I Hate Israel adalah salah satu tembang dari album penyanyi pop Mesir, Shaaban Abdel Rehim, yang kini sering berkumandang di beberapa stasiun radio Mesir. Kebencian pada Israel?yang terlukis dalam lagu itu?seolah mewakili perasaan sebahagian besar anggota Ikhwanul Muslimin (gerakan Islam yang tertua dan terkemuka di Mesir). Tapi, berbeda dengan Abdel Rehim, yang populer karena menembangkan kebencian pada kaum Yahudi, kegeraman Ikhwanul Muslimin pada Israel justru membuat pemerintah Mesir membekap dan mengejar sejumlah aktivis organisasi itu, yang terus berlangsung hingga pekan lalu.
Penangkapan itu bukan karena Mesir merasa jeri pada Israel. Pemerintahan Hosni Mubarak punya alasan sendiri: pengerahan massa menentang Israel justru membuat Ikhwanul Muslimin?sebagai sebuah kelompok oposisi?makin naik daun. Sepanjang April lalu, tentara sudah menciduk 14 orang anggota Ikhwanul. Dua di antaranya adalah kandidat pemilu Dewan Shura?parlemen Mesir?yang akan digelar pada awal Juni nanti.
Bertahun-tahun Mubarak khawatir akan membesarnya dukungan publik kepada Ikhwanul. Padahal, November tahun silam, Partai Nasional Demokratik?yang mendukung Mubarak?masih menang pemilu dengan telak: 97 persen suara. Tapi, Pemilu 2000 itu berhasil memberikan 15 kursi di parlemen bagi Ikhwanul. Kecil, memang. Tapi aspirasi Islam militan dalam kelompok ini sudah membuat rezim Mubarak menganggapnya sebagai ancaman.
Tak mengherankan bahwa ancaman, penangkapan?atau hukum gantung sekalipun?adalah soal biasa bagi para warga Ikhwanul. Ini fenomena lama sejak Mesir di bawah Presiden Gamal Abdel Nasser (1956-1970), Anwar Sadat (1970-1981), hingga kekuasaan Mubarak selama 20 tahun terakhir. Hamdy Hassan, anggota parlemen Mesir, mengatakan bahwa penangkapan dua calon anggota parlemen dari Ikhwanul tersebut adalah upaya pemerintah mencegah menguatnya pengaruh Ikhwanul Muslimin dalam pemilihan parlemen nanti.
Secara tradisional, mereka dikenal sebagai sebuah gerakan yang mencita-citakan negara Islam dan penerapan syariat Islam di Mesir?dan dengan sendirinya berseberangan dengan kubu pemerintah yang moderat. Tapi akhir-akhir ini tampaknya arah angin mulai berubah. Muncul semacam upaya mencitrakan Ikhwanul sebagai kelompok Islam moderat.
Wartawan TEMPO di Kairo, Zuhaid el-Quidsy, melaporkan bahwa belum lama ini seorang ulama moderat?Youssuf Qardhaway?dicalonkan oleh cabang-cabang kelompok ini di luar Mesir untuk menjabat mursid 'am (pemimpin spiritual) Ikhwanul Muslimin pusat di Kairo. Sebelumnya, dalam Pemilu November 2000 lalu, organisasi itu mencalonkan perempuan Kristen Kopti, Sayyedah Jiham el-Helfawwy, menjadi wakil mereka di parlemen.
Penulis Denis J. Sullivan dalam Ensiklopedia Islam?diedit oleh John L. Esposito?menyebutkan tumbuhnya sikap moderat ini harus dirujuk ke masa-masa 1981 setelah terjadi penangkapan besar-besaran atas anggota organisasi itu. Dan 15 tahun sebelumnya, pemikir penting Ikhwanul, Sayyid Quthb, dihukum gantung. Kendati dilandasi militansi Islam, Ikhwanul Muslimin menjalin hubungan baik dengan kelompok Kristen Kopti di Mesir.
Mereka bahkan mengeluarkan seruan bersama untuk meminta kesetaraan penuh hak dan kewajiban antara kaum muslim dan kaum Kristen Kopti. Ikhwanul kini juga lebih menekankan perjuangan konstitusional dalam kegiatan-kegiatannya. Pergeseran sikap ini membuat sejumlah kelompok dalam Ikhwanul menyempal karena tidak puas dengan garis politik yang melunak ini.
Walau tetap mengakui Ikhwanul Muslimin sebagai induk keyakinan mereka, para penyempal mulai menggelar aksi kekerasan. Kelompok garis keras itu antara lain Al-Jihad, Jund Allah, Jaisy Al-Tahrir Al-Islami, dan Jam'iyah Al-Tabligh. Alhasil, organisasi ini masih harus berjuang keras untuk meyakinkan perubahan sikap mereka. Dukungan lebih luas dari masyarakat memang mulai terlihat. Pertanyaannya, apakah sokongan ini muncul karena citra moderat yang berkenan pada warga Mesir ataukah kebosanan warga negeri itu terhadap Mubarak?yang sudah berkuasa selama dua dasawarsa dan terlalu membela Israel.
Masuknya kelompok ini ke sistem politik bukan hanya berakibat penangkapan yang tak kunjung putus terhadap para aktivisnya. Langkah ini membuat Ikhwanul Muslimin ibarat mesti meniti di dua perbatasan: sembari terus menumbuhkan sikap moderat kelompok, ia harus pandai-pandai merangkul kalangan garis keras agar tidak kehilangan konstituen.
Ignasius Haryanto, Zuhaid el-Quidsy (Kairo), (Reuters, Chicago Tribune)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini