BAGI pria lemah syahwat, kini ada menu baru pengganti cula badak: daging ikan lumba-lumba rebus. Tetapi ingat, jangan dicampur bumbu apa pun. Kabarnya, rasanya tak kalah dengan daging sapi.
Gara-gara kabar yang belum tentu benar ini, kini daging mamalia laut itu dijual bebas di Pasar Pelita dan Pasar Datuk Rubiah di Bagan Siapi Api, Riau. Harganya Rp 30 ribu sekilo. Kalau mau beli satu ekor?minus kepala dan isi perutnya?harus membelinya di tengah laut, langsung dari kapal. Seekor lumba-lumba dengan berat 200 kilogram berharga sekitar Rp 1 juta.
Sejak kapan transaksi bebas bagi satwa yang dilindungi dunia internasional itu berlangsung? Dua pekan lalu, Kelompok Pelestarian Sumber Daya Alam (KPSA) Riau mengungkapkan hasil monitoringnya selama empat bulan. Menurut mereka, rata-rata setiap pekan lima ekor lumba-lumba dijual bebas di pasar-pasar kampung. "Kami akan terus mendesak pemerintah mengatasi pembantaian ini," ujar Bismark Tampubolon, Ketua KPSA Riau.
Kata sejumlah nelayan setempat kepada TEMPO, pembantaian lumba-lumba ini berawal dari kejengkelan nelayan sendiri. Mereka kerap menemukan lumba-lumba nyasar ke dalam jaring dan bubu lautnya. Selain merusak jaring dan bubu, lumba-lumba ini memangsa ikan di dalamnya.
Biasanya, nelayan melepas kembali lumba-lumba apes itu. Tetapi, akhir-akhir ini, karena dagingnya laku dijual, lumba-lumba itu langsung ditombak mati. Apalagi saat musim badai, karena nelayan sulit mendapat ikan, mereka malah sengaja menangkap lumba-lumba.
Wan Awaluddin Jamal, nelayan setempat, mengakui saat ini makin banyak pembeli yang menjemput ke kapal. Tak peduli di tengah laut, kapal-kapal pembeli langsung menempel kapalnya. "Malah ada yang mau kasih duit duluan," kata Awaluddin, yang mengaku tak pernah menangkap lumba-lumba. Pembeli biasanya langsung membawa ikan itu ke Singapura atau Thailand. "Di Malaysia, lumba-lumba tak laku karena pantangan bagi orang Melayu," tutur Awaluddin.
Menurut penjual ikan di pasar, pasokan daging lumba-lumba meningkat saat tangkapan ikan lain berkurang. Tapi yang berani menjajakan hanya pedagang ikan musiman yang berasal dari luar daerah. Bahkan mereka hanya berani menjualnya di mulut pasar. "Orang sini pantang menjualnya," kata A Thok, pedagang keturunan Cina di Pasar Datuk Rubiah, Bagan Siapi Api.
Keengganan menangkap dan menjual lumba-lumba ini karena mereka masih memandangnya sebagai sahabat yang sering menolong nelayan. Sayangnya, rasa sungkan itu mulai luntur, apalagi saat susah mendapat ikan laut yang lain. Mengenai berkurangnya hasil tangkapan nelayan ini, menurut Adnan Khasry, ahli pengelolaan pantai dan laut dari Universitas Riau, itu akibat rusaknya lingkungan perairan Riau.
Perburuan lumba-lumba meningkat karena adanya mitos bahwa daging lumba-lumba bisa meningkatkan keperkasaan pria. Mitos yang berkembang khususnya di kalangan warga keturunan itu menurut Adnan memicu tingginya permintaan daging lumba-lumba. "Saya khawatir, lima tahun lagi lumba-lumba tinggal cerita di Riau," ujar Adnan.
Jumat dua pekan lalu, Universitas Riau membentuk tim monitoring lumba-lumba. Tim ini bekerja memantau lalu-lintas perdagangan lumba-lumba. Selain itu, mereka akan melakukan sosialisasi tentang perlunya perlindungan lumba-lumba kepada masyarakat. Yang tak kalah penting, berusaha menghapus pemikiran salah tentang khasiat daging lumba-lumba untuk meningkatkan gairah seks. Adnan menyebutkan perlunya pemerintah membentuk penangkaran lumba-lumba di Riau.
Amrizal, Kepala Dinas Perikanan Rokan Hilir, Riau, mengaku sejak Desember lalu telah membentuk Tim Pengawasan dan Penanggulangan Pengelolaan Laut, terutama untuk mengawasi lalu-lintas perdagangan lumba-lumba. Meski sudah melakukan operasi laut untuk memantau keberadaan nelayan asing yang masuk tanpa izin, hasilnya ternyata nihil. "Kita kurang sarana dan dana," kata Amrizal. Alasan klise, memang.
Padahal, jika terlambat diatasi, perburuan merupakan langkah tercepat memusnahkan spesies lumba-lumba. Sebab, menurut Wanda Kambey, staf bidang kelautan di Species Conservation Unit WWF (World Wildlife Foundation) Indonesia, masa berkembang biak ikan ini terbilang lambat. "Belum lagi lingkungan mereka, yang kini pencemarannya meningkat," kata Wanda.
Mamalia ini termasuk satwa yang dilindungi dunia dalam Appendix I Convention International in Trade of Endangered Species (CITES, sebuah perjanjian internasional tentang pembatasan perdagangan satwa yang dilindungi). Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990, disebutkan ancaman hukuman berat bagi pemburu dan penjual lumba-lumba. Pelanggar peraturan ini bisa dihukum pidana penjara paling lama lima tahun atau denda Rp 100 juta. Sayang, sosialisasi undang-undang ini belum jalan, agaknya.
Agung R. dan Jupernalis Samosir (Riau)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini