Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Ekses Perluasan Food Estate Sumatera Utara

Rencana perluasan lahan food estate Sumatera Utara merambah empat kabupaten. Beririsan dengan wilayah adat dan hutan alam.  

12 Januari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tugu batas Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi, berada di batas Desa Simataniari, Kecamatan Angkola Sangkunur, Tapanuli Selatan, 10 Desember 2024. TEMPO/Billy Piri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pengembangan proyek food estate di Sumatera Utara direncanakan mencakup empat kabupaten.

  • Kawasan hutan seluas separuh Jakarta dicadangkan untuk pembangunan food estate.

  • Peta rencana pengembangan food estate beririsan dengan sejumlah wilayah masyarakat adat.

RAJES Sitanggang tengah bimbang. Dia sebenarnya sudah bertekad merantau ke Batam, Kepulauan Riau. Rajes perlu mencari sumber pendapatan baru, meski harus melanggar janjinya untuk setia menjadi petani kemenyan. Apa daya, beberapa kali panen terakhir, getah yang dihasilkan hutan kemenyan milik keluarganya menyusut drastis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun kabar pemerintah akan memperluas lahan food estate atau lumbung pangan di Sumatera Utara membuat pria 51 tahun itu berat hati meninggalkan kampungnya. “Walau hutan kemenyan tidak berproduksi, kalau bisa memilih, saya akan mempertahankannya daripada menjadi lahan food estate,” kata Rajes ketika ditemui pada Senin, 9 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rajes adalah Ketua Komunitas Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria. Sejak 2010, komunitas adat di Desa Simataniari, Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan, ini menuntut pengakuan atas tanah adat mereka yang dicap sebagai hutan negara. Belum juga mengabulkan tuntutan tersebut, pemerintah malah menjadikan sebagian besar wilayah adat Pargamanan-Bintang Maria itu sebagai kawasan hutan produksi yang dicadangkan dan dapat dikonversi untuk pembangunan lumbung pangan.

Senin sore, 9 Desember 2024, Rajes bercerita di halaman rumahnya yang menghadap perbukitan di sisi utara. Penduduk setempat menyebut dataran tinggi itu Dolok Ginjang yang berarti bukit atas. Deretan bukit yang melintang itu memang lebih tinggi 450 meter dibanding area permukiman yang rata-rata berada di ketinggian 1.050 meter di atas permukaan laut. 

Sebagian besar tombak haminjon alias hutan kemenyan milik Rajes, juga warga Simataniari lain, bertahan di lereng Dolok Ginjang sisi selatan. Sedangkan area di sisi utara perbukitan telah berubah menjadi kebun eukaliptus karena diduduki area konsesi PT Toba Pulp Lestari Tbk, perusahaan hutan tanaman industri yang terafiliasi dengan taipan Sukanto Tanoto.

Embung telantar yang pernah digunakan untuk pengairan tanaman jagung di Pakpak Bharat di kaki Pegunungan Bukit Barisan, Sumatera Utara, 11 Desember 2024. TEMPO/Billy Piri

Setidaknya, sampai 2022, Rajes masih bisa mendapatkan sedikitnya 100 kilogram getah kemenyan setiap kali musim manige alias menyadap dimulai pada pertengahan tahun. Harga getah kemenyan saat ini berkisar Rp 165-250 ribu per kilogram. “Panen Juni-Oktober kemarin dapat 10 kilogram saja susah,” ujar Rajes. “Ini dialami juga oleh petani kemenyan lain.”

Rajes tak tahu pasti penyebabnya. Beberapa kejadian menguatkan dugaan terjadinya pencurian. Tapi dia juga curiga cuaca yang makin panas menyebabkan kuantitas dan kualitas getah kemenyan menurun.

Selama ini getah kemenyan menjadi sumber ekonomi warga Simataniari. Adapun ihwal pangan, kebutuhan mereka sudah tercukupi dari hasil sawah dan ladang. Karena itu, produktivitas tombak haminjon yang mengkeret memukul kehidupan masyarakat. “Karena uang untuk bayar sekolah dan lain-lain harus tetap ada,” ucap Rajes, bapak tujuh anak yang dua di antaranya masih duduk di bangku sekolah menengah atas dan sekolah dasar. 

Namun Rajes hakulyakin pukulan yang lebih kencang akan dirasakan masyarakat ketika kelak proyek lumbung pangan benar-benar datang.

•••

PROYEK lumbung pangan memang belum dimulai di Simataniari. Namun sedikitnya tiga patok kawasan hutan untuk lumbung pangan sudah ditancapkan di kampung ini pada 2022. Dua di antaranya telah dibongkar oleh masyarakat karena berada di tanah adat Pargamanan-Bintang Maria.

Sebuah patok masih tersisa, tepat di luar batas wilayah adat sisi timur. Cor-coran semen setinggi 0,5 meter itu ditancapkan di antara semak-semak yang memagari ladang masyarakat dengan jalan Desa Simataniari. “Tugu batas kawasan HPK (hutan produksi yang dapat dikonversi) untuk pembangunan food estate. Dilarang mengganggu milik negara,” begitu tertulis di patok tersebut. 

Hanya sekitar 30 meter dari patok HPK lumbung pangan itu terdapat mata air. Warga Simataniari menyebutnya Tambok Bolon, yang berarti kolam besar. Mata air ini masih dilindungi pepohonan. Masyarakat setempat percaya mata air milik marga Purba ini dihuni ikan yang separuh badannya hingga ekor telah matang. Karena itu, tempat ini dianggap keramat. Setiap orang yang masuk tak boleh sembarangan berbicara, apalagi meludah. 

Air sebening kaca mengalir dari Tambok Bolon melalui kali kecil menuju area persawahan. Selada air atau paret tumbuh berkerumun di permukaannya. Kali itu akan berujung ke Sungai Simonggo di sebelah selatan perkampungan. 

Di sisi barat laut perkampungan, satu mata air besar lain menganga di tengah area persawahan Dusun Bintang Maria, tetangga Dusun Pargamanan di Desa Simataniari. Pasir putih di dasar kolam mata air Bintang Maria itu bergerak-gerak terdorong luapan air. 

Tepat di pinggir kolam mata air seluas 12 meter persegi itu telah dibangun bak penampungan dari semen. Pipa besar terhubung di badan bak tanam tersebut, lalu memanjang hingga melintasi kompleks persawahan, untuk mengirimkan pasokan air ke penduduk di pusat Kecamatan Parlilitan di sisi barat Simataniari. 

Berbeda dengan Tambok Bolon, mata air Bintang Maria merupakan bagian wilayah adat Pargamanan-Bintang Maria. Namun nasib keduanya sama saja: berada di hutan produksi yang dapat dikonversi untuk pembangunan lumbung pangan. 

Rajes Sitanggang khawatir mata air akan ikut rusak jika kelak hutan alam di wilayah Simataniari dibuka dan disulap menjadi lahan lumbung pangan. “Sudah pasti mata air ini akan menjadi sumber air mata,” ucap Rajes, lalu tertawa getir.

Jonder Silalahi, warga Simataniari yang juga anggota Komunitas Masyarakat Adat Pargamanan-Bintang Maria, punya keresahan lain. Belajar dari pengalaman melawan konsesi perusahaan hutan tanaman industri selama ini, datangnya proyek yang tak transparan akan menjadi bahan bakar bagi pecahnya konflik horizontal di masyarakat.  

“Hidup masyarakat di sini masih serba kekurangan. Dengan iming-iming kesejahteraan saja bisa mudah terbujuk,” tutur Jonder, yang juga seorang guru di Sekolah Dasar Negeri 178 Simataniari. “Padahal tidak tahu akan seperti apa nasib kami nanti jika proyek food estate dimulai.”
 
Simataniari hanya berjarak sekitar 45 kilometer dari pusat Kabupaten Humbang Hasundutan di Kecamatan Dolok Sanggul. Namun belum ada jaringan telekomunikasi di desa yang dihuni oleh 456 jiwa ini. Satu-satunya lokasi yang bisa menangkap sinyal seluler hanya di sekitar SDN 178 Simataniari.

•••

MASYARAKAT adat Pargamanan-Bintang Maria dan hutan kemenyan di Simataniari tak sendirian terancam perluasan proyek lumbung pangan Sumatera Utara. Peta pada lampiran Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 448 Tahun 2020 menunjukkan kawasan hutan yang dicadangkan dan dapat dikonversi untuk lumbung pangan mencakup area seluas 33.492 hektare di Kabupaten Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat, Tapanuli Utara, dan Tapanuli Tengah. 

Sedikitnya enam wilayah komunitas adat beririsan dengan peta tersebut. Selain Pargamanan-Bintang Maria, wilayah komunitas adat lain adalah Ria-Ria, Aek Nauli, Aek Godang, Pansur Batu, dan Simanullang-Toba. 

Situasi yang dihadapi masyarakat adat Aek Nauli dan Simanullang-Toba lebih pelik. Sebagian kawasan hutan yang beririsan dengan wilayah adat dua komunitas adat di Humbang Hasundutan itu telah ditetapkan menjadi wilayah Badan Otorita Pengelola Kawasan Food Estate Sumatera Utara, lembaga pemerintah nonstruktural yang dibentuk Presiden Joko Widodo menjelang purnatugas pada 18 Oktober 2024.

Gabriel Manullang (kanan), 69 tahun, berbincang setelah mengantarkan tim Tempo ke mata air di atas bukit sisi selatan Desa Sampean, Sipirok, Tapanuli Selatan. TEMPO/Billy Piri

Pada Ahad, 8 Desember 2024, sehari sebelum datang ke Simataniari, Tempo mampir di Desa Sampean. Sebagian wilayah kampung yang hanya berwaktu tempuh 30 menit dengan kendaraan bermotor dari Dolok Sanggul ini merupakan bagian dari tanah masyarakat adat Simanullang-Toba. Hanya area permukiman, jalan, dan sebagian ladang masyarakat yang tak masuk peta rencana lokasi pengembangan lumbung pangan. Namun tak ada satu pun warga ataupun pengurus desa yang mengetahui hal tersebut. 

Ahad siang itu, Gabriel Manullang, 69 tahun, memaksakan diri mengantar Tempo ke mata air di atas bukit sisi selatan Desa Sampean. Masyarakat menyebutnya aek parsinianagaan atau air tempat persembahan. Gabriel penasaran terhadap status tempat keramat yang bersanding dengan kampung pertama Manullang ketika tiba di Sampean lebih dari dua abad silam tersebut. “Saya sebenarnya sakit, tapi saya merasa harus melakukannya,” ujarnya.  

Kekhawatiran Gabriel terjadi. Dua tempat sakral itu masuk bagian wilayah otoritatif Badan Otorita Pengelola Kawasan Food Estate Sumatera Utara.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Dag-dig-dug Jadi Antrean Proyek Pangan. Laporan ini merupakan kolaborasi riset dan peliputan Tempo, Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat, Konsorsium Pembaruan Agraria, serta Greenpeace Indonesia. Publikasi dalam bentuk video bisa disimak di kanal YouTube Tempodotco. 

Agoeng Wijaya

Agoeng Wijaya

Berkarier di Tempo sejak awal 2006, ia banyak mendalami isu ekonomi-politik, termasuk soal tata kelola sumber daya alam. Redaktur Pelaksana Desk Sains dan Lingkungan ini juga aktif dalam sejumlah kolaborasi investigasi global di sektor keuangan dan perpajakan. Alumnus Universitas Padjajaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus