenarannya. 10 Juli lalu, asap mulai tersembul dari lubang
kepundan Anak Krakatau. Kemudian, karena cuaca jelek, petugas
Dinas Vulkanologi di desa Pasauran, 20 km sebelah utara Labuan
tak dapat mengadakan pengamatan. Tahu-tahu, Jumat sore 14 Juli,
asap kelabu sudah membubung sampai ketinggian 500 - 600 meter.
Begitulah terus sampai akhir minggu lalu.
Apakah ini pertanda gunung api yang tingginya hanya 189 meter di
atas muka laut itu bakal meletus juga, sehingga ramalan orang
Perancis itu akan terpenuhi juga? Orang bisa ngeri. Letusan
Krakatau tahun 1883 yang menenggelamkan pulau tempat berpijaknya
belum pernah ada bandingannya dalam sejarah modern, apakah kita
harus melihat malapetaka itu lagi?
"Tidak sekarang ini. Juga tidak tahun ini," kata Prof. J.A.
Katili, geolog terkemuka Indonesia kepada TEMPO. "Mungkin dua
tiga abad lagi. Atau paling cepat sesudah 1« abad," sahut Katili
yang juga masih merangkap jabatan sebagai Dirjen Pertambangan
Umum.
Taksiran itu didasarkannya pada teori geolog Belanda Van
Bemmelen, yang mengamati proses pembentukan dan penghancuran
gugusan vulkan Krakatau dari kadar silikat (SiO2)
batu-batuannya. Menurut teori itu, batu-batuan hasil letusan
trio Rakata-Danan dan Perbuwatan tahun 1883 kadar silikatnya
67-70%.
Sesudah dua puncak gunung di tengah kepundan Krakatau Purba itu
lenyap --sebagian terbang ke udara tapi sebagian besar ambles ke
dasar laut -- mulai proses pembentukan Anak Krakatau yang
sekarang. Baru berhasil tumbuh sampai setinggi 3 meter, vulkan
mini ini disapu gelombang samudera Hindia, hancur, dan tenggelam
lagi. Lalu tumbuh lagi sampai 38 meter, lantas lenyap lagi
ditelan gelombang yang bagaikan kiriman Nyai Roro Kidul.
Baru tanggal 11 Agustus 1930, vulkan itu muncul. Dan sejak itu
ia berjaya mengatasi hantaman gelombang dan tumbuh terus sampai
sekarang. Sejak saat itu, kadar SiO2 batu-batuan Anak Krakatau
hanya naik sedikit saja dari 52% lebih menjadi 54%.
"Katakanlah dalam 25 tahun naik 1%. Berarti untuk mencapai
kemasaman yang cukup untuk meledak, makan waktU 250 sampai 500
tahun. Padahal sekarang, wah dalam waktu 5 tahun lagi, baru kita
akan merayakan ulangtahun ke-100 letusan Krakatau yang
terakhir," begitu penjelasan Katili.
Sukurlah -- sementara ini. Letusan Krakatau hampir seabad lalu
dalam sejarah gunung api Indonesia termasuk satu di antara dua
letusan pembentukan kaldera (paroxysmal eruption) yang terhebat.
Satunya lagi itu adalah letusan gunung Tambora di Sumbawa yang
membentuk kaldera -- kawah raksasa akibat amblesnya sebagian
besar puncak gunung -- yang juga menelan ribuan korban jiwa.
Di Titik Potong Tiga Patahan
Letusan Krakatau Agustus 1883, memang sukar dilupakan oleh
penduduk Lampung dan Banten, juga seluruh dunia. Orang Amerika
enam tahun yang lalu malah membuat kisah film tentangnya --
walaupun dengan tolol mereka menyebut Krakatau "di sebelah
timur" P. Jawa.
Memang hebat. Gemuruh suaranya menggelegar dan meliputi ¬ luas
muka bumi. jendela kaca rumah di Jakarta -- 150 km dari pusat
ledakan -- pecah berdering-dering. Satu km kubik bahan padat
yang tenggelam membangkitkan gelombang pasang sampai setinggi 20
meter. Sebuah kapal uap yang berlabuh di Telukbetung dicampakkan
oleh gelombang sampai 3300 meter di dalam hutan. Dan sementara
lebih dari 36 ribu jiwa manusia melayang ditelan gelombang
pasang, angkasa bumi selama 3 tahun dikotori debu letusan gunung
ini.
Kehebatan Krakatau ini, menurut Katili, disebabkan karena dia
terletak di titik potong tiga patahan lempeng benua. Yakni
patahan Semangka yang membentuk pegunungan Bukit Barisan di
Sumatera, patahan pantai Sumatera Selatan, dan patahan yang
membentuk barisan gunung Pulau Jawa. Terdesak, tertarik dan
terpuntir dari tiga arah inilah yang membuat magma di kepundan
Krakatau terus bergejolak. Dan karena muncul di tengah laut
Selat Sunda, akibatnya diperdahsyat oleh gelombang pasang.
Namun betapapun juga, kata sang geolog, "Krakatau kami golongkan
sebagai gunung api yang tak berbahaya." Lain halnya dengan
Merapi dan Kelud di Jawa, yang tergolong "gunung api yang
berbahaya, karena sewaktu-waktu bisa meletus."
Toh Presiden Suharto sendiri sudah memberikan petunjuk, agar
kegialan Anak Krakatau itu terus diawasi. Masyarakat dilarang
mendekati anak gunung itu dalam radius 3 km. Maksudnya agar tak
ada yang mati atau celaka ketiban hujan debu yang juga
berbatu-batu.
Larangan ini juga berlaku bagi turis. Tapi sebaliknya, bila
kegiatan rutin Krakatau ini sudah diketahui kapan akan mendekati
klimaksnya, Prof. Katili menganjurkan agar awan cendawan Anak
Krakatau itu justru dipromosikan sebagai atraksi pariwisata yang
menarik. "Seperti Gunung Mayo di Pilipina," katanya.
Sementara itu, para ahli mungkin akan lebih memusatkan
pengamatannya terhadap gunung api itu dari sekarang, menyambut
peringatan 100 tahun letusan Krakatau tahun 1883. Termasuk
pengamatan terhadap kelakuan satwa di kepulauan itu, yang konon
sudah terbang dan berenang kembali ke gugusan pulau Krakatau
setelah raksasa bawah laut itu mengambil cuti lagi awal abad
ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini