Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Jejak Luhut dalam Ekspansi Food Estate Sumatera Utara

Proyek food estate Sumatera Utara akan diperluas melalui pembentukan badan otorita. Kental aroma konflik kepentingan.

12 Januari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hutan kemenyan di Sampean, Sipirok, Tapanuli Selatan, yang masuk dalam kawasan pencadangan food estate Sumatera Utara, 9 Desember 2024. TEMPO/Billy Piri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Proyek food estate di Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, masih bermasalah.

  • Pemerintah membentuk Badan Otorita Food Estate Sumatera Utara untuk memperluas lumbung pangan di empat kabupaten.

  • Pembentukan Badan Otorita dan rencana perluasan food estate di Sumatera Utara menyeret nama Luhut Pandjaitan.

BUPATI Humbang Hasundutan Dosmar Banjarnahor segera membuka layar telepon selulernya begitu mendengar pertanyaan Tempo. Ia hendak menjawabnya dengan menunjukkan beberapa foto dan video dokumentasi acara yang digelar sehari sebelumnya di lahan food estate atau lumbung pangan Desa Ria-Ria, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gambar pertama yang dipamerkan Dosmar adalah foto pipa yang dipancangkan di tepi lahan lumbung pangan. Tampak air mengucur deras dari mulut pipa tersebut. Sedangkan foto kedua menunjukkan kondisi bak penampungan raksasa di lokasi proyek yang juga terlihat mulai dipenuhi air.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Sudah diperbaiki. Ini baru kemarin. Ada airnya,” kata Dosmar di ruang kerjanya pada Kamis, 12 Desember 2024. “Nah, ini embung, sudah diisi.” 

Wajah lahan lumbung pangan di foto-foto itu berbeda 180 derajat dengan temuan Tempo sepekan sebelumnya. Setidaknya, hingga 6 Desember 2024, bak penampungan air seukuran lapangan voli di lokasi proyek lumbung pangan Ria-Ria masih kering kerontang. Bangunan kantor pengelolaan irigasi di sebelah embung juga kosong melompong. Kedua fasilitas ini termasuk infrastruktur pertama yang dibangun pemerintah ketika memulai proyek, empat tahun lalu.

Bupati Humbang Hasundutan Dosmar Banjarnahor saat ditemui di kantornya di Sumatera Utara. TEMPO/Billy Piri

Sedangkan pipa pengairan yang ditunjukkan Dosmar memang mudah ditemukan di lahan proyek lumbung pangan Ria-Ria. Penampakan pipa putih itu mencolok karena berdiri tegak setinggi perut orang dewasa. Tempo mencoba memutar keran merah di kepala pipa. Tapi tak setetes pun air keluar dari mulut saluran irigasi tersebut.

“Katanya ini dibangun agar petani yang lahannya belum tersambung dengan saluran irigasi bisa mudah mengambil air,” ucap seorang petani yang ditemui Tempo.

Awal Desember 2024, selama dua hari berturut-turut Tempo mengitari lahan lumbung pangan Ria-Ria. Membentang 215 hektare di sisi utara perkampungan, kompleks budi daya tanaman hortikultura itu bak mati suri. Segelintir petani secara terpisah terlihat masih beraktivitas di beberapa blok ladang. Tapi kebanyakan di antara mereka bekerja swadaya, bukan sebagai bagian proyek yang selama ini dikembangkan dengan konsep korporasi petani atau kerja sama dengan investor.

Nasib beberapa infrastruktur pendukung juga tak jauh berbeda dengan temuan Tempo di awal 2022, sekitar dua tahun setelah proyek dimulai di Ria-Ria. Ketika itu Tempo juga datang ke desa di sisi barat Danau Toba tersebut setelah Badan Pemeriksa Keuangan merilis laporan hasil pemeriksaan terhadap pelaksanaan proyek lumbung pangan Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara. Hasil audit menunjukkan seabrek masalah di proyek era pemerintahan Presiden Joko Widodo tersebut.

Rumah penyimpanan bibit, yang dua tahun lalu ditemukan terbengkalai, sekarang sudah seperti rumah hantu. Sebagian atap sengnya copot. Sisa sarang lebah, yang sepertinya baru dibakar oleh seseorang, menggantung sebesar bola sepak di sudut dinding dalam ruangan.

Satu-satunya kemajuan yang terlihat menonjol di kawasan lumbung pangan Ria-Ria adalah infrastruktur jalan. Dua tahun lalu, jalan penghubung di lokasi tersebut masih berupa jalan tanah berpagar alang-alang. Sekarang aspal hitam dengan garis marka putih telah mengeras di jalanan tersebut. Akses jalan selebar 6 meter itu dibangun memanjang sampai ke arah desa tetangga yang direncanakan menjadi lokasi pengembangan proyek berikutnya.

Seorang petani sedang menunjukkan pasir yang mencemari petak sawahnya di Desa Ria-Ria, Angkola Sangkunur, Tapanuli Selatan, 7 Desember 2024. TEMPO/Billy Piri

Bagi Serita Siregar, seorang petani lumbung pangan Ria-Ria yang selama ini kritis terhadap pelaksanaan proyek, keberadaan jalan aspal itu tak berarti apa-apa. Sebab, menurut dia, sebagian besar petani sampai saat ini tak merasakan hasil proyek pemerintah itu, kendati pelaksanaannya telah memasuki tahun keempat.

“Paling banyak hanya 30 persen lahan yang masih digarap,” ujar Serita.

Banyak lahan lumbung pangan, terutama yang lokasinya menjorok jauh dari jalan raya, telantar. Sebagian lahan yang dipenuhi semak-semak itu belum terhubung dengan saluran irigasi. Sebagian lain telah dilengkapi pipa pengairan, tapi itu pun tidak berfungsi.

“Tidak usah mencari jauh-jauh contohnya. Pipa di lahan saya sampai sekarang mati,” kata Serita, lalu tertawa. “Sarana di sini berfungsi kalau ada pejabat datang.”

Foto-foto yang ditunjukkan Dosmar Banjarnahor diambil pada 11 Desember 2024, hari ketika Ria-Ria memang kedatangan rombongan dari Jakarta yang dipimpin Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan. Mantan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi itu meninjau lokasi proyek didampingi Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Satryo Soemantri Brodjonegoro.

Warga menggelar aksi protes atas proyek lumbung pangan di Desa Ria-Ria, Angkola Sangkunur, Tapanuli Selatan, 7 Desember 2024. TEMPO/Billy Piri

Dosmar tak menampik jika lumbung pangan di Ria-Ria disebut belum optimal. Namun dia memastikan pemerintah berupaya memperbaiki kinerja proyek. “Tanah di Ria-Ria itu perlu pengolahan lebih lanjut. Paling tidak lima musim tanam sampai hasilnya bagus,” tuturnya.

Dosmar mengingatkan, pelaksanaan proyek lumbung pangan sejak musim tanam kedua—pertengahan 2021—tidak lagi menggunakan anggaran negara ataupun daerah. Proyek yang berjalan sejauh ini mengandalkan kemitraan dengan swasta, termasuk melalui program tanggung jawab sosial. Ketersediaan modal ini, dia menerangkan, termasuk faktor yang menyebabkan lambatnya pengembangan proyek. “Sekarang repot kalau pakai anggaran negara. Nanti sedikit-sedikit menjadi temuan, panjang urusan kita,” ujar Dosmar.

•••

KUNJUNGAN Luhut Binsar Pandjaitan ke Ria-Ria pada pertengahan Desember 2024 itu menjadi ajang bagi Van Basten Pandjaitan untuk membeberkan informasi mengenai kelanjutan proyek lumbung pangan.

Sejak April 2021, ketika masih menjabat Tenaga Ahli Bidang Pangan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Van Basten ditunjuk Luhut menjadi manajer proyek lumbung pangan Humbang Hasundutan. Saat itu Luhut mengambil alih pengelolaan proyek dari tangan Kementerian Pertanian karena hasil musim tanam pertama dianggap tak memuaskan.

Dalam pemaparannya di hadapan Luhut serta Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Satryo Soemantri Brodjonegoro, Van Basten menjabarkan detail rencana pengembangan food estate yang menyasar area seluas 15 ribu hektare. Lahan seluas itu akan ditanami bawang putih, bawang merah, cabai, kentang, durian, dan kakao. Merujuk pada presentasi Van Basten, jika budi daya komoditas-komoditas tersebut telah masif, nilai transaksi di lahan lumbung pangan Sumatera Utara ditargetkan mencapai Rp 5,1 triliun per tahun pada 2034.

Paparan Van Basten juga mulai menyinggung peran Badan Otorita Pengelola Kawasan Food Estate (BOPKFE) Sumatera Utara. Tak diketahui oleh banyak orang, dua hari menjelang lengser pada Oktober 2024, Presiden Joko Widodo membentuk lembaga pemerintah nonstruktural tersebut melalui penerbitan Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2024.

Merujuk pada peraturan itu, BOPKFE Sumatera Utara diberi mandat mengembangkan lumbung pangan seluas total 15.057 hektare di Kabupaten Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat, Tapanuli Utara, dan Tapanuli Tengah.

Tanggul pematang sawah yang dibuat lebih tinggi agar tidak tercemar pasir di Desa Ria-Ria, Angkola Sangkunur, Tapanuli Selatan, 7 Desember 2024. TEMPO/Billy Piri

Rencana ekspansi lahan lumbung pangan itu membuat Serita Siregar bingung. “Bagaimana mau memperluas? Yang di sini saja berantakan,” kata perempuan 35 tahun itu.

Dua tahun terakhir, bukan sekali-dua kali petani lumbung pangan di Ria-Ria membentangkan spanduk yang berisi kritik terhadap pelaksanaan proyek tersebut. Rita—panggilan Serita—berada di barisan petani yang masih bisa bersuara lantang. Belakangan, dia tidak hanya menjadi tulang punggung bagi keluarga, tapi juga mulai menjalani peran Tua Siregar, bapaknya yang lebih dulu kritis terhadap proyek lumbung pangan.

Pada Jumat malam, 6 Desember 2024, Tua Siregar masih bisa berkelakar ketika menceritakan pengalamannya yang ironis selama menjadi petani lumbung pangan. Tua dan anggota keluarganya mengantongi tiga lembar sertifikat hak milik atas tanah setelah bergabung dengan proyek pemerintah.

Namun, seperti sekitar 120 petani lumbung pangan Ria-Ria lain, dia tidak diperbolehkan menanam di lahan tersebut dengan komoditas lain yang tidak menjadi bagian dalam agenda pengelola proyek. “Jadi sebenarnya ini food estate untuk siapa?” ujar Tua dengan suara seraknya.

Bibir Tua memang tersenyum ketika melontarkan pertanyaan tersebut. Namun pandangan mata pria 67 tahun itu seketika menajam ketika melanjutkan kalimatnya. “Food estate ini merampas hak kami atas tanah.”

Rita menimpali omongan bapaknya dengan sebuah harapan. “Semoga rencana food estate di tempat lain batal,” tuturnya. “Biar kami saja yang merasakan pahitnya.”

•••

RENCANA ekspansi lahan lumbung pangan Sumatera Utara sebenarnya sudah disiapkan jauh-jauh hari. Desainnya pun melibatkan banyak pemangku kepentingan.

Pada waktu Agustus-Oktober 2020, beberapa saat setelah pemerintah menunjuk Humbang Hasundutan sebagai lokasi proyek ketahanan pangan, secara bergiliran Bupati Humbang Hasundutan, Bupati Pakpak Bharat, dan Gubernur Sumatera Utara mengirimkan surat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Mereka pada intinya mengusulkan Kementerian Lingkungan mengubah fungsi kawasan hutan untuk program lumbung pangan.

Keputusan Menteri LHK, yang saat itu dijabat Siti Nurbaya Bakar, keluar pada akhir November 2020—berselang sebulan setelah Joko Widodo meresmikan dimulainya proyek lumbung pangan di Ria-Ria. Dari usulan awal seluas 61.042 hektare, Menteri LHK Siti Nurbaya mengabulkan perubahan fungsi 33.492 hektare kawasan hutan menjadi hutan produksi yang dapat dikonversi dan dicadangkan untuk pembangunan lumbung pangan. Sebulan sebelumnya, peluang penggunaan kawasan hutan untuk proyek lumbung pangan terbuka lebar setelah Menteri Siti menerbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 yang sempat memantik kontroversi.

Perubahan fungsi kawasan hutan itu pula yang menjadi basis penentuan lokasi pengembangan proyek ketika rencana lama pembentukan badan otorita food estate mulai dibahas serius pada 2023. Rekomendasi resminya tertuang dalam Rencana Induk Pengembangan Food Estate Produksi Pangan di Provinsi Sumatera Utara.

Dokumen yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor Kep. 19/M.PPN/HK/03/2023 tertanggal 21 Maret 2023 itu masih menyebut lembaga baru yang diusulkan dengan nama Badan Pengelola Otorita Food Estate.

“Untuk dapat mempercepat pengembangan, kawasan food estate membutuhkan pembentukan kelembagaan pengelola kawasan berbentuk Badan Pengelola Otorita Food Estate (BPOFE),” demikian tertulis dalam dokumen tersebut.

Belakangan, Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi memprakarsai pembahasan peraturan yang akan menjadi payung hukum bagi badan otorita. Setahun terakhir, beberapa kali rapat online dan offline digelar melibatkan perwakilan sejumlah kementerian.

Terakhir kali, pada 6 September 2024, Luhut yang memimpin langsung pembahasan ketika rapat digelar di Jakarta Convention Center. Pertemuan itu juga dihadiri Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Azwar Anas dan Menteri Pertanian Amran Sulaiman. “Jangan sampai ada isu yang pending terkait dengan food estate,” ucap Luhut saat itu, seperti dikutip dari siaran pers Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Pengajar Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Bayu Dwi Apri Nugroho, datang memenuhi undangan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi dalam rapat pembentukan badan otorita di Jakarta pada 23 April 2024.

Rapat dipimpin langsung oleh Luhut dan turut dihadiri Suharso Monoarfa, yang saat itu menjabat Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional. Dia juga menyebutkan Van Basten Pandjaitan turut dalam pembahasan. “Waktu itu masih belum clear sehingga perlu konsultasi publik,” ujar Bayu pada Senin, 6 Januari 2025.

Mewakili fakultas di kampusnya, Bayu menyampaikan pandangan bahwa rencana pembentukan badan otorita pertama untuk urusan pangan itu belum disertai perencanaan yang matang. Menurut dia, kelemahan utama pembentukan badan otorita terletak pada tugas pokok dan fungsinya yang akan tumpang-tindih dengan kementerian. Selama ini tumpang-tindih kewenangan menjadi salah satu penyebab tidak optimalnya program ketahanan pangan.

Dia mencontohkan tugas pengelolaan teknik budi daya padi semestinya dikerjakan oleh Kementerian Pertanian. Namun, dalam pelaksanaan, pekerjaan yang bertujuan meningkatkan produktivitas pertanian itu justru digarap Kementerian Pekerjaan Umum.

Selain masalah itu, Bayu belum menemukan contoh di negara lain yang pemerintahnya membentuk badan otorita untuk urusan pangan. Pemerintah biasanya mengandalkan sistem kemitraan dengan melibatkan banyak pihak, termasuk bank.

Tempo berupaya meminta penjelasan Van Basten Pandjaitan ihwal rencana perluasan lumbung pangan dan pengelolaan BOPKFE di Sumatera Utara. Dia menjanjikan wawancara langsung di bekas gedung Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Jakarta Pusat, pada Kamis, 9 Januari 2025. Namun pertemuan ditunda karena Van Basten sedang melakoni agenda lain. Tempo telah mengirimkan daftar pertanyaan yang dia minta melalui pesan pendek. Namun Van Basten tak kunjung merespons.

Sebelumnya, ketika ditemui wartawan Tempo, Riani Sanusi, di Dolok Sanggul, Humbang Hasundutan, pada 26 Januari 2023, Van Basten mengatakan Luhut menugasinya membentuk tim kelembagaan kawasan berbentuk badan layanan umum. Tujuannya adalah memastikan proyek lumbung pangan di Humbang Hasundutan berkelanjutan.

Van Basten menerangkan, Kementerian Pertanian kelak tetap akan dilibatkan dalam pengelolaan lumbung pangan. Namun posisinya berada di bawah satu payung lembaga bersama Bupati Humbang Hasundutan sebagai penanggung jawab dan dia sebagai bagian tim operasional lapangan.

Seorang pejabat pemerintah bercerita, Luhut berkepentingan terhadap pengembangan proyek lumbung pangan di Sumatera Utara untuk menyokong kelangsungan Taman Sains Teknologi Herbal dan Hortikultura (TSTH2). Pertengahan Desember 2024, setelah meninjau kawasan lumbung pangan di Ria-Ria, Luhut beserta rombongan terbang menggunakan helikopter Tentara Nasional Indonesia untuk menengok area TSTH2.

Area penelitian tanaman obat dan hortikultura seluas 500 hektare di Humbang Hasundutan itu beroperasi sejak 2021 dengan memanfaatkan izin pengelolaan kawasan hutan dengan tujuan khusus. Izin itu dikantongi Institut Teknologi Del, kampus yang didirikan Yayasan Del. Adapun Luhut adalah pendiri sekaligus Ketua Dewan Pembina Yayasan Del. “Luhut ingin menjadikan pusat risetnya sebagai penyokong sistem pertanian modern,” tutur sumber Tempo.

Sentralnya peran TSTH2 dalam rencana pengembangan lumbung pangan sebenarnya bisa dibaca di Rencana Induk Pengembangan Food Estate Produksi Pangan di Provinsi Sumatera Utara. Dokumen yang disusun Kementerian/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional itu menyebutkan bahwa penggunaan benih unggul yang berkualitas akan mempengaruhi produktivitas budi daya.

“Karena itu, kolaborasi Food Estate/Kawasan Sentra Produksi Pangan dengan TSTH2 sebagai pusat riset akan sangat membantu dalam penyediaan benih unggul,” demikian tertulis dalam dokumen tersebut. “Bahkan juga diharapkan keberadaan TSTH2 dapat membantu suplai benih unggul untuk pengembangan area lain.”

Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2024 juga mengakomodasi peran TSTH2. Badan pelaksana BOPKFE Sumatera Utara diberi kewenangan bekerja sama dengan petani, peternak, badan usaha, lembaga, dan pihak terkait lain. Yang dimaksud lembaga dalam ketentuan tersebut adalah yang bergerak di bidang pelatihan, penelitian, inovasi, penyediaan bibit atau benih unggul, dan pengembangan teknologi pertanian.

Juru bicara Luhut, Jodi Mahardi, menjawab pertanyaan Tempo yang ditujukan kepada Luhut. Jodi tidak tegas menanggapi dugaan konflik kepentingan dalam hubungan TSTH2 dengan BOPKFE Sumatera Utara. Dia memaparkan, pembangunan TSTH2 di Humbang Hasundutan sejak awal ber­tujuan mengembangkan obat her­bal. Namun, seiring dengan waktu, Luhut menjelaskan, terlihat bahwa pengembangan bibit unggul menjadi tantangan utama pertanian nasional. 

“Karena itu, TSTH2 pada perjalanannya tidak hanya ditargetkan untuk pe­ngem­bangan bibit unggul herbal,” ucap Jodi dalam jawaban tertulis yang diterima pada Jumat, 10 Januari 2025. “Tapi juga mendukung percepatan pengembangan benih hortikultura dan inkubasi teknologi pertanian hingga menuju pertanian alami, baik di dalam maupun di luar food estate Sumatera Utara.”  

Selain itu, Jodi menambahkan, kerja sama lumbung pangan Sumatera Uta­ra tidak terbatas pada satu pihak, tapi pada semua pihak yang mendukung percepatan pengembangannya. Pihak yang dia maksud adalah off-taker, investor, dan institusi penelitian dunia lain. “Saat ini sedang dijajaki, seperti dengan Belanda,” tutur Jodi

•••

MESKI payung hukumnya telah dibentuk pada 18 Oktober 2024, Badan Otorita Pengelola Kawasan Food Estate Sumatera Utara belum beroperasi. Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2024 hanya mengatur pejabat pada struktur dewan pengarah, yang diketuai menteri koordinator bidang pangan dan didampingi 17 menteri, kepala lembaga, serta Gubernur Sumatera Utara. Sedangkan pengurus struktur badan pelaksana, yang bisa diisi aparatur sipil negara (ASN) dan non-ASN, tak kunjung jelas komposisinya.

Luhut Binsar Pandjaitan juga tidak menjawab tegas pertanyaan tentang alasan belum terisinya manajemen badan pelaksana BOPKFE Sumatera Utara. “Pada Perpres 131/2024, Pasal 15, disampaikan bahwa Pemimpin Badan Pelaksana Otorita Food Estate Sumatera Utara diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Pertanian setelah koordinasi dengan dewan pengarah Badan Otorita Sumatera Utara,” tulisnya.

Menteri PAN-RB Abdullah Azwar Anas dan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam rapar koordinasi evaluasi progres kebijakan dan pembangunan food estate Sumatera Utara di JCC, Jakarta, 6 September 2024. FOTO/menpan.go.id

Sedangkan Menteri Pertanian Amran Sulaiman tak membalas permohonan wawancara yang dikirimkan Tempo melalui bagian tata usaha di sebelah ruang kerja Menteri, Lantai 2 Gedung A Kementerian Pertanian. Ditemui Tempo, Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Informasi Publik Kementerian Pertanian M. Arief Cahyono juga menyatakan belum bisa memberikan penjelasan ihwal kelanjutan BOPKFE Sumatera Utara.

Di tengah ketidakpastian ihwal nasib BOPKFE Sumatera Utara bentukan Joko Widodo, kekhawatiran sudah menggelayut di benak Delima Silalahi. Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat yang dia pimpin sudah lama menyoroti praktik proyek lumbung pangan di Humbang Hasundutan.

Kesimpulannya, program ketahanan pangan telah menjurus pada upaya sistematis perampasan tanah, identitas, dan hak hidup masyarakat. “Perluasan lahan food estate di empat kabupaten akan memperparah kondisi empat tahun terakhir,” kata penerima Goldman Environmental Prize 2023 ini.

Avit Hidayat berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Laporan ini merupakan kolaborasi riset dan peliputan Tempo, Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat, Konsorsium Pembaruan Agraria, serta Greenpeace Indonesia. Publikasi dalam bentuk video bisa disimak di kanal YouTube Tempodotco

Agoeng Wijaya

Agoeng Wijaya

Berkarier di Tempo sejak awal 2006, ia banyak mendalami isu ekonomi-politik, termasuk soal tata kelola sumber daya alam. Redaktur Pelaksana Desk Sains dan Lingkungan ini juga aktif dalam sejumlah kolaborasi investigasi global di sektor keuangan dan perpajakan. Alumnus Universitas Padjajaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus