Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Krakatau Tak Akan Meletus Tahun Ini

Gunung anak krakatau mengeluarkan asap secara terus menerus sejak 10 juli. masyarakat dilarang mendekat dalam radius 3 km. prof j.a. katili meramalkan, letusan akan terjadi 1 1/2 abad lagi. (ilt)

29 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SABTU, 15 Juli 1978, gunung Anak-Krakatau akan meletus. Begitulah ramalan seorang turis Perancis, Alain Ventre yang mengunjungi pulau vulkan itu, pertengahan April lalu. Mungkin karena dianggap menimbulkan kepanikan di antara turis-turis di Pantai Carita, Banten, dibarengi tingkah lakunya yang rada ganjil, fihak polisi telah mencabut visa orang ini dan menyuruhnya angkat kaki dari bumi Indonesia. itu terjadi akhir April lalu. Ternyata, ramalan Ventre meleset -- walaupun ada juga sejemput kebenarannya. 10 Juli lalu, asap mulai tersembul dari lubang kepundan Anak Krakatau. Kemudian, karena cuaca jelek, petugas Dinas Vulkanologi di desa Pasauran, 20 km sebelah utara Labuan tak dapat mengadakan pengamatan. Tahu-tahu, Jumat sore 14 Juli, asap kelabu sudah membubung sampai ketinggian 500 - 600 meter. Begitulah terus sampai akhir minggu lalu. Apakah ini pertanda gunung api yang tingginya hanya 189 meter di atas muka laut itu bakal meletus juga, sehingga ramalan orang Perancis itu akan terpenuhi juga? Orang bisa ngeri. Letusan Krakatau tahun 1883 yang menenggelamkan pulau tempat berpijaknya belum pernah ada bandingannya dalam sejarah modern, apakah kita harus melihat malapetaka itu lagi? "Tidak sekarang ini. Juga tidak tahun ini," kata Prof. J.A. Katili, geolog terkemuka Indonesia kepada TEMPO. "Mungkin dua tiga abad lagi. Atau paling cepat sesudah 1« abad," sahut Katili yang juga masih merangkap jabatan sebagai Dirjen Pertambangan Umum. Taksiran itu didasarkannya pada teori geolog Belanda Van Bemmelen, yang mengamati proses pembentukan dan penghancuran gugusan vulkan Krakatau dari kadar silikat (SiO2) batu-batuannya. Menurut teori itu, batu-batuan hasil letusan trio Rakata-Danan dan Perbuwatan tahun 1883 kadar silikatnya 67-70%. Sesudah dua puncak gunung di tengah kepundan Krakatau Purba itu lenyap --sebagian terbang ke udara tapi sebagian besar ambles ke dasar laut -- mulai proses pembentukan Anak Krakatau yang sekarang. Baru berhasil tumbuh sampai setinggi 3 meter, vulkan mini ini disapu gelombang samudera Hindia, hancur, dan tenggelam lagi. Lalu tumbuh lagi sampai 38 meter, lantas lenyap lagi ditelan gelombang yang bagaikan kiriman Nyai Roro Kidul. Baru tanggal 11 Agustus 1930, vulkan itu muncul. Dan sejak itu ia berjaya mengatasi hantaman gelombang dan tumbuh terus sampai sekarang. Sejak saat itu, kadar SiO2 batu-batuan Anak Krakatau hanya naik sedikit saja dari 52% lebih menjadi 54%. "Katakanlah dalam 25 tahun naik 1%. Berarti untuk mencapai kemasaman yang cukup untuk meledak, makan waktU 250 sampai 500 tahun. Padahal sekarang, wah dalam waktu 5 tahun lagi, baru kita akan merayakan ulangtahun ke-100 letusan Krakatau yang terakhir," begitu penjelasan Katili. Sukurlah -- sementara ini. Letusan Krakatau hampir seabad lalu dalam sejarah gunung api Indonesia termasuk satu di antara dua letusan pembentukan kaldera (paroxysmal eruption) yang terhebat. Satunya lagi itu adalah letusan gunung Tambora di Sumbawa yang membentuk kaldera -- kawah raksasa akibat amblesnya sebagian besar puncak gunung -- yang juga menelan ribuan korban jiwa. Di Titik Potong Tiga Patahan Letusan Krakatau Agustus 1883, memang sukar dilupakan oleh penduduk Lampung dan Banten, juga seluruh dunia. Orang Amerika enam tahun yang lalu malah membuat kisah film tentangnya -- walaupun dengan tolol mereka menyebut Krakatau "di sebelah timur" P. Jawa. Memang hebat. Gemuruh suaranya menggelegar dan meliputi ¬ luas muka bumi. jendela kaca rumah di Jakarta -- 150 km dari pusat ledakan -- pecah berdering-dering. Satu km kubik bahan padat yang tenggelam membangkitkan gelombang pasang sampai setinggi 20 meter. Sebuah kapal uap yang berlabuh di Telukbetung dicampakkan oleh gelombang sampai 3300 meter di dalam hutan. Dan sementara lebih dari 36 ribu jiwa manusia melayang ditelan gelombang pasang, angkasa bumi selama 3 tahun dikotori debu letusan gunung ini. Kehebatan Krakatau ini, menurut Katili, disebabkan karena dia terletak di titik potong tiga patahan lempeng benua. Yakni patahan Semangka yang membentuk pegunungan Bukit Barisan di Sumatera, patahan pantai Sumatera Selatan, dan patahan yang membentuk barisan gunung Pulau Jawa. Terdesak, tertarik dan terpuntir dari tiga arah inilah yang membuat magma di kepundan Krakatau terus bergejolak. Dan karena muncul di tengah laut Selat Sunda, akibatnya diperdahsyat oleh gelombang pasang. Namun betapapun juga, kata sang geolog, "Krakatau kami golongkan sebagai gunung api yang tak berbahaya." Lain halnya dengan Merapi dan Kelud di Jawa, yang tergolong "gunung api yang berbahaya, karena sewaktu-waktu bisa meletus." Toh Presiden Suharto sendiri sudah memberikan petunjuk, agar kegialan Anak Krakatau itu terus diawasi. Masyarakat dilarang mendekati anak gunung itu dalam radius 3 km. Maksudnya agar tak ada yang mati atau celaka ketiban hujan debu yang juga berbatu-batu. Larangan ini juga berlaku bagi turis. Tapi sebaliknya, bila kegiatan rutin Krakatau ini sudah diketahui kapan akan mendekati klimaksnya, Prof. Katili menganjurkan agar awan cendawan Anak Krakatau itu justru dipromosikan sebagai atraksi pariwisata yang menarik. "Seperti Gunung Mayo di Pilipina," katanya. Sementara itu, para ahli mungkin akan lebih memusatkan pengamatannya terhadap gunung api itu dari sekarang, menyambut peringatan 100 tahun letusan Krakatau tahun 1883. Termasuk pengamatan terhadap kelakuan satwa di kepulauan itu, yang konon sudah terbang dan berenang kembali ke gugusan pulau Krakatau setelah raksasa bawah laut itu mengambil cuti lagi awal abad ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus